Maritime Autonomous Era, Akankah Membuat Indonesia Berjaya?



Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.


Pemerintah Indonesia membahas tantangan dan peluang hadapi Maritime Autonomous Era di Singapura. Direktur Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Hartanto mengatakan, bahwa kondisi Indonesia sebagai salah satu penghasil tenaga pelaut terbesar di dunia memiliki tantangan tersendiri apabila dunia perkapalan bergeser ke Maritime Autonomous Era. Sebabnya, era tersebut adalah era teknologi yang tentunya akan mengurangi jumlah awak di atas kapal karena kendali kapal sebagian besar akan dilakukan secara remote dari luar kapal atau di darat. (Okezone[dot]com, 1-8-2023).


Sekilas tentang Maritime Autonomous Era


Sebagaimana diketahui, dunia kini sedang menghadapi tantangan di era Maritime Autonomous Surface Ships (MASS) atau era teknologi kapal laut tanpa awak. Indonesia membahas isu ini di pertemuan Co-operation Forum (CF) yang digelar di Singapura. (Detik, 1-8-2023).


Organisasi maritim internasional pun telah menargetkan aturan terkait MASS dapat diberlakukan mulai 1 Januari 2028. Indonesia sendiri turut berkomitmen dalam pengembangan Maritime Autonomous Surface Vessels dan dekarbonisasi perkapalan yang saat ini telah menjadi isu utama di sektor maritim global. 


Namun Hartanto tetap meyakini bahwa upaya-upaya yang telah Indonesia lakukan melalui Cooperative Mechanism di agenda CF tadi dapat memungkinkan negara kita untuk terus bekerja dan beradaptasi menghadapi tantangan untuk mewujudkan industri pelayaran yang maju.


Kekurangan Armada Laut


Ada baiknya kita sedikit menengok kondisi sektor kemaritiman di negeri kita beserta lalu lintas perhubungan jalur laut nasional. Berdasarkan kutipan dari Kompas (1-8-2023), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, salah satu penyebab tidak efisiennya kinerja angkutan barang di Indonesia yaitu masih didominasi melalui jalan atau darat. Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, moda angkutan barang melalui angkutan jalan sebesar 87,57%, angkutan laut sebesar 12,16%, angkutan perkeretaapian sebesar 0,26%, dan sisanya terbagi dalam angkutan udara serta angkutan sungai dan penyeberangan.


Di samping itu, berdasarkan kutipan dari Detik (3-8-2023), PT Pelni (Persero) rupanya tengah mengusulkan penyertaan modal negara (PMN) Rp 4 triliun pada 2024 untuk pengadaan tiga armada baru. Armada baru ini dibutuhkan karena banyak kapal Pelni yang berusia tua. Jika dihitung hingga 2024 nanti, jumlah armada Pelni yang berusia di atas 30 tahun mencapai 14 kapal. Menurut kalkulasi, harga satu kapal diperkirakan Rp 1,5 triliun.


Adapun kapal yang ingin diadakan ini adalah kapal two in one, yakni dapat mengangkut penumpang dan barang. Untuk penumpang, ditargetkan bisa mengangkut hingga 1.000 orang dan untuk barang bisa memuat 75 kontainer. Kebutuhan kapal two in one ini juga tersebab oleh adanya peningkatan permintaan pengiriman barang sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah timur dan tengah Indonesia.


Semua itu jelas ironi. Mencermati kondisi ini sekaligus era baru di dunia kemaritiman tadi, memang sebagai negara kepulauan, sudah semestinya Indonesia memiliki jalur bahkan pertahanan laut yang tangguh dan berdaya, termasuk ketika dibarengi teknologi mutakhir. Dalam hal ini jelas Indonesia masih memiliki lahan luas untuk memberdayakan tenaga kerja di sektor maritim, baik itu pakar kemaritiman/kelautan, pelaut, ABK (anak buah kapal), maupun tentara/angkatan laut. Dengan demikian, kita tentu patut mengkritisi, sejauh mana Maritime Autonomous Era akan menunjang efektivitas sektor perhubungan -bahkan pertahanan- laut di negeri kita, bahkan dunia? 


Mematikan Dunia Maritim Indonesia


Singkatnya, tujuan akhir teknologi MASS adalah menghilangkan para pelaut karena perannya akan digantikan oleh Artificial Intelligence (AI). Di sisi lain, sudah jamak kita ketahui bahwa selama ini tenaga pelaut dari Indonesia lebih banyak bekerja di luar negeri, yakni di kapal-kapal asing baik kapal pesiar maupun kapal penangkap ikan. Tidak heran, dunia tenaga kerja pelaut juga ABK yang meski menawarkan gaji besar, nyatanya adalah sektor yang justru rawan TPPO (tindak pidana perdagangan orang).


Tidak pelak, kedua faktor ini (AI dan TPPO), cepat atau lambat akan mematikan dunia maritim Indonesia. Pasalnya, meski dunia maritim global bisa saja memfokuskan otomatisasi tenaga kerja di kapal/laut, tetapi kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan tetap saja tidak bisa diingkari kebutuhannya akan tenaga kerja manusia menuju efektivitas pengelolaan sektor maritim yang integral. Pada saat yang sama, sektor maritim nasional juga membutuhkan militer pertahanan laut yang tangguh, yang paling ringan misalnya untuk menangani kasus-kasus illegal fishing (pencurian ikan) oleh kapal-kapal asing, juga upaya-upaya spionase jalur laut oleh negara lain.


Jika kita cermati lebih mendalam lagi, yang memiliki kebutuhan terhadap Maritime Autonomous Era sejatinya bukan Indonesia, melainkan negara-negara asing (baca: negara-negara besar) yang selama ini masih menggunakan tenaga pelaut dari Indonesia. Oleh karena itu, Maritime Autonomous Era tidak akan berpengaruh bagi Indonesia jika Indonesia memiliki wadah untuk menyalurkan tenaga kerja pelaut tersebut untuk kepentingan rakyat secara nasional, yang tentunya dengan gaji dan kesejahteraan yang layak agar para pelaut itu tidak lebih memilih bekerja di luar negeri. 


Negara Menyediakan Lapangan Kerja Sektor Maritim


Selama dalam kepentingan kapitalisme, era teknologi maritim dalam wujud apa pun tidak akan berpengaruh bagi kejayaan Indonesia. Tenaga pelaut yang saat ini lebih banyak bekerja di kapal-kapal asing, jelas bukan dalam rangka kepentingan maritim nasional. Keberadaan teknologi modern di kapal, ternyata justru mengancam para pelaut untuk dirumahkan. 


Namun berdasarkan kacamata sistem Islam, dunia maritim adalah potensi besar yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya oleh negara. Pemberdayaan tenaga kerja di dunia maritim tidak akan melemah bahkan mati begitu saja meski harus dibarengi penggunaan teknologi mutakhir. Hal ini karena visi negara berideologi Islam adalah untuk mengurusi urusan umat sehingga keberadaan berbagai sektor bagi aktivitas manusia dalam kehidupan selama untuk amal saleh tidak akan saling melemahkan, tetapi justru saling menguatkan.


Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).


Allah Taala berfirman, “Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS Al-Jatsiyah [45]: 12).


Jadi jelas, pengelolaaan sektor maritim khususnya dari sisi penyediaan lapangan kerja dan tenaga kerjanya adalah kewajiban negara terhadap rakyatnya, karena hal itu selain sebagai bagian dari pengurusan negara, juga menjadi jalur nafkah bagi para ayah/kaum lelaki untuk keluarganya. Terlebih untuk kondisi geografis sebagai negara kepulauan sebagaimana Indonesia, sektor maritim kita semestinya berjaya, tidak kekurangan tenaga kerja maupun armada, serta tidak mudah dilemahkan akibat mengikuti arus yang dikendalikan oleh kepentingan negara-negara besar.

Wallahualam bissawab. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم