Barbie Syndrome dan Feminisme : Mendobrak Standar Cantik Manusia

  



Oleh: Tania Regita Cahyani (Mahasiswi)


Fenomena yang terus hadir dan menjadi sebuah budaya pastilah punya pemicu awal mengapa ini semua terpelihara kehadirannya. Influence budaya maupun penanaman pemikiran yang keliru dari jaman penjajahan, memperparah semua ini. Langgengnya inferiority complex telah menjadikan pemahaman bahwa apa yang dipunyai negara sendiri atau kondisi umum yang hadir di sebuah negara tidak baik dibandingkan dengan negara lain, bangga ketika menjadi bagian dari negara lain terutama kepada negara maju (Santos & Pereira, 2021).


Perasaan rendah ini menjadi sebuah ladang industri yang besar bagi negara maju. Kecantikan menjadi salah satu ladang besarnya, menciptakan sebuah “standar” untuk menjadi cantik menjadi sebuah propaganda besar demi prospek industri yang lebih besar.  Salah satu media propagandanya adalah barbie, sebuah mainan yang lazim dimainkan oleh banyak anak perempuan hingga dewasa di seluruh dunia. 


Paras barbie yang dianggap sempurna secara tidak langsung menciptakan pemikiran bahwa cantik harus tinggi, memiliki tubuh kurus, kaki jenjang, memakai high heels, berkulit putih, bermata biru yang besar dan berambut blonde. Belum lagi kemunculan series hingga film barbie yang menyasar berbagai kalangan usia menambah kelanggengannya. Sehingga cantik masa kini sering dilihat dari penampilan fisik, membuat fisik menjadi menarik adalah sebuah obsesi baru yang sering dilakukan. Hal ini terlihat dari semakin bertumbuhnya industri kosmetik menurut BPS di tahun 2020 tumbuh sebesar 5,59%, industri fashion bertumbuh 5,21% di 2021. 


Meskipun pertumbuhan industri ini dianggap baik karena meningkatkan perekonomian, tapi perlu diketahui bahwa industri yang tumbuh ini terutama di Indonesia. Berkembangnya industri karena upah kerja yang ada tergolong murah dibandingkan dengan negara maju. Selain itu, adanya “standar” kecantikan menumbuhkan sikap yang sangat berbahaya jika diteruskan, misalnya diet ekstrim hingga melakukan operasi plastik besar-besaran, untuk memenuhi standar yang ada.


Penyakit mental tidak luput dari ini, mulai dari munculnya barbie doll syndrome, princess syndrome,  dan lain-lain. Barbie doll syndrome yang merupakan sebuah kondisi dimana seseorang terobsesi untuk membentuk dirinya semirip mungkin dengan barbie. Penelitian yang dilakukan oleh Gruber et al. (2018) menyebutkan bahwa subjek yang menunjukkan barbie doll syndrome ternyata mengidap Dysmorphophobia gangguan mental dimana individu untuk terlalu fokus pada kekurangan dalam penampilan pribadi sehingga mendominasi pemikiran, menghasilkan rasa malu, malu, dan kecemasan yang parah sehingga orang tersebut bahkan dapat menghindarinya dan bulimia nervosa yang merupakan gangguan makan dengan keinginan untuk memuntahkan makanan yang dimakan karena merasa tidak puas dengan bentuk badan yang dimiliki sekarang. (Alodokter)


Sementara itu princess syndrome adalah kondisi dimana seorang anak perempuan tumbuh dan percaya bahwa ia hanya perlu berfokus pada sesuatu yang cantik, menempatkan dirinya sebagai pusat alam semesta, dan berfokus pada penampilannya seperti di dalam dongeng hingga dewasa (psychology today). Selain masalah kesehatan, masuknya ideologi feminisme juga hadir dalam barbie. Bagaimana tidak, seringkali dalam film maupun series mengenai barbie, mengenai kehebatan barbie sebagai seorang wanita yang tidak memerlukan bantuan laki-laki dalam melakukan pekerjaan apapun. 


Seolah-olah laki-laki tidak perlu memiliki peran apapun karena wanita dapat melakukan semuanya secara mandiri. Dalam film terbarunya pada 2023, memperlihatkan bahwa sebenarnya barbie dibuat untuk mewujudkan impian dari wanita masa kini yang tertindas oleh patriarki. Yang dianggap mengekang perempuan dan menjadikan perempuan selalu menjadi nomor 2. Dan hasil dari barbie world dimana semua pekerjaan dilakukan oleh perempuan (feminisme) menyebabkan Ken, pasangan barbie minder dan malah menjajah barbie world dengan patriarki. 


Tentunya perilaku-perilaku yang timbul ini akan menjadikan individu tidak lagi produktif, dan terkesan bahwa hidup hanya dipenuhi untuk memenuhi ekspektasi semu yang tidak berujung. Sebagai muslimah, perlu menyadari bahwa apa yang canangkan oleh negara-negara barat, ini dilakukan untuk menjauhkan serta membuat kita malu dengan Islam. Terlihat dari propaganda mereka yang membuat kita sibuk dengan urusan Takdir dan mengambil pemahaman selain daripada Islam.


Padahal urusan fisik, Allah tidak pernah mempermasalahkannya sama sekali karena manusia diciptakan sebaik-baiknya, tidak peduli apakah kita tinggi atau pendek, gemuk atau kurus, blonde atau hitam, selama kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. maka kita akan selamat di dunia dan akhirat. “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Maka, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.” (Q.S AT-Tin 95:4-6)


Maka, sudah tidak lagi penting anggapan orang terkait penampilan fisik, jika kita percaya bahwa Allah telah menciptakan kita dalam kondisi terbaik. Tidak perlu lagi malu, ketika fisik tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Karena seperti yang kita ketahui bahwa itu hanyalah sebuah ilusi yang tak bertepi.


Selain itu, berhati-hati dalam mengambil pemikiran terutama yang diciptakan oleh barat perlu untuk dilakukan. Dari film barbie kita dapat melihat kerusakan yang timbul dari penerapan feminisme dan patriarki. Kedua pemikiran ini membuat masing-masing laki-laki dan perempuan mempercayai bahwa mereka adalah yang “paling” diantara yang lain. Seolah-olah laki-laki dan perempuan tidak dapat bekerja sama di dunia dan harus ada yang mendominasi. 


Tetapi, sangatlah tidak tepat jika mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan harus setara. Karena masing-masing ada porsinya, meskipun begitu kedudukan keduanya sama dalam Islam, jika ada yang berbuat dosa akan dihukum dan jika berbuat baik akan mendapatkan ganjaran. Karena itu menerapkan Islam secara menyeluruh adalah jawaban dari setiap permasalahan yang terjadi. Islam tentu punya jawaban dari persoalan yang makin hari makin tiada habisnya. []


Gruber, M., Jahn, R., Stolba, K., & Ossege, M. (2018). „Das Barbie Syndrom“. Ein Fallbericht über die Körperdysmorphe Störung ['Barbie Doll Syndrome'. A case report of body dysmorphic disorder]. Neuropsychiatrie : Klinik, Diagnostik, Therapie und Rehabilitation : Organ der Gesellschaft Osterreichischer Nervenarzte und Psychiater, 32(1), 44–49. https://doi.org/10.1007/s40211-017-0241-2

Santos, M. F. dos, & Pereira, C. R. (2021). The social psychology of a selective national inferiority complex: Reconciling positive distinctiveness and system justification. Journal of Experimental Social Psychology, 95, 104118. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jesp.2021.104118

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم