Penghapusan Skripsi, Angin Segar Pendidikan atau Kapitalisasi?

 


Oleh Nahida Ilma (Mahasiswa)

 

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim kembali membuat terobosan baru yang kali ini menyasar mahasiswa S-1, S-2 dan S-3. Terobosan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.  Salah satu isi dalam peraturan tersebut adalah menghapuskan kewajiban skripsi bagi calon sarjana (Kompas.com, 30 Agustus 2023)

 

Pada pasal 18 ayat 8 memuat pemberian tugas akhir yang dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek atau bentuk akhir lainnya yang sejenis baik individu maupun berkelompok (Sindonews.com, 31 Agustus 2023). Penghapusan kewajiban skripsi memang memberi kebebasan mahasiswa memilih tugas akhir sesuai bidang yang diminati. Meskipun begitu, mahasiswa harus memahami tugas akhir lain pengganti skripsi (Kompas.id, 13 September 2023).

 

Kebijakan ini tentu membuat heboh seluruh civitas pendidikan di Indonesia, mulai dari mahasiswa selalu pelaku skripsi hingga pakar pendidik. Budaya skripsi yang telah mengakar bertahun tahun, kemudian muncul kabar bahwa akan ditiadakan. Kewajiban menulis skripsi sebagai syarat kelulusan selama ini memang sering kali di kritik. Mulai dari menghambat kelulusan mahasiswa sampai hanya berguna untuk mengisi rak perpustakaan kampus. Tak jarang pula yang berpendapat bahwa skripsi tidak dibutuhkan ketika masuk ke dunia kerja. Sehingga ketika kebijakan ini keluar, tak sedikit yang menganggapnya sebagai angin segar.

 

“Kayaknya dari perusahaan atau recruiter juga enggak perlu tahu skripsi apa yang saya buat tapi mereka akan lihat proyek-proyek yang saya buat semasa kuliah” pengakuan salah satu mahasiswa di kampus swasta Indonesia (BBC.com, 31 Agustus 2023)

 

Menurut Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, skripsi tidak selalu mencerminkan kemampuan akademik mahasiswa, karena banyak yang menyalin dari sumber lain atau dibantu oleh orang lain. Selain itu, skripsi juga tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, karena banyak yang terlalu teoritis dan tidak aplikatif.

 

Menurut psikologi Dr. Dewi Retno Suminar, skripsi dapat menimbulkan berbagai masalah psikologis bagi mahasiswa seperti kecemasan, depresi, rasa tidak percaya diri, bahkan bunuh diri. Hal ini disebabkan oleh berbagai factor, seperti kurangnya bimbingan dari dosen pembimbing, kesulitan dalam menentukan topik atau metode penelitian, hambatan dalam mengumpulkan data atau sumber Pustaka dan deadline yang ketat. Dengan menghapuskan skripsi, mahasiswa dapat terhindar dari stress dan tekanan psikologis tersebut (An-Nur.ac.id, 1 September 2023).

 

Ketua DPR RI, Puan Maharani menyebut penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S1 merupakan bentuk kemerdekaan dalam belajar. “Ini adalah bentuk kemerdekaan dalam belajar, sehingga mahasiswa bebas menentukan arah kelulusan mereka tanpa harus berpatokan dengan system yang ada” ujarnya (Antaranews.com, 5 September 2023).

 

Disisi lain, dalam sudut pandang kebijakan public, kebijakan penghapusan skripsi ini dinilai terlalu tergesa-gesa dan tiba-tiba yang justru menimbulkan corak syarat akan kepentingan kelompok tertentu di baliknya. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Mas Roro Lilik Ekowati, pakar administrasi public serta civitas pendidikan di Universitas Hang Tuah Surabaya. Menurut beliau, penulisan karya ilmiah justru penting untuk para intelektual guna mengasah kedewasaan berpikir dalam menyelesaikan masalah secara rasional dan argumentatif.

 

Dalam dunia pendidikan, sudah seharusnya output yang diharapkan adalah bagaimana peserta didik memiliki kualitas pemahaman dan daya Analisa yang bagus. Berbekal kepakaran yang telah ditekuni selama kurang lebih empat tahun, seharusnya bisa mensolusi berbagai masalah yang ada di negeri ini. Di dunia pendidikan pula, para intelektual dibentuk dengan dilatih terkait bagaimana ketajaman menganalisa dan kemampuan memahami persoalan. Demikianlah seharusnya dunia pendidikan yang sehat.

 

Dewasa ini, konsep terkait otonomi kampus memang sedang diekspresikan. Berawal dari pencanangan status kampus negeri menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Penetapan tersebut tercantum dalam PP 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum yang mana dianggap sebagai cermin kebebasan penyelenggaraan pendidikan tinggi, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan serta otonomi dalam bidang keuangan.

 

Selanjutnya, istilah PTN-BH mencuat akhir-akhir ini. Pemerintah menetapkan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang mewajibkan pengelolaan PT BHMN dan PT BHMN-BLU ditetapkan menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Dengan status PTN-BH, perguruan tinggi memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya termasuk dosen dan tenaga kependidikan. Mereka memiliki kontrol penuh atas aset dan keuangan mereka sendiri (Kemendikbud.go.id). Dengan pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel seperti ini, PTN-BH dinilai dapat lebih meningkatkan mutu Tridharma Perguruan Tinggi.

 

Namun, tak sedikit pula yang menilai kebijakan PTN-BH justru menyebabkan biaya pendidikan perguruan tinggi semakin mahal karena adanya trend komersialisasi perguruan tinggi. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Abdullah Ubaid Matraji mengatakan penyebab tingginya uang kuliah tunggal (UKT) karena berlakunya status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Ia menilai dengan status PTN-BH tersebut membuat perguruan tinggi bisa menentukan sendiri biaya di kampus (Republika.co.id, 8 Juli 2023).

 

Menurut Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Pernama, yang menyulitkan mahasiswa sejatinya bukanlah skripsi, melainkan biaya pendidikan yang mahal. Sehingga jika kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban mahasiswa, lebih baik dialihkan pada kebijakan untuk menurunkan biaya pendidikan. Factor biaya memiliki bagian lebih besar penyebab tersendatnya perjalanan pendidikan dari pada faktor ketidakmampuan secara intelektual.

 

Otonomi kampus yang berujung pada keterbukaan dana penyelenggaraan pendidikan tinggi, nyatanya tidak berhenti sampai disini. Namun, diiringi dengan konsekuensi perubahan kurikulum, termasuk didalamnya terkait riset dan tugas akhir mahasiswa. Kebijakan terbaru Kemendikbud tadi sejatinya hanya keberlanjutan dari proses panjang yang telah dilalui oleh perguruan tinggi hingga menjadi PTN-BH.

 

Bagaimana pun, dana untuk riset-riset besar dan rumit nyatanya memang lebih banyak datang dari swasta. Sama halnya dengan publikasi jurnal internasional yang juga membutuhkan dana yang besar pasalnya Lembaga akreditasi jurnal internasional Lembaga swasta asing yang tentunya fokus utamanya adalah untuk meraih profit. Kapitalisasi ilmu pengetahuan yang dikemudikan oleh kekuatan bisnis global menjadikan arah kerja akademik perguruan tinggi di Indonesia sepenuhnya dikendalikan. Hal ini menjadikan karya-karya sains yang seharusnya bisa mensolusi masalah kehidupan masyarakat local justru hanya menjadi pajangan di laman-laman jurnal internasional bergengsi dengan akses berbayar.

 

Dapat ditarik benang merah bahwa kebijakan Kemendikbud terbaru ini sejatinya hanya memindahkan kapitalisasi pendidikan tinggi dari satu pihak ke pihak lainnya. Ada atau tidaknya kebijakan baru ini, tidak menghilangkan aroma dunia pendidikan saat ini yang memang kental dengan kapitalisasi. Kebijakan baru ini justru semakin memperjelas bahwa arus dunia pendidikan saat ini adalah untuk kesejahteraan para kapital. Lulusan perguruan tinggi dibentuk dengan semangat pekerja, bukan intelektual.

 

Semangat dari kebijakan baru ini juga lebih kepada bagaimana mahasiswa dapat segera lulus dengan cepat dan sudah tidak ada lagi skripsi yang akan menghambat kelulusan. Standar kelulusan yang ditetapkan pun juga diserahkan pada perguruan tinggi dengan berbekal otonomi kampus. Hal ini juga akan menjadikan kesan standar kelulusan pendidikan tinggi semakin Nampak abu-abu. Hanya bermodalkan lulusan yang dapat dengan cepat diserap oleh industri.

 

Dalam islam, sistem pendidikan memegang peran penting dalam mencetak intelektual yang memiliki syakhsiyah Islam serta mampu mensolusi berbagai problematika kehidupan berbekal dengan keilmuannya. Salah satu tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah memperkuat kepribadian islam mahasiswa sehingga kelak mampu menjadi pemimpin yang Amanah dan bertanggungjawab. Hal ini tentu diiringi dengan pemberian pemahaman terkait tsaqofah islam, sains, Teknik maupun ilmu-ilmu sosial. Sehingga akan terlahir ilmuwan dan ulama-ulama hebat seperti Imam Syafi’i, Al Khawarizmi, Ibnu Sina dan ilmuwan muslim lainnya.

Wallahu A'lam bi ash showab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم