Oleh: Isah Azizah
"Rakyat Bijak, Taat Pajak". Slogan itu tak asing kita dengar sebagai upaya persuasif dari pemerintah agar rakyatnya mudah untuk bayar pajak. Diperspektifkanlah, bahwa rakyat yang rajin membayarnoajak sebagai warga negara yang bijak.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH dalam Suandy (2011) mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak dipungut mendapat jasa (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Indonesia sebagai negara dengan sistem ekonomi Kapitalisme, menjadikan Pajak sebagai sumber pendapatan negara. Pajak ini hampir merata mengena kepada seluruh rakyat, meskipun dikelompokkan menjadi 6 berupa : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai (BM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Daerah.
Belakangan tersiar di media bahwa Reklame pun terkena beban membayar Pajak. Dilansir Harapanrakyat.com, bahwa Puluhan reklame tak bayar pajak diberikan peringatan oleh Petugas Satpol PP Kota Banjar, Jawa Barat, bersama Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah atau BPKPD.
Petugas Satpol PP Kota Banjar, Omay Sukmarya, mengatakan, penertiban itu berdasarkan Pasal 89 peraturan daerah (Perda) nomor 2 tahun 2019 tentang perubahan atas Perda nomor 2 tahun 2012 tentang pajak daerah. Jadi, penggunaan fasilitas umum dalam sistem kapitalisme ini harus juga membayar pajak.
Jika ditelisik lebih dalam, pada kondisi perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk saat ini, sudah tentu berimbas pada perusahaan yang juga ikut terpuruk, bahkan banyak yang gulung tikar. Bisa jadi, banyaknya perusahaan yang tidak tempat membayar pajak karena ketidakmampuan dalam menunaikannya. Maka pajak dan utang sebagai jalan mendapatkan Dana untuk APBN merupakan jalan salah yang menyengsarakan rakyat.
Keadaan tersebut semakin parah karena ada kesalahan lain yang dilakukan negara Kapitalisme, yaitu adanya kesalahan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tidak dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, melainkan banyak dikuasai swasta (baik dalam negeri atau asing) sehingga pendapatan negara hanya mengandalkan pajak dan hutang.
Lain halnya dengan Islam. Islam memiliki perangkat aturan bagaimana mendapatkan kekayaan dan membelanjakan dengan baik. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Pajak hanya dibebankan kepada orang kaya saja, pada kondisi kas negara kosong dan hanya berlangsung sementara waktu hingga negara dapat kembali stabil memiliki dana yang berasal dari sumber yang seharusnya. Sumber dana tersebut berupa pengelolaan Sumber Daya Alam, kharaj, fa'i, zakat, humus, rikaz, jizyah dan lain-lain.
Pungutan pajak dengan tanpa memperhatikan ketiga syarat di atas diancam oleh Rasulullah SAW. Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ (HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim).
Islam mengatur bahwa SDA dikelola langsung oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat berupa memenuhi kebutuhan kolektif pendidikan, kesehatan dan keamanan. Juga untuk apapun kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Jadi, pajak harus dihentikan karena dengan membebani rakyat. Maksimalkan pengelolaan SDA secara optimal sebagai sumber utama dana negara.
Wallahu'alam bishawab.[]