Oleh: Misbah Munthe (Ummu Qotrunnada)
Pemerhati Generasi
Kebingungan yang menyelimuti negeri ini bisa dibilang complicated. Tidak hanya pada satu atau dua lini melainkan hampir seluruh nya kacau seperti rumah tak bertuan. Masyarakat saat ini tengah mengalami krisis multidimensional, baik dalam aspek Pendidikan, Sosial, Ekonomi, Hukum, Budaya dan lain sebagainya. Kali ini yang menjadi sorotan adalah terkait rendah atau tidak tercapainya keterampilan dasar (calistung) pada siswa Sekolah Menengah. Padahal, selayaknya keterampilan tersebut telah dikuasai ketika peserta didik duduk dibangku Sekolah Dasar. Dirilis dari tribunflores.com, Kepala Sekolah SMPN 11 Kupang, Warmansyah menyatakan bahwa hasil assessment kognitif Peserta Didik Baru SMPN 11 Kota Kupang pada Juni 2023 lalu menemukan sebanyak 21 pelajar tidak bisa membaca, menulis hingga membedakan abjad.
Hal serupa juga dijumpai di SMPN 20 Kupang. Lamsahar, guru PKN disekolah tersebut juga menyebutkan bahwa perkara anak didik yang lambat membaca masih didapati pada tahun ajaran ini. Covid-19 menjadi alasan atas kondisi menyedihkan ini. Katongntt.com
Bermacam-macam kurikulum berganti dan diujicoba pada setiap sekolah, tapi nyatanya tidak satu pun yang mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Sekolah yang diharapkan menjadi pondasi peradaban sebuah negara ternyata dihinggapi berbagai problem menahun yang tak kunjung usai. Mirisnya, pemerintah tak memandang ini sebagai kondisi darurat yang bisa mengancam eksistensi satu negara. Mereka malah disibukkan dengan ajang kompetisi berebut kursi dengan mengobral seribu janji.
Meski demikian, kondisi memilukan ini tidak sepenuhnya kesalahan dari sekolah dasar atau guru. Sebab kewajiban itu tidak jatuh pada pundak mereka semata melainkan peran penuh dari orang tua, bahkan negara.
Sistem dan Kurikulum Amburadul
Tajamnya “pisau sistem” berhasil menggerus kesadaran setiap orang tua akan peran utama mereka dalam mendidik anak-anaknya. Pun demikian dengan guru atau sekolah. Hadirnya mereka ditengah-tengah masyarakat tak ubahnya sebuah pasar yang fokus pada laba dan mengenyampingkan tujuan utama pendiriannya. Tak jauh berbeda dengan negara yang harusnya menjadi tameng utama rakyat namun tak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Sekolah dibiarkan menjadi ajang trial and error oleh setiap menteri pendidikan yang terus berganti, materi ajar yang tidak diseleksi ketat, dan output atau tujuan pendidikan yang salah kaprah tak tentu arah.
Kelemahan strategi fungsional juga terjadi pada tiga unsur pelaksana pendidikan yakni rumah, sekolah dan lingkungan masyarakat. Lemahnya lembaga pendidikan tercermin dari kacaunya kurikulum, peran dan fungsi guru yang tidak optimal dan jauh dari kehendak islam. Keluarga atau rumah yang lepas tangan hingga menganggap sekolah adalah laundry. Ditambah lingkungan masyarakat yang tidak kondusif.
Kondisi lemah diatas didukung oleh sikap pemerintah yang abai atas jaminan pendidikan yang menjadi hak utama bagi setiap warga Negara. Selain tidak menjadikan kwalitas generasi sebagai satu hal yang krusial, banyaknya siswa putus sekolah sebab terkendala biaya, hingga penelantaran atas kesejahteraan guru turut mewarnai kekacauan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum Indonesia yang entah berkiblat kemana membuat generasi semakin tidak mengenal bangsanya sendiri. Sekolah yang awalnya bertujuan melahirkan kaum intelektual yang siap meneruskan estafet perjuangan malah dialihfungsikan menjadi mesin pencetak tenaga kerja semata. Seolah-olah tujuan bersekolah hanya sekedar mencari kerja.
Sistem dan pemimpin yang salah menjadi satu kesatuan yang klop atas kaburnya peran utama sekolah. Pendidikan yang berasas materialistik ini terbukti gagal melahirkan generasi kokoh yang akan memakmurkan bumi. Kehilangan jati diri sangat cocok untuk menggambarkan kondisi pilu bangsa dan generasi muda hari ini. Lalu, hendak berharap apa pada sistem ini?
Pendidikan Islam Melahirkan Generasi Gemilang
Dalam Islam, krisis multidimensi tadi adalah sebuah kerusakan yang membinasakan. Jika tidak segera diatasi maka berharap lahirnya generasi berjiwa pemimpin sejati adalah satu kemustahilan. Maka dari itu, Rasulullah Muhammad SAW sejak 14 abad silam telah memberikan teladan tentang bagaimana seharusnya kurikulum pendidikan itu disusun dan diaplikasikan. Tak hanya itu, unsur pelaksana pendidikan pun telah di petakan sempurna. Hingga ummat terbaik terealisasi nyata dalam kehidupan dan menjadi mercusuar dunia. Kita tidak lagi perlu meraba-raba dalam merumuskan pendidikan dan hasil yang ingin dicapai.
Dr. Khalid Ahmad Asy-Syantut dalam bukunya Rumahku Sekolahku menyatakan tujuan pendidikan didalam Islam adalah mendidik anak-anak dan menyiapkan mereka untuk kehidupan dunia dan akhirat yang mencakup ruh, akal, jiwa dan fisik mereka. Maka aktifitas mendidik bukanlah suatu hal yang sederhana dan apa adanya, melainkan butuh persiapan yang matang dan fase yang sangat panjang. Keterlibatan tiga unsur utama pendidikan (Rumah, sekolah, dan masyarakat) juga sangat dituntut untuk memaksimalkan perannya masing-masing.
Rumah dan keluarga menempati posisi yang paling besar dalam menjalankannya peran. Aktifitas mendidik didalamnya akan mempengaruhi keberhasilan sebanyak 60 %. Sementara sekolah dan lingkungan masyarakat memiliki peran masing-masing sebanyak 20%. Inilah yang harus difahami bersama oleh semua elemen yang terlibat.
Selanjutnya, kurikulum yang dengannya berjalan proses belajar mengajar ini juga mesti dipastikan berasal dari sumber atau asas yang benar. Sebab, ia merupakan elemen penting penentu arah dan tujuan dalam institusi pendidikan. ia merupakan interpretasi dari visi, misi, dan tujuan sebuah pendidikan. Dari sekian banyak rumusan yang diciptakan oleh pakar pendidikan nasional dan internasional, belum dan tidak akan ada yang bisa menandingi kurikulum nabawi mencetak generasi. Kurikulum Nabi sendiri terbagi pada dua fase dengan asas nya aqidah islamiyah.
Aqidah Islam sebagai landasan kurikulum dan menyaring mana yang harus dijalankan dan mana yang tidak. Penerapannya tidak hanya menghasilkan anak-anak didik yang pandai baca, tulis dan hitung tapi juga menumbuhkan benih kebaikan dan kebesaran dalam diri mereka. Kurikulum yang tidak hanya di presentasikan di sekolah, tapi juga dirumah. Kolaborasi dua pihak ini menjadi salah satu faktor keberhasilan mencapai visi misi yang diharapkan.
Maka dalam hal ini, Rasulullah kepada para sahabatnya menjadikan Iman Sebelum Al-Qur’an sebagai kurikulumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jundub bin Abdillah ra bahwa ia berkata, “Kami dahulu bersama Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, kami masih anak-anak yang mendekati baligh. Kami memepelajari iman sebelum Al-Qur’an. Lalu setelah itu kami mempelajari Al-Qur’an hingga bertambahlah iman kami”.
Mengapa iman atau tauhid lebih didahulukan daripada Al-Qur’an? Karena Al-Qur’an yang merupakan sumber dari segala sumber ilmu itu adalah kalamullah. Tidak akan tertarik mengejar kedalamannya kecuali mereka yang telah mengenal Allah dan ingin meraih cinta-Nya. Ketika iman telah tertanam maka setiap diri akan siap untuk menerima apapun yang datang dari Al-Qur'an. Al-Qur'an itu sendiri mencakupi tentang 1/3 urusan islahun nas, 1/3 urusan tauhid dan 1/3 nya lagi urusan negara.
Makna dari Iman sebelum Qur’an bukan berarti kita harus mengesampingkan belajar Al-Qur’an sejak dini, tetapi kita hanya mengutamakan untuk mengajarkan tentang iman kepada Allah taala, kekuasaan Allah, Malaikat Allah, Kitab, RasulNya dan juga mengajarkan Al-Qur'an sambil ditanamkan makna-maknanya. Dengan demikian tatkala anak kita belajar Al-Qur’an, maka akan bertambah imannya. Terbukti, kurikulum iman sebelum Al-Qur'an ini telah berhasil melahirkan pundak-pundak generasi yang siap mengemban estafet kepemimpinan masa depan sebab telah tertanam iman yang kokoh dalam dirinya.
Dua Fase Pendidikan Rasulullah SAW
Pendidikan yang diterapkan oleh Rasulullah dibagi menjadi dua fase, yaitu fase Makkah selama 13 tahun dan fase Madinah selama 10 tahun. Fase Makkah atau Makkiyah merupakan pondasi dasar generasi, dimana pokok pembinaan pendidikan di fase ini dititik beratkan pada penanaman iman (tauhid), aqidah dan akhlak. Rasulullah SAW selaku Nabi dan kepala negara saat itu dibimbing Allah SWT untuk menanamkan dalam jiwa para sahabat keimanan yang sangat kokoh. Sehingga pancaran iman tersebut akan melahirkan generasi kokoh nan gemilang. Karena itu fase ini juga disebut dengan fase persiapan.
Fase Makkiyah berkaitan erat dengan karakter dari surah-surah yang Allah SWT turunkan di Makkah yang cenderung pendek tapi suratnya banyak, dipenuhi kisah-kisah (kisah ini adalah konsep pendidikan yang mahal untuk penguatan pondasi aqidah dam akhlak generasi), membahas masalah alam sekeliling kita dan rahasia penciptaannya, tidak banyak taklif atau beban syari’at sebab fase ini fase penyiapan generasi.
Sementara di fase Madinah, Rasulullah SAW membina para sahabat dengan pendidikan sosial, politik dan penerapan syari'at dalam kehidupan. Ini terlihat dari surah-surah yang turun di Madinah yang membahas tentang taklif atau beban syari'at. Fase ini dimulai dengan hijrahnya Nabi SAW dari kota kelahirannya ke Madinah. Pada tahapan ini, Rasulullah bersama sahabat membangun sebuah sistem ketahanan negara dengan pondasi kokoh yang telah dibangun di Makkah. Hingga kita melihat lahirnya pemimpin peradaban yang mulia sepeninggal Rasulullah SAW. Ini menambah fakta pada kita bahwa Negara memiliki fakto penting dan utama dalam menjamin pendidikan berkualitas sampai kepada setiap warga negaranya.
Begitulah kurikulum Islam, konsep yang mengedepankan suatu urutan dalam ilmu dan pendidikan. Apa yang harus didahulukan dan apa yang harus diakhirkan, meskipun di surat Makiyah terdapat beberapa perintah salat, zakat dan ibadah syari lainnya, namun itu hanyalah sedikit. Tidak seperti di surat surat madaniyah, yang rata-rata berisi perintah dan larangan.
Jika urutan tahapan ilmu ini tidak diikuti, maka yang lahir hanyalah orang-orang yang tinggi ilmunya tapi tidak dengan imannya.
Wallahuta'ala a'lam.[]