Guru berkualitas, Jika Negara Menjamin Secara Totalitas


Penulis: Suryani


Setiap tanggal 25 November diperingati  sebagai Hari Guru Nasional. Publik merayakan seremonialnya dengan penuh suka cita. Seakan sudah memperoleh kejayaannya di bidang pendidikan. Di sisi lain, baru-baru ini sebuah lembaga penelitian bernama The Social Progress Imperative merilis hasil penelitian tentang tingkat pendidikan di seluruh dunia. Tersaji melalui Index Kemajuan Sosial.


Terdapat 20 negara dengan tingkat sistem pendidikan terbaik. Ada Korea Selatan, Jepang, Amerika, Ceko, dan 16 negara lain. Di antara 20 negara itu tidak terdapat nama Indonesia. Lalu urutan ke berapa sistem pendidikan Indonesia? Jangan-jangan masuk paling rendah.


Wajah pendidikan di Indonesia masih suram. Bahkan, berkali-kali juga dunia pendidikan dikejutkan dengan berbagai kasus seputar ruang lingkup pendidikan. Mulai dari kasus perundungan, kekerasan, bahkan pembunuhan yang dialami oleh peserta didik ataupun pendidik. Harusnya bangsa yang sebentar lagi memasuki usia satu abad ini, menjadi lokomotif kemajuan peradaban ilmu pengetahuan.


Sejarah pendidikan di negeri ini telah mencatat adanya pergantian kurikulum yang sering terjadi seiring bergantinya para pemegang kekuasaan. Meski berulang kali berganti kurikulum, kenyataannya output pendidikan belum menghasilkan generasi yang berilmu dan berakhlak mulia seperti yang diharapkan semua pihak. Seperti halnya, kurikulum merdeka belajar yang sedang berjalan saat ini.


Kurikulum Merdeka diluncurkan pada 11/2/2022, dan tahun 2023 ini merupakan tahun kedua dibukanya pendaftaran implementasi dari kurikulum tersebut. Kurikulum Merdeka pada jenjang SMA diterapkan dengan kegiatan belajar yang lebih fleksibel, bebas, dan relevan, mulai dari materi pelajaran hingga alokasi waktu. Kurikulum ini juga memberikan hak otonomi atau kemerdekaan bagi peserta didik dan sekolah.


Salah satu yang paling mencolok adalah menghapus pembagian jurusan, seperti kelas Bahasa, IPA, dan IPS. Sub-sub mata pelajaran seperti Kimia, Biologi, Fisika, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, dan lain sebagainya akan disajikan secara terintegrasi dengan menggunakan tematik atau kontekstual. Dengan begitu, peserta didik bebas memilih sendiri mata pelajaran apa yang diminati.


Namun, cenderung membebaskan anak memilih secara mandiri apa yang ingin dipelajari, akan membuatnya malas mengerjakan tugas dari guru dengan dalih bukan “minatnya”. Kebebasan juga akan membuat peserta didik tidak terpacu untuk bersaing pada hal-hal yang positif.


Pembebasan memilih jurusan juga akan berdampak pada nasib generasi bangsa ke depan. Jika diperhatikan lebih dalam, generasi muda sekarang lebih menyukai pelajaran seni, sastra, olahraga, dan materi pelajaran lain yang tidak berdampak secara langsung dalam kehidupan masyarakat. Alhasil, peserta didik kurang berminat pada pelajaran-pelajaran yang berdampak pada kemaslahatan umat, seperti pertanian, perikanan, guru, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, negeri ini akan kekurangan ilmuwan maupun para ahli yang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara.


Kebebasan tanpa pemahaman agama, apalagi hanya bertumpu pada minat siswa akan berpotensi masuknya pembelajaran nirfaedah di sekolah. Alhasil, sekolah tidak hanya menjadi tempat transfer keahlian, namun juga sebagai tempat penanaman budaya yang jauh dari nilai-nilai agama.  Lebih dari itu, sekolah berpeluang sebagai wadah masuknya budaya dan ideologi asing. Tentu saja, ruh kebebasan dalam sistem pendidikan berpotensi membajak generasi muda demi melanggengkan eksistensi peradaban Barat.


Jika demikian, hadirnya Kurikulum Merdeka hanya akan membentuk generasi muda yang kapitalistik atau mengedepankan manfaat materi. Inilah yang menjadi bahayanya, dunia pendidikan tidak mampu menghasilkan generasi muda yang dapat membantu masyarakat dalam menemukan solusi terhadap berbagai persoalan bangsa. 


Perlu diketahui bahwa sebagus apa pun kebijakan pendidikan, namun selama tidak bermuara pada pemenuhan hak pendidikan yang memadai bagi seluruh warga negara, tetap tidak akan mampu membangun peradaban bangsa yang unggul. Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi, justru menimbulkan persoalan lain, seperti persoalan biaya, lingkungan, sarana dan prasarana yang tidak memadai, serta kesejahteraan guru yang sering diabaikan negara. 


Bahkan, beberapa guru mengeluhkan program yang ada dalam kurikulum merdeka belum menyentuh pada peserta didik karena banyak waktu guru yang digunakan untuk meningkatkan kompetensi diri. Guru terbebani dengan sibuk sertifikasi, administrasi dan berbagai kerepotan lainnya sehingga tenaganya habis terkuras. Ditambah lagi dengan format mengajar era digital yang mengharuskan guru menggunakan teknologi namun sesungguhnya sarana prasarananya juga masih minim.


Kurikulum merdeka bukan solusi mencetak generasi unggul. Karena hubungan guru dan peserta didik menjadi jauh dan tidak terbentuk karakternya. Apalagi dengan banyaknya berbagai aplikasi yang justru menjauhkan pendidik dengan komponen utama yaitu peserta didik. Kurikulum merdeka bukan solusi mencetak guru terbaik. Karena dalam kurikulum merdeka banyak kesulitan bagi pendidik yang mengharuskannya beradaptasi ulang dengan kurikulum baru dan justru malah menyibukkan mereka dengan aktivitas baru untuk belajar lagi.


Dari awal program kurikulum merdeka ini berjalan hingga sekarang, sama sekali tidak menunjukkan keberhasilan kualitas output generasi yang digadang-gadangkan, justru malah semakin menyulitkan para guru untuk benar-benar mendidik dan membina para generasi saat ini agar menjadi generasi yang terbaik.


Arah Pendidikan Islam


Pendidikan dan negara adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, di mana kurikulum  didesain untuk mengokohkan sistem negara yang ada. Jika negaranya sekuler maka sistem pendidikannya akan dirancang untuk mengokohkan sekularisme. Ironisnya, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, justru menjadikan sekularisme sebagai asas negaranya, tak terkecuali sistem pendidikannya. Alhasil, generasi muslim tidak akan mampu meraih ketakwaan yang totalitas kepada Allah Swt.


Dalam Islam, tujuan dasar dari pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam dan penguasaan ilmu kehidupan demi kemaslahatan umat. Sehingga, output dari pendidikan Islam adalah menghasilkan peserta didik yang kokoh keimanannya, pemikirannya mendalam, dan mampu menghubungkan ilmu pengetahuan dengan hukum Allah. Dampaknya, peserta didik akan menjadi agen yang mampu memecahkan problem kehidupan, sekaligus mampu menegakkan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat.


Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara seharusnya menyusun kurikulum pendidikan formal yang berlandaskan akidah Islam. Sekolah negeri maupun swasta hanya akan menetapkan kurikulum yang ditentukan oleh hukum Islam. Pada jenjang pendidikan usia balig, peserta didik akan mempelajari bahasa Arab, syakhshiyah Islam, matematika, komputer, sains, teknologi, dan  aneka keterampilan lain. Pada tingkat ini, sekolah akan menyediakan berbagai program pembelajaran khusus, seperti pertanian, perdagangan, materi kerumahtanggaan (khusus perempuan), dan lain sebagainya. 


Materi pelajaran yang berhubungan langsung dengan pembentukan kepribadian Islam, seperti bahasa Arab dan tsaqofah Islam akan diajarkan di setiap tahapan dengan porsi waktu yang lebih besar. Adapun keterampilan dan seni yang bertentangan dengan Islam tidak akan diajarkan. Oleh karena itu, tenaga didik haruslah berkualitas, amanah, berkompeten, mampu menjadi teladan, dan memiliki etos kerja yang baik. Selain itu, negara juga wajib memberikan pendidikan berkelanjutan yang berkualitas, tunjangan, dan jaminan kesejahteraan bagi para pendidik. Khilafah juga berkewajiban membangun sarana dan prasarana belajar seperti perpustakaan, laboratorium, asrama, pusat kajian, dan lain sebagainya. Dengan begitu, di dalam sistem Islam meniscayakan lahirnya ulama mujtahid dan para ahli yang menghasilkan karya inovasi.


Kurikulum pendidikan Islam terbukti berhasil menghasilkan peradaban cemerlang yang ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam, lahirnya ulama, dan ilmuwan dalam berbagai ilmu. Beberapa lembaga Islam menjadi mercusuar peradaban dan rujukan dunia, seperti Nizhamiyah (1067-1401 M) di Baghdad, Al-Azhar (975 M hingga sekarang) di Mesir, Al-Qarawiyyin (859 M-sekarang) di Fez, dan masih banyak lagi. Lembaga pendidikan Islam pun sering menerima para siswa dari Barat, seperti Paus Sylvester II yang sempat menimba ilmu di Universitas Al-Qarawiyyin. Montgomery Watt, seorang Cendekiawan Barat menyatakan bahwa peradaban Eropa bukanlah apa-apa tanpa peradaban Islam.


“Barang siapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dapat memperoleh keridaan Allah SWT, (tetapi) ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya surga di hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud)


Sistem pendidikan Islam yang mengintegrasikan pembelajaran dan kesadaran belajar sebagai perintah Allah SWT, terbukti banyak melahirkan ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu. Di bidang kedokteran ada Ibnu Sina, az-Zahrawi, dan Ibnu Rusyd. Pakar fisika dan penggagas optika, Ibnu Al-Haitsam. Pakar kimia dan penggagas karakterisasi unsur logam dan non logam, Jabir Ibn Hayyan. Selain mereka, masih banyak lagi para ilmuwan muslim yang hasil temuannya bisa dinikmati hingga saat ini. Semua ini membuktikan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam, peserta didik dan para pendidik bertujuan memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat demi meraih rida Allah SWT. 

Wallahu a’lam bishshawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم