Oleh Ramsa (Aktivis Muslimah)
Masih merata kabar buruk dari bumi Al Aqsa, ada banyak nyawa meregang, ada banyak bom yang merusak pemukiman, bahkan banyak anak-anak dan bayi yang terlantar tanpa makanan, meninggal karena tak ada susu dan air untuk minum. Sesak dada ini melihat kebiadaban dipertontonkan. Seolah pemimpin dunia semua ciut, tak punya nyali melawan sebuah entitas Yahudi yang sangat kecil. Ini kabar dari Timur Tengah.
Tak jauh dari kondisi yang tak beruntung itu, dikabarkan oleh banyak media tentang nasib buruk pengungsi dari Rohingnya. Mereka ditolak di Aceh karena alasan tak ada kewajiban menerima pengungsi Rohingnya. Entah apa yang merasuki nalar dan perikemanusiaan pemerintah setempat, juga pemerintah pusat, hingga terlontar kata-kata yang sangat tak patut diutarakan.
Diberitakan bahwa ada ratusan pengungsi Rohingya yang tiba di Pidie, dan Bireun Aceh. Anehnya pemerintah setempat malah meminta pengungsi agar kembali ke negeri asalnya. Awalnya pengungsi Muslim Rohingnya diterima dan diberi jamuan seadanya. Setelah itu diminta agar kembali ke kampung halamannya. Sungguh tak punya empati, dan perikemanusiaan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa respons sejumlah pihak yang menolak ratusan pengungsi Rohingya dan meminta pengembalian mereka ke negara asal, merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Bukankah “Mereka (pengungsi Rohingya) mencari keselamatan hidup setelah berlayar penuh dengan perahu seadanya di laut yang berbahaya,” ujar Usman dalam keterangannya yang ditulis Tirto.id Minggu (19/11/2023).
Nasionalisme Mengikis Perikemanusiaan
Dari kisah pengungsi Rohingnya tersebut sudah memberi sebuah gambaran betapa negeri ini telah dijangkiti nasionalisme yang akut. Sikap yang hanya memandang persatuan dengan level rendahan. Memunculkan sikap cuek kepada penderitaan penduduk negara lain. Hanya karena beda negara. Selama yang jadi korban perang, atau korban kezaliman bukan warga negaranya maka tak akan ada perlindungan dan pembelaan. Inilah buah buruk paham nasionalisme. Akibatnya manusia disekat oleh wilayah sempit saja. Tak mempedulikan kesatuan akidah.
Berkaca pada kasus penolakan pengungsi Rohingnya ini juga, kita bisa merasakan betapa nasionalisme telah mengikis rasa perikemanusiaan dan persaudaraan. Bahkan jalinan ukhuwah Islamiyah sebagai sesama Muslim dan sesama manusia seolah tak ada. Hanya karena alasan tak ada payung hukum untuk menerima pengungsi. Bukankah persamaan akidah dan sama-sama manusia sudah cukup untuk menumbuhkan empati dan membantu saudara seiman?
Negara Islam Pemersatu Umat Manusia
Jauh beda ketika Islam yang mengatur suatu negara. Ketika pemerintahan Islam berdiri tegak dan menerapkan syariat Islam yang kaffah di dalamnya tentu akan menjalankan semua konsep atau aturan bernegara. Termasuk di dalamnya fungsi negara sebagai perisai juga akan diterapkan. Negara dan pemerintahannya akan bertanggung jawab dalam mengurusi, melayani dan melindungi kebutuhan seluruh rakyat. Tak akan ada negara dengan konsep nation state dan nasionalisme di dalamnya. Karena konsep ini tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.
Semua didasari satu pandangan bahwa semua muslim bersaudara, jika ada seorang Muslim yang sakit maka Muslim lain akan merasakan sakitnya. Jika ada satu Muslim yang butuh bantuan maka negara akan sigap menurunkan bantuan. Pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Khalifah akan bertindak tegas dan cepat menangani masalah kemanusiaan dan berbagai musibah.
Negara hadir menunjukkan tanggung jawabnya kepada semua warga negara tanpa memandang agamanya. Sejarah telah membuktikan bahwa Khalifah Al Mu'thasim billah telah menjawab panggilan atau permintaan tolong seorang budak di pasar, hanya karena orang Yahudi yang menyingkap auratnya. Tanpa berlama-lama setelah diterimanya kabar tersebut sang Khalifah langsung menurunkan sebanyak 30.000 pasukan ke tempat wanita itu dilecehkan. Peristiwa ini juga menjadi pembuka dan awal pembebasan kota Amuriyah (Turki).
Jika terhadap satu orang saja khalifah begitu peduli, tentu saja pada manusia yang jumlahnya lebih banyak pun akan dipedulikan serta disegerakan pertolongannya. Pada korban kebiadaban musuh atau kezaliman seperti pengungsi Rohingnya mestinya diterima, dibuatkan tempat tinggal yang layak, diberi kesempatan hidup normal dan diperlakukan sebagaimana saudara seiman. Negara tidak akan membiarkan pengungsi kembali ke negara asalnya, karena kembali ke asalnya sama saja memasukan ke kandang singa.
Pemimpin Muslim yang bertanggung jawab dalam menjalankan amanah kepemimpinan karena sadar harus menjaga persatuan kaum Muslimin di seluruh dunia. Juga karena iman dan pemahaman akan perintah Allah dalam surat Al Hujurat berikut.
QS. Al-Hujurat ayat 10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya:
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Sungguh penderitaan demi penderitaan kaum Muslimin di seluruh dunia hanya akan bisa diakhiri dengan persatuan kaum Muslimin di bawah bendera tauhid. Dipersatukan dalam satu negara kuat yang menerapkan sistem Islam kaffah secara sempurna, bukan nasionalisme.
Negara Islam ini akan mampu menggentarkan musuh-musuh Islam di bawah komando seorang Khalifah. Sebagaimana sosok Khalifah Al Mu'tashim billah. Masihkah memilih nasionalisme? Saatnya menjadikan Islam kaffah dalam wujud negara. Agar negara mampu menjadi pelindung bagi rakyatnya.
Wallahua'lam bishshawab.[]