Lonjakan Harga Beras Diluar Kendali: Apa Kabar Swasembada Pangan Indonesia?




Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)


Mengutip dari CNN Indonesia, Badan Pangan PBB alias Food and Agriculture Organization (FAO) waswas harga beras yang naik mencapai level tertinggi dalam 12 tahun bakal memicu lonjakan inflasi pangan di Asia.


Ada dua biang kerok utama lonjakan harga beras yang mereka identifikasi.


Pertama, larangan ekspor India sejak bulan lalu.


Kedua, ancaman cuaca buruk akibat El Nino yang merusak produksi beras.


Dilaporkan, harga beras medium naik Rp100 ke Rp12.530 per kg. Dan, beras premium m naik Rp50 ke Rp14.180 per kg. Harga tersebut adalah rata-rata nasional di pedagang eceran. Harga hari ini merupakan rekor baru. Tercatat, harga beras sejak 2 pekan terakhir terus cetak rekor baru.


Dengan kenaikan harga beras yang terus-menerus, disusul dengan kenaikan harga BBM, tentu membuat masyarakat cemas. Apalagi pemasukkan tidak ada kenaikan. Mana yang katanya Indonesia swasembada pangan?


Sebagai negara agraris, sangat tidak layak jika Indonesia mengalami kekurangan pangan, dan tahun ini yang paling ekstrim adalah kenaikan harga beras. Sehingga dalam tulisan ini akan dibahas dua poin, yaitu: 


1) Sejauh mana ketahanan pangan nasional Indonesia? 


2) Bagaimana harusnya strategi penanganan pangan di Indonesia?


Mengulik Ketahanan Pangan Indonesia


Museumkepresidenan.id melansir, pada masa awal pemerintahan Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Sedangkan produksi beras nasional hanya 12 juta ton pada tahun 1969. Upaya peningkatan hasil produksi beras selanjutnya ditempuh melalui intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian. Selanjutnya pemerintah melalui program Bimbingan Masal (BIMAS) berupaya mendorong peningkatan hasil produksi beras.


Program serta kebijakan yang diberlakukan pada masa pemerintahan Soeharto tersebut berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Indonesia selanjutnya mampu menjadi negara pengekspor pangan setelah sebelumnya hanya mengandalkan impor. Atas keberhasilan Indonesia menjadi negara swasembada pangan dan pada tahun 1985 Presiden Soeharto diundang oleh Direktur Jenderal Food an Agriculture Organization (FAO), Edward Saouma untuk hadir dalam Forum Dunia pada tanggal 14 November 1985 di Roma, Italia untuk memaparkan keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada pangan. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Soeharto menyampaikan bahwa keberhasilan pembangunan pangan merupakan hasil dari kerja raksasa suatu bangsa.


Pada agenda yang sama di Roma, Italia, Presiden Soeharto atas nama rakyat Indonesia menyerahkan bantuan berupa 100.000 ton padi kepada korban kelaparan di sejumlah negara Afrika. Bantuan tersebut merupakan sumbangan dari kaum petani Indonesia sekaligus menegaskan bahwa negara-negara yang sedang membangun dapat meningkatkan kemampuannya sendiri.


Kemudian pada Agustus 2022 lalu Indonesia mendapatkan penghargaan yang bertajuk “Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology” atau “Penghargaan Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras Tahun 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi”, diserahkan oleh Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden RI Joko Widodo. 


Penghargaan ini membuktikan bahwa Indonesia telah memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021 melalui penerapan inovasi teknologi pertanian. Tak hanya itu, stok beras nasional mencukupi bahkan melebihi pasokan.


Benar saja, kalau kita mengacu pada data total produksi padi di Indonesia pada 2019 sekitar 54,60 juta ton gabah kering giling atau GKG, produksi padi tersebut mengalami penurunan sebanyak 4,60 juta ton atau 7,76 persen dibandingkan tahun 2018.


Jika melihat data tahun 2021, luas panen padi mencapai sekitar 10,41 juta hektar atau mengalami penurunan sebanyak 245,47 ribu hektar (2,30 persen) dibandingkan tahun 2020. Sementara itu, produksi padi tahun 2021 yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG.


Sementara, jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras tahun 2021 mencapai sekitar 31,36 juta ton, atau turun sebesar 140,73 ribu ton (0,45 persen) dibandingkan dengan produksi beras tahun 2020.


Produksi beras pada 2022 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 32,07 juta ton, mengalami peningkatan sebanyak 718,03 ribu ton atau 2,29% dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 31,36 juta ton. 


Namun pada faktanya, impor beras sendiri bukan menjadi aktivitas baru bagi pemerintah Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pemerintah Indonesia konsisten mengimpor beras selama 22 tahun terakhir atau sejak tahun 2000. Sehingga jika saat ini beras mencapai harga tertinggi, bukan lagi karena gagal panen ataupun El Nino, tapi lebih kepada terjadinya liberalisasi pangan.


Strategi Meningkatkan Ketahanan Pangan


Sebagai negara agraris, impor beras menjadi satu hal yang sangat kontroversi di Indonesia, apalagi jika impor ditengah panen raya nasional. Selain itu impor beras akan bisa berbahaya bagi kedaulatan pangan Indonesia. Jika pemerintah tetap doyan impor, Indonesia akan tergantung kepada negara lain dalam pengadaan pangan.


Apalagi, impor tidak menjamin harga beras bisa turun. harga beras di Indonesia tetap tergolong tinggi. Bank Dunia menyebut harga beras di Indonesia merupakan yang termahal di antara negara-negara Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir.


Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospect edisi Desember 2022 menuliskan bahwa harga eceran beras Indonesia 28% lebih tinggi dari harga di Filipina dan dua kali lipat harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand. (Katadata, 3-1-2023).


Dengan demikian, tampak bahwa impor beras tidak memberikan solusi persoalan mahalnya harga beras di Indonesia. Tampak pula bahwa kebijakan impor tidak berpihak pada rakyat. Petani dirugikan oleh impor karena membuat pendapatan petani makin ciut. Sedangkan masyarakat juga tidak diuntungkan oleh impor karena harga beras tetap tinggi dan terus naik dari tahun ke tahun. 


Sehingga Indonesia perlu menyusun langkah untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:


Pertama, ekstensifikasi pertanian, misalnya dengan menghidupkan tanah mati.


Kedua, intensifikasi pertanian, misalnya dengan penggunaan alat pertanian berteknologi canggih hasil karya dalam negeri. 


Ketiga, penelitian untuk menghasilkan bibit unggul dan alat-alat pertanian modern. 


Keempat, bantuan pupuk, benih, dan saprotan lainnya. 


Kelima, memastikan tidak ada gangguan dalam pasar (distribusi), seperti monopoli, penimbunan, dan penipuan.


Langkah konkret pemerintah yang seperti di atas sangat diharapkan bisa langsung menyentuh akar masalah. Tapi jika masih kalah dengan liberalisasi pangan yang tertuang dalam Undang-undang Cipta Kerja, maka masalah pangan sampai kapanpun tidak akan terselesaikan.


Khatimah 


Ironis, jika Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris tapi harga beras tinggi. Sehingga bisa khalayak akan menganggap swasembada pangan/beras yang selama ini didengungkan hanyalah isapan jempol semata. Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas, hapus liberalisasi pangan, sejahterakan rakyat. Wallahu'alam. 


#Lamrad

#LiveOppresedOrRiseUpAgaints

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم