Memberantas Korupsi di Sistem Demokrasi Hanyalah Sebuah Mimpi

 



Oleh; Fatimah Abdul (Pemerhati Sosial dan Generasi)


Kata korupsi tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat bahkan yang awam sekalipun. Hal ini dikarenakan seabrek berita di layar kaca dan juga media sosial yang mewartakan betapa banyak sekali para pejabat yang ada di negeri ini tersandung kasus korupsi. Mirisnya tiap kali ada kasus penangkapan atau OTT, tersangka selalu menggeret nama-nama baru yang berhubungan dengan aksi korupsinya. Itu artinya aksi korupsi tak sedikit yang dilakukan secara berjamaah. Korupsi berjamaah? Seperti sholat saja. Tapi begitulah fakta yang terjadi saat ini.


Mimpi menggenjot budaya anti korupsi di masyarakat dan birokrasi pemerintah terbukti masih perlu upaya ekstra. Berdasarkan rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023, mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022, menjadi sebesar 3,92. Tahun lalu, nilai IPAK yang dirilis BPS mencatat angka 3,93. IPAK merupakan indeks yang mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan skala 0-5 pada level nasional. Semakin tinggi nilai IPAK atau mendekati 5, maka semakin tinggi budaya anti korupsi. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK, maka semakin menunjukkan budaya permisif korupsi di masyarakat (tirto.id, 08/11/2023).


Nah, budaya permisif korupsi inilah yang harus dihilangkan. Selama ini adanya sikap pembiaran terhadap korupsi dengan alasan mungkin jumlahnya yang tak seberapa atau bisa jadi adanya rasa takut mendapatkan intimidasi bila membuka aib korupsi tersebut masih menjadi momok. Ini dikarenakan sistem hukum di Indonesia yang tidak melindungi yang lemah. Hukum justru tumpul keatas dan tajam kebawah laksana mata pisau yang membuat siapapun pasti enggan untuk melaporkan. Apalagi hukum di negeri ini dapat dibeli dengan cuan.


Inilah bobroknya sistem demokrasi. Sistem yang untuk mendapatkan jabatan harus mengeluarkan biaya cukup tinggi, sehingga jabatan disalahgunakan untuk mendapatkan uang sebagai ganti modal apapun jalannya meski harus korup sekalipun. Bahkan lembaga anti rasuah seolah mengangkat bendera putih dalam hal memberantas korupsi. Adanya upaya menundukkan kegarangan lembaga ini dengan menghapus status dari lembaga independen kemudian menjadikan para pejabat didalamnya sebagai PNS rupanya telah berhasil mengubah singa KPK menjadi kucing yang tak punya kuasa. Menghapuskan korupsi di sistem demokrasi kapitalisme sekuler liberal adalah kemustahilan, hanyalah ilusi dan mimpi.


Para pejabat negara ini telah rusak moral mereka. Citra sebagai abdi negara dan penguasa telah rusak pula akibat keserakahan, toleransi atas keburukan dan lemahnya iman. Lantas bagaimana cara mengeliminasi semua keburukan dalam birokrasi ini? Tidak lain dan tidak bukan, jalan satu-satunya adalah segera meninggalkan sistem rusak demokrasi dan menjadikan sistem Islam yang bertumpu pada hukum syariat sebagai sistem untuk mengatur umat dalam institusi negara. Bukankah Allah telah menginformasikan kepada manusia bahwasanya hukum Allah SWT yang terbaik bagi manusia dan alam semesta?  

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"

(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)


Untuk memberantas tuntas korupsi hingga ke akar-akarnya, Islam memiliki beberapa cara. Akidah umat harus dikuatkan, mengedukasi umat betapa manusia harus memahami bahwa sebagai makhluk ciptaan Allah SWT haruslah memahami apa hakekat tujuan hidup di dunia (yaitu untuk beribadah). Ibadah memiliki makna yang luas. Apapun yang diperintahkan Allah untuk ditaati adalah termasuk bagian dari ibadah. Menerapkan hukum Islam dalam pemerintahan adalah ibadah. Sebagai konsekuensi keimanan maka kita harus tunduk total pada perintah dan aturan-Nya.


Menjadikan akidah sebagai basis kurikulum pendidikan sehingga tercipta ketaatan sejak dini pada diri anak-anak. Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam memahamkan dan menerapkan kepribadian Islam dalam diri mereka dan anak-anaknya. Dengan terciptanya pola pikir dan pola jiwa yang islami pada diri individu dan masyarakat, maka aktivitas maksiat otomatis akan dapat dicegah. Apalagi Islam sangat jelas menerangkan bahwa korupsi dimanapun dan level apapun, sekecil apapun adalah haram. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَا لِ النَّا سِ بِا لْاِ ثْمِ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ

"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 188)


Pemerintahan Islam  (melalui institusi khilafah) juga akan memberikan sanksi yang tegas dalam menindak kasus korupsi. Hal ini supaya dapat memberikan efek jera dan mencegah pejabat-pejabat lain tidak  melakukan hal yang sama. Ketentuan hukuman dalam hal korupsi ditentukan oleh Khalifah. Ada beberapa jenis hukuman dalam ketentuan Islam, hudud dan jinayah sudah pasti akan diterapkan. Bisa jadi hukuman berupa cambuk/jilid, penjara, pengasingan, denda bahkan hukuman mati. Khalifah yang akan menentukan. Dengan penerapan hukum Islam yang tegas maka korupsi akan dapat diberantas tuntas. Wallahua'lam bishshawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم