Kekerasan Disatuan Pendidikan Mengapa Terus Terjadi?

  



Oleh: Tri S, S.Si


Mempertimbangkan pengesahan payung hukum bagi seluruh satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, secara resmi meluncurkan Merdeka Belajar ke 25: Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).


Peraturan ini dibuat dengan tujuan yang jelas untuk mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Selain itu, peraturan ini bertujuan untuk membantu lembaga pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan, termasuk bentuk daring dan psikologis, sambil memberikan prioritas pada perspektif korban. Mendikbudristek menekankan bahwa Permendikbudristek PPKSP bertujuan melindungi siswa, pendidik, dan staf pendidikan dari kekerasan selama kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.


Selain itu, Permendikbudristek PPKSP juga menghilangkan keraguan dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikologis, kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Kepastian ini mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dan memastikan tidak adanya kebijakan di dalam lembaga pendidikan yang berpotensi memicu kekerasan. Selain aspek-aspek tersebut, Permendikbudristek PPKSP menguraikan mekanisme pencegahan yang akan dilaksanakan oleh lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ini juga menetapkan pedoman pendekatan yang berpusat pada korban dalam penanganan kekerasan, dengan memberikan prioritas pada pemulihan mereka. Satuan pendidikan juga diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), sementara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus membentuk Satuan Tugas (Satgas). TPPK dan Satgas harus dibentuk dalam waktu 6 hingga 12 bulan setelah peraturan diundangkan untuk memastikan penanganan yang cepat terhadap kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Jika ada laporan kekerasan, kedua tim ini harus menangani masalah tersebut dan memastikan pemulihan korban (itjen.kemdikbud.co.id, 08/08/2023).


Tindak kekerasan terhadap anak di sejumlah kota di Indonesia sering terjadi baik di lingkungan sekolah, pesantren, di rumah bahkan di transportasi publik semakin mengkhawatirkan. Pelaku dari kasus kekerasan seksual pada anak juga beragam mulai dari keluarga, teman, hingga yang lebih tragis adalah tenaga pendidik juga tidak luput dari kasus ini. Jika dicermati penyebab kasus kekerasan pada anak diantaranya :


Faktor keluarga, beberapa hal dalam kondisi keluarga yang menjadi sebab kekerasan diantaranya: Lemahnya iman dalam anggota keluarga sehingga mudah sekali melakukan kekerasan pada anak. Sebagai contoh kekerasan yang terjadi pada anak yang pelakunya adalah orang terdekat juga merupakan gambaran lemahnya pondasi iman pada keluarga-keluarga muslim saat ini.


Faktor masyarakat, kurangnya kontrol dari masyarakat terhadap kondisi yang terjadi telah menciptakan masyarakat yang cuek dan menganggap masalah kekerasan pada anak sebagai masalah individu yang penyelesaiannya adalah pada masing-masing keluarga juga menjadi salah satu sebab kekerasan anak semakin marak.


Faktor negara, walau di negeri ini sudah memiliki UU Perlindungan Anak, Indonesia masih saja menghadapi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Revisi UU tersebut—dengan pemberatan denda dan memperlama hukuman penjara, serta hukuman kebiri—seolah dianggap angin lalu. Keberadaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang berdiri sejak 2002 pun juga belum mampu memberantas kekerasan terhadap anak. Negara juga belum maksimal menutup konten-konten yang merusak anak seperti konten pornografi, konten yang isinya bullying, dsb nya sehingga anak menjadi korban.


Kondisi ekonomi di negeri ini yang serba sulit dan naik juga menjadi faktor maraknya perdagangan anak dibawah umur. Dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada sejumlah pelaku perdagangan anak memanfaatkan anak-anak dibawah umur untuk dijual menjadi pekerja seks komersial seperti yang dialami oleh NAT seperti kasus diatas. Sistem pendidikan di negeri ini yang serba bebas  juga tidak mampu memberikan lingkungan yang kondusif dan aman bagi anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah.


Selain itu, sistem kapitalis di negeri ini yang berasaskan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah melahirkan kebebasan berperilaku sehingga banyak orang berpikir untuk bebas melakukan apapun tanpa takut dosa, salah satunya adalah bebas melakukan tindak kekerasan. Ini menjadi bukti bahwa sebuah negera yang menerapkan sistem sekuler yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan pada anak. Walhasil negara mempunyai tanggung jawab besar terhadap maraknya kekerasan seksual pada anak.


Islam memandang bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Selain itu, anak adalah calon pemimpin masa depan, aset bangsa yang sangat berharga. Oleh karena itu, anak harus dapat tumbuh dan berkembang optimal agar menjadi generasi penerus yang mumpuni. Dalam hal ini, Islam memiliki serangkaian aturan dan sistem yang mampu menyelesaikan persoalan anak dan memenuhi kebutuhan akan rasa amannya. Islam mewajibkan keluarga untuk melindungi anaknya, masyarakat untuk memberikan lingkungan kondusif untuk mengantarkan anak-anak menjadi generasi beriman dan bertakwa, serta negara untuk melindungi anak dan mengurusnya dengan baik sesuai aturan Allah. Regulasi untuk mengurus anak senantiasa berasaskan akidah Islam dan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah. Allah Swt. juga mewajibkan negara untuk melindungi keselamatan setiap individu rakyat, termasuk anak-anak. Kekerasan terhadap anak adalah kejahatan, maka Islam akan membina setiap individu rakyatnya dengan keimanan yang kuat kepada Allah dan hari akhir. Keimanan ini akan mencegah individu melakukan kemaksiatan dan kejahatan.


Islam juga mewajibkan negara untuk menghilangkan berbagai faktor yang dapat mengancam keselamatan anak. Islam memiliki sistem yang komprehensif untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Sistem ekonomi Islam akan mewujudkan kesejahteraan sehingga meminimalisir permasalahan ekonomi pada keluarga-keluarga. Sistem informasi Islam akan mencegah berbagai tayangan dan pemikiran rusak yang dapat mengantarkan kepada kejahatan kepada anak. Konten-konten pornografi dan konten yang tidak mendidik akan di blokir dengan tegas.


Islam juga memiliki sistem sanksi yang membuat jera bagi pelaku dan mencegah yang lain melakukan kejahatan serupa.


Perinciannya adalah sebagai berikut:


1. Jika perbuatan pelaku adalah berzina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina yaitu rajam jika sudah muhshan (menikah) atau cambuk seratus kali jika bukan muhshan.


2. Jika perbuatan pelaku adalah liwath (homoseksual), hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain.


3. Jika perbuatan pelaku adalah pelecehan seksual (at-taharusy al-jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya takzir. (Abdurrahman al-Maliki. Nizhamul ‘Uqubat)


Penerapan berbagai sistem kehidupan yang berdasarkan Islam tersebut akan mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak. Penerapan sistem Islam secara kaffah tersebut hanya dapat terwujud dengan tegaknya Khilafah Islamyiah. Wallahu a’lam bishshawwab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم