Gonjang Ganjing Masalah Polusi Minim Solusi



Oleh: Anita Humayroh


Polusi udara di kota-kota besar Indonesia terus manjadi sorotan. Bahkan pencemaran udara kini menjadi isu yang tak berkesudahan. Termasuk kota Bekasi, kualitas udara di Bekasi pada hari Selasa (15/08/23), kemarin masuk kategori tidak sehat. Kondisi ini mencuri perhatian banyak pihak untuk mengkaji penyebab wacana ini dan juga sekaligus mencari jalan keluarnya, yang diantaranya disebutkan sebab polusi udara hari ini yaitu adanya 16 PLTU yang beroperasi di sekitaran wilayah Ibu kota, yakni 10 PLTU di Banten dan 6 PLTU di Jabar.


Pencemaran udara ini bukanlah yang hanya dapat dipandang sebelah mata karena sangatlah membutuhkan perhatian khusus. Melansir dari situs resmi IQAir, kualitas udara di Kota Bekasi pukul 04:00 WIB, indeks kualitas udara (IQI) di Bekasi mencapai 155, dengan konsentrasi polutan utama PM2.5 sebesar 99,5 mikrogram per meter kubik. Berangkat dari data tersebut maka pemerintah Kota Bekasi menghimbau agar masyarakat ikut meramu solusi pencegahan dan penanggulangan polusi udara ini. Mulai dari memakai masker saat beraktivitas diluar rumah sampai memasang pembersih udara. 


Selain dari aktivitas PLTU, asap kendaraan, hasil pembakaran tumpukan sampah juga ikut andil dalam memperparah pada buruknya kualitas udara di Ibu kota dan sekitarnya, termasuk Bekasi.


Tanpa menunggu lama, Kota Bekasi langsung mengukuhkan Forum Kita Bekasi Sehat yang akan menunjang langkah koordinasi sekaligus percepatan kerja nyata. Pemerintah pusat pun menanggapi pemberitaan yang meluas perihal masalah ini dengan langsung mengumpulkan menteri terkait serta menggelar rapat terbatas di kompleks Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/08). Menurut presiden kemarau panjang menjadi penyebab utama permasalahan ini dan juga termasuk pembuangan emisi transportasi serta aktivitas industri di Jabodetabek, terutama di sektor batubara. 


Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil pun segera mengadakan pertemuan sebagai tindak lanjut arahan dari Prrsiden Joko Widodo. Pertemuan dengan sejumlah menteri, lembaga dan kepala daerah terkait penyelesaian masalah ini. Jabodetabek menyepakati sejumlah rencana aksi multidimensi untuk menyelesaikan persoalan polusi ini, diantara lain mengevaluasi polusi yang berasal dari PLTU yang tersebar sebanyak 16 titik tersebut. Evaluasi ini akan dikaji oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kemudian dilanjut dengan mengevaluasi jumlah kendaraan kendaraan serta pengurangan mobilitas. Skema kerja dari rumah atau Work From Home (WFH) akan kembali digalakkan di wilayah Jabodetabek. Khusus PNS Pemprov Jabar, menurutnya sudah berjalan dengan konsep 3+2 (3 hari ke kantor + 2 hari WFH) atau 4+1 untuk jenis pekerjaan yang tidak berhubungan dengan publik yang sebelumnya Pemdaprob Jabar telah menerapkan skema kerja dari rumah dengan nama Mekanisme Kerja Dinamis (MKD), yang diluncurkan Gubernur Ridwan Kamil pada 19 Juni 2023 untuk institusi pemerintah. (Metrotempo.com, 1761631).


Berbagai hal yang sudah dikerjakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan melibatkan masyarakat termasuk rekayasa cuaca, penggunaan transportasi publik, penanaman pohon, pembuatan taman, uji emisi kendaraan bermotor sampai kebijakan larangan membuang limbah beracun dan pajak karbon nyatanya tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini sangatlah menggelitik. Karena sejatinya akar persoalan polusi udara yang tidak kunjung usai ini, bukanlah semata tercemarnya udara kita, tapi adanya kebijakan kapitalistik sistematis yang dianut oleh pemerintah. Seluruh kebijakan yang diberlakukan hanya untuk mengakomodir kepentingan segelintir elite dan peran negara hanyalah sebatas fasilitator. 


Contoh kecil dalam upaya pengurangan emisi kendaraan bermotor yaitu dengan mengkonversi kendaraan berbahan bakar fosil menuju kendaraan listrik, yang ujung ujungnya adalah pengelolaan nikel oleh perusahaan asing. Akhirnya lagi lagi asing yang diuntungkan. Lagi lagi asing yang ambil peran. Belum lagi kebijakan lain yang sama sekali tidak mengurangi penderitaan ummat, malah dirasa justru menambah penderitaan mereka.


Pembangunan infrastruktur, pusat-pusat perbelanjaan, sampai pemukiman mewah, dibangun secara masif. Dari siapa dan untuk siapa. Pastinya bukan untuk kalangan menengah kebawah, yang hanya gigit jari melihat dan menyaksikan pembangunan tersebut secara besar-besaran.  Disisi lain, industrialisasi telah menjadi pusat lokomotif pembangunan kota yang menimbulkan kepadatan ruang dan ancaman degradasi ekologi. Yang hal ini sangatlah jauh dari harapan menghadirkan konsep pembangunan yang ramah anak dan lingkungan. Sungguh kebijakan simalakama. Potong satu tumbuh seribu. Begitulah Kapitalisme, menyelesaikan satu masalah dengan menambah seribu masalah. Hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam.


Dalam Islam, aspek terpenting dalam sebuah pembangunan adalah keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Contoh pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, dengan mengatur kebijakan penggunaan SDA secara bijak demi menjaga keseimbangan ekosistem. Sistem Islam menjadikan Kekhilafahan menjadi pusat peradaban dengan pembangunan kota-kota besar berskala Internasional pada masanya. Tidak hanya memperhatikan aspek tata ruang semata, tetapi juga aspek kelestarian lingkungan termasuk juga aspek sosial, yang mana pembangunannya bernilai spiritual dan mampu menghadirkan keimanan serta memperlihatkan ketinggian Islam. 


Seperti yang tertulis di dalam Al Qur'an. Allah berfirman, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya." (Q.S Al-A'raf:56).


Pada aspek individu, Islam menekankan kebijakan pentingnya memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan. Sehingga kelestarian lingkungan berlangsung secara sistematis, baik dari aspek individu, masyarakat maupun negara. Hal semacam ini menjadi sebuah kebijakan nasional dari Khalifah dibawah hukum Islam yang mulia dan sudah pasti dapat memancarkan betapa indahnya Islam dan segala aturan di dalamnya.


Sudah terbukti dari betapa negara Islam mampu membangun kota yang tidak hanya megah, tetapi juga sehat dengan menghadirkan pembangunan irigasi dan kanal-kanal ramah lingkungan. Ini terjadi pada Kekhilafahan Utsmani. Pada saat yang sama peradaban Islam pun menjadi unggul dalam industri dengan banyaknya komoditas yang diperdagangkan, termasuk ekspor di bidang pertanian, kaca, kain sutra, tekstil, parfum serta berbagai jenis bunga, rempah dan masih banyak lagi.


Begitulah peradaban Islam dengan segala keindahannya mampu menghadirkan nuansa keimanan dan rasa tanggung jawab terhadap amanah dalam diri setiap individu, masyarakat dan negara. Dari sinilah terpancar kemuliaan dan kegemilangan sistem Islam yang menjadikan negara tidak hanya memancarkan kemuliaan dari aspek sosial masyarakatnya tetapi juga seluruh aturan dan kebijakan yang hanya mengadopsi dari sumber yang tepat, yaitu hukum Syara'. 

Wallahu'alam bishshawab.[]



*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم