Oleh: Tania Regita Cahyani (Mahasiswi)
Penggunaan elektronik dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat sulit untuk dilepaskan. Maraknya pengenalan dan peluncuran teknologi berbasis listrik untuk mempermudah kegiatan manusia semakin menjadikan konsumsi masyarakat terhadap teknologi, salah satunya adalah handphone yang menurut data dari Badan Pusat Statistik pada 2022, sebanyak 67,88% dengan usia diatas 5 tahun memiliki ponsel di Indonesia. Tentunya dengan banyaknya pengguna ini, maka perlu adanya penyediaan listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini juga belum dihitung dengan penggunaan listrik untuk teknologi lain, seperti lampu, pendingin ruangan, seterika, dan lain-lain.
PLN atau Perusahaan Listrik Negara memprediksi pada tahun 2023 ini, Indonesia membutuhkan kurang lebih 283,12 TWh. Yang akan dipasok oleh 7 macam pembangkit listrik yang tersebar di Indonesia, diantaranya PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dengan menghasilkan 36,98 GW atau sekitar 50% dari total pembangkit listrik yang ada. Selanjutnya PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap) dengan hasil 12,41 GW (17%), dilanjut dengan PLTG/PLMG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas atau Mesin Gas) dengan hasil 8,54 GW (11%), setelahnya PLTA/M/MH (Pembangkit Listrik Tenaga Air/Minihidro/Mikrohidro) dengan 6,41 GW (9%), PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) dengan 4,99 GW (7%), dan dilanjutkan dengan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) 0,15 GW serta Pembangkit Listrik Terbaru dan Terbarukan yang lain 2,07 GW. Tentunya dengan tumpuan PLTU sebagai pembangkit listrik yang menyumbang pasokan listrik terbanyak untuk Indonesia, membuat pemerintah ingin menambah pembangunan untuk PLTU-PLTU yang lain maupun mengembangkan PLTU yang sudah ada. (Okezone.com, 21/12/2022)
Meskipun menjadi pemasok listrik terbesar di Indonesia, hal ini juga menjadi polemik tersendiri, sebab PLTU ini menggunakan bahan bakar batu bara yang dapat menyebabkan polusi udara dengan melepaskan CO₂ ke udara yang memicu meningkatnya suhu dunia. Selain CO₂, NOₓ & CO₂ dihasilkan dalam prosesnya yang dapat memicu hujan asam. Ada juga, PM2.5 yang dilepaskan di udara, sangat berbahaya apabila terus menerus dihirup karena mengandung nitrat, sulfat, logam berat, dan bahan berbahaya yang lain. Ini baru limbah udara yang menjadi produk dari PLTU belum lagi limbah yang lain. Hanya saja, baru-baru ini Indonesia berencana untuk menambah jumlah kapasitas PLTU Suralaya, Banten, Jawa Barat untuk menghasilkan listrik dengan bekerja sama dengan bank dunia.
Tentu saja ini mendapat banyak kecaman dari banyak pihak, aktivis lingkungan yang terus melayangkan protes kepada bank dunia karena keputusan investasinya ini, hanya saja sampai saat ini belum ada tanggapan yang diberikan oleh pihak bank dunia maupun Indonesia. masyarakat Banten di tempat PLTU itu akan dikembangkan telah melapor pada Compliance Advisor Ombudsman (CAO), masyarakat tidak menyetujui rencana penambahan kapasitas ini, sebab menurut salah satu juru bicara, menambah kapasitas PLTU Suralaya bukanlah hal yang harus dilakukan secepatnya karena faktanya kebutuhan listrik untuk pulau Jawa dan Bali telah terpenuhi, juga sangat jelas bahwa penambahan kapasitas ini jauh dari menambahnya kesejahteraan masyarakat akibat polusi yang dikeluarkan oleh PLTU, serta lingkungan pasti akan mendapatkan akibatnya. Disamping itu, pada 2022 kemarin, Indonesia telah menandatangani perjanjian Just Energy Transition Partnership (JETP) yang berisi tentang kesediaan Indonesia untuk menjadi negara yang mempercepat transisi penggunaan energi terbarukan dengan investasi dana 20 miliar US Dollar, guna mencegah semakin naiknya suhu bumi.
Dengan begini semakin jelaslah keberpihakan pemerintah Indonesia, tentunya ini sangat berkaitan dengan sistem kapitalisme yang dianut. Sebab kapitalisme akan “menghalalkan” segala cara untuk dapat mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memperdulikan akibat yang akan ditimbulkan. Tidak peduli apakah akan merusak lingkungan, atau membahayakan kesehatan diri sendiri juga orang lain maupun generasi yang ada selanjutnya.
Sebagai muslim, harus paham dan sadar bahwa segala hal yang dilakukan sekarang akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti apalagi terkait dengan pilihan-pilihan yang telah diambil. Bagaimana bisa tanpa pikir panjang dan mengabaikan orang lain demi keuntungan diri sendiri, apalagi negara, yang menaungi masyarakat dan setiap kebijakannya berdampak pada kehidupan setiap orang.
Seharusnya negara memberikan kebijakan terkait dengan pembangunan yang bertujuan untuk kebaikan hidup dalam menjalankan peran sebagai hamba Allah, terutama terkait kewajiban dan hak sebagai seorang manusia yang sesuai di dalam Islam. Kebijakan yang dharar dan zalim pastilah akan merusak manusia yang mungkin masih belum terlihat dampaknya secara langsung karena hal ini seperti bom waktu. Tentu saja ketika menyadari akan adanya potensi kerusakan yang akan timbul perlu dicegah agar tidak terjadi penyesalan serta konsekuensi yang lebih mengerikan. Dan merupakan kewajiban sebuah negara untuk mewujudkan maslahat dan menghindari mafsadat bagi umat, karena amanah yang umat berikan kepada mereka.[]