Oleh : Isah Azizah
Hari Anak Nasional (HAN) 2023 baru saja terselenggara secara meriah. Tahun ini mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Peringatan HAN setiap 23 Juli ini bermaksud mengingatkan semua orang agar hak anak dapat terpenuhi dengan baik.
Sehari sebelumnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak (KPPA) memberikan Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) 2023 kepada 360 kabupaten/kota yang terdiri atas 19 kategori Utama, 76 Nindya, 130 Madya, dan 135 Pratama.
Sedangkan Penghargaan Provinsi Layak Anak (ProviLA) diberikan kepada 14 provinsi yang telah berupaya keras untuk menggerakkan kabupaten/kota di wilayahnya dalam mewujudkan KLA.
Menteri KPPPA, Bintang Puspayoga mengaku senang atas pencapaian dan komitmen semua pihak untuk memenuhi hak anak. Menurutnya, jumlah penerima penghargaan KLA 2023 meningkat di masing-masing kategori dari tahun sebelumnya.
Di tengah euforia berbagai penghargaan tersebut data tak bisa dibantah bahwa stunting, kekerasan seksual, hak pendidikan dan kesehatan yang belum merata masih dirasakan anak-anak.
Situs kla.id, mendefinisikan KLA sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Penguatan Kelembagaan program ini ada 2 hal: Terlembaga Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dan Tersedia Peraturan/Kebijakan Daerah tentang Kabupaten/Kota Layak Anak
Kemenpppa bersama kementerian, lembaga, dan tim independen menilai dan memberikan penghargaan kepada kota-kota ramah anak setiap tahunnya. Ada enam kriteria yang menjadi indeks penilaian KLA yaitu penguatan kelembagaan, hak sipil dan kebebasan, hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, hak pendidikan dan kegiatan seni budaya, serta hak perlindungan khusus.
Dengan pendetilan sebagai berikut:
1. Keterlibatan lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media massa dalam Pemenuhan Hak dan Perlindungan Khusus Anak
2. Hak sipil dan kebebasan, meliputi :
1). Persentase Anak yang Diregistrasi dan Mendapatkan Kutipan Akta Kelahiran
2). Tersedia Fasilitas Informasi Layak Anak (ILA)
3). Terlembaga partisipasi anak
3. Hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative, meliputi :
1). Persentase Perkawinan Anak
2). Tersedia Lembaga Konsultasi Penyedia Layanan Pengasuhan Anak bagi Orang Tua/Keluarga
3). Persentase lembaga pengasuhan alternatif terstandarisasi
4). Tersedia infrastruktur (sarana dan prasana) di ruang publik yang ramah anak
4. Hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, meliputi :
1). Persentase Persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
2). Prevalensi Status Gizi Balita
3). Persentase Cakupan Pemberian Makan pada Bayi dan Anak (PMBA) Usia di Bawah 2 Tahun
4). Persentase Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Pelayanan Ramah Anak
5). Persentase Rumah Tangga dengan Akses Air Minum dan Sanitasi yang Layak
6). Tersedia Kawasan Tanpa Rokok
5. Hak pendidikan dan kegiatan seni budaya, meliputi :
1). Persentase Pengembangan Anak Usia Dini Holistik dan Integratif (PAUD-HI)
2). Persentase Wajib Belajar 12 Tahun
3). Persentase Sekolah Ramah Anak (SRA)
4). Tersedia fasilitas untuk Kegiatan Budaya, Kreativitas, dan Rekreatif yang Ramah Anak
6. Hak Perlindungan khusus, meliputi :
1). Anak Korban Kekerasan dan Penelantaran yang Terlayani
2). Persentase Anak yang Dibebaskan dari Pekerja Anak (PA) dan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA)
3). Anak Korban Pornografi, NAPZA dan Terinfeksi HIV/AIDS yang Terlayani
4). Anak korban bencana dan konflik yang terlayani
5). Anak penyandang disabilitas, kelompok minoritas dan terisolasi yang terlayani
6). Kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) (khusus pelaku) yang Terselesaikan melalui Pendekatan Keadilan Restoratif dan Diversi
7). Anak Korban Jaringan Terorisme yang Terlayani
8). Anak Korban Stigmatisasi Akibat dari Pelabelan terkait dengan Kondisi Orang Tuanya yang Terlayani
Pengamat masalah perempuan, anak, dan generasi dr. Arum Harjanti memandang, meskipun Hari Anak Nasional diperingati setiap tahun, nyatanya anak Indonesia masih terabaikan. Mayoritas anak-anak di berbagai wilayah tanah air masih terkungkung berbagai problem besar yang seolah tiada berakhir.
“Tingginya angka stunting adalah salah satunya. Parahnya, 18 provinsi masih di atas angka nasional 21,6%. Enam provinsi di antaranya, bahkan di atas 30%, padahal upaya penurunan stunting sudah dilakukan sepuluh tahunan,” jelasnya.
Persoalan lain, yang membuat miris adalah maraknya kekerasan terhadap anak.
“Data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menunjukkan empat dari sepuluh anak laki-laki dan delapan dari sepuluh anak perempuan usia 13—17 tahun di daerah perkotaan maupun pedesaan pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya, bahkan angkanya terus meningkat.
Selain dua hal tersebut, masih banyak persoalan serius lain yang menimpa anak, mulai dari sulitnya akses pendidikan dan layanan kesehatan hingga paparan konten negatif dunia maya. Semuanya tentu akan berpengaruh dalam mewujudkan anak yang berkualitas, padahal mereka harapan masa depan bangsa.
Di antara PR besar lain terkait hak anak adalah pertama, anak seharusnya mendapatkan gizi dan nutrisi yang cukup sejak sebelum mereka dilahirkan. Pada banyak kasus, stunting kerap dialami pada ibu hamil yang kurang mendapat asupan gizi dan nutrisi yang cukup.
Menkes Budi Gunadi Sadikin memang mengatakan angka stunting mengalami penurunan hingga 21,6% dibandingkan pada 2021 yang mencapai 24,4%. Meski demikian, sudah selayaknya hak anak mendapat gizi baik tidak terhalang faktor yang lebih sistemis, yakni kemiskinan. Jangan sampai kondisi ini membuat para ibu kesulitan memenuhi kebutuhan gizi anak sejak dini.
Kedua, kasus kekerasan yang terus mengintai, seperti bullying dan kekerasan seksual yang masih menjadi ancaman bagi hak anak. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang dua bulan pertama 2023, terungkap enam kasus bullying atau kekerasan fisik, dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Berdasarkan catatan Kemen PPPA, sepanjang Januari hingga 28 Mei 2023, jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus.
Ketiga, hak anak untuk belajar hingga perguruan tinggi tampaknya belum mampu terpenuhi dengan baik. Sepanjang tahun ajaran 2022/2023, tercatat angka putus sekolah di Indonesia dari semua jenjang mencapai 76.834 orang. Perinciannya, siswa putus sekolah tingkat SD 40.623 orang, SMP (13.716), SMA (10.091), dan SMK (12.404). (Viva, 27-6-2023).
Lagi-lagi, fenomena putus sekolah paling banyak dipicu faktor ekonomi, yakni keterbatasan sumber daya dan kesempatan. Banyak keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan—ataupun di atas garis kemiskinan, tetapi berpenghasilan minim—yang tidak cukup memenuhi kebutuhan asasi mereka, termasuk pendidikan.
Sunguh ironis dan kontradiktif dengan program yang dibuat, beragam penghargaan KLA berjalan terpisah dengan upaya melindungi anak. Anak cenderung menjadi objek di kabupaten/kota layak anak, tetapi bukan subjek kebijakan. Kebijakan pemda setempat menjadi terfokus pada urusan administratif agar menang lomba dan mendapatkan penghargaan KLA, bukan fokus untuk melindungi anak.
Substansi pemberian penghargaan adalah untuk mengejar prestasi, kebanggaan, dan gengsi. Padahal masih banyak kekerasan terhadap anak. Pemerintah setempat tidak lagi berfokus pada memenuhi hak anak.
Upaya pencegahan kekerasan pada anak tidak dilakukan. Gerakan membangun ketahanan keluarga seperti pendidikan kepribadian anak, pembinaan agama anggota keluarga, dan pembentukan lingkungan sosial yang melindungi anak cenderung diabaikan. Hal ini mengindikasikan program KLA mandul dalam memberikan jaminan sistem aman yang dibutuhkan anak. Selain itu, negara gagal melindungi anak.
Akibat Sekulerisme dan Kapitalisme
Sungguh, penerapan kapitalisme telah membuat angka stunting menganga, angka putus sekolah meningkat, dan kekerasan mengintai setiap saat. Kemiskinan membuat rakyat sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk kebutuhan asupan nutrisi dan gizi. Kemiskinan pula yang membuat pendidikan layaknya barang mahal, sama mahalnya ketika ingin mendapatkan layanan kesehatan secara murah, bahkan gratis.
Peran negara dalam menjaga generasi manjadi mandul, akibat kebijakan serba kapitalistik, keberpihakan negara kepada rakyat sangat minim. UU Perlindungan Anak tidak cukup mampu mencegah kriminalitas dan kejahatan terhadap anak. Buktinya, makin banyak ragam kejahatan terhadap anak lantaran hukum buatan manusia yang tidak berefek jera bagi pelaku.
Adanya Perpres 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 15/07/2022 lalu sepertinya juga sekadar memberi harapan palsu.
Gagalnya berbagai regulasi yang ada sejatinya menunjukkan bahwa persoalan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada kurangnya regulasi, melainkan penerapan sekularisme dalam kehidupan yang juga sebagai asas pembuatan regulasi yang ada.
Sekularisme tidak menumbuhkan rasa takut, bahkan berupa sanksi pemberatan hukuman pidana, denda, ataupun hukuman kebiri. Kehidupan yang berorientasi materi dan pemenuhan hawa nafsu sudah membutakan mata dan hati.
Sistem Kapitalis yang mementingkan keuntungan materi bagi para pemilik modal menjadikan banyak regulasi dan program yang ada sekedar menjadi kebijakan untuk mensukseskan kepentingan mereka, tanpa melihat dampak dan tercapainya tujuan dari regulasi atau program yang dibuat dengan dana yang tidak kecil.
Sekali lagi, sistem kapitalis dan sekuler memang tidak dirancang untuk menjadi pemecah masalah yang menyeluruh dan fundamental.
Sistem Islam Layak Bagi Anak
Anak adalah amanah dari Allah Swt. yang harus dijaga, dilindungi, dan dipenuhi kebutuhannya. Islam telah memberikan perhatian besar terhadap perlindungan anak-anak yang meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya.
Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.
Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak.
Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.
Kedua, lingkungan. Dalam hal ini, masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun.
Ketiga, negara sebagai pengurus utama. Negara wajib memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi setiap anak. Penerapan sistem pendidikan Islam berkualitas dan bebas biaya akan mengakomodasi setiap anak dapat bersekolah hingga jenjang pendidikan tinggi. Sistem pendidikan Islam mampu membentuk generasi berkepribadian Islam dan berakhlak mulia.
Dalam menjalankan fungsi ini, negara Islam menerapkan sistem yang berpengaruh dalam perlindungan anak, seperti sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam, dan sistem sanksi sesuai syariat Islam secara komprehensif. Ada dua jenis upaya yang dilakukan oleh negara, yaitu preventif dan kuratif. Upaya preventif yang dilakukan negara adalah dengan menerapkan sistem pendidikan dan ekonomi Islam secara kaffah.
Sistem pendidikan Islam akan mengajarkan anak tentang konsep keimanan yang kukuh sehingga anak bisa memilah dan memilih perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela sebagai konsekuensi keimanannya. Anak juga diajarkan tentang melindungi diri dari kemungkinan orang jahat, menutup aurat secara sempurna, mengajarkan pergaulan dengan teman agar tidak terjadi bullying, mengajarkan cara berteman yang baik dan tidak memukul atau menzalimi orang lain, dan sejenisnya.
Sistem ekonomi Islam memiliki konsep bahwa negara memenuhi semua kebutuhan tiap individu rakyat, mulai dari kebutuhan primer dan sekundernya. Para lelaki dewasa dibukakan lapangan pekerjaan yang layak sehingga fungsi nafkah dalam keluarga tetap berjalan. Harapannya, dengan terpenuhi kebutuhan pokok rakyat akan bisa meminimalkan angka kriminalitas, termasuk kekerasan terhadap anak.
Adapun upaya kuratif negara melalui sistem sanksi dalam Islam, maka negara akan menerapkan sanksi tegas kepada pelaku kejahatan dan kekerasan terhadap anak sehingga menimbulkan efek jera (zawajir). Hukum Islam yang diterapkan oleh negara Islam (khalifah) akan dapat menebus dosa manusia di akhirat (jawabir).
Adanya KLA tanpa diterapkan ketiga point konsep tersebut akan mandul karena bukan didasarkan ketakwaan individu dan kering dari rasa iman dan takut kepada Sang Pencipta. Para pelakunya tidak takut dosa dan menganggap akhirat itu sesuatu yang jauh, serta agama tidak perlu ikut campur dalam urusan hidup bermasyarakat (sekuler).
Oleh karena itu, kita perlu sistem Islam yang kaffah diterapkan oleh sebuah negara, sistem yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah yang dipimpin oleh seorang menjalankannya secara keseluruhan.
Wallahu'alam bishawab.[]