Menyoal Korupsi Dana Desa dan Masa Jabatan Kepala Desa 9 Tahun



Oleh: Desi Dwi A., SP. (Praktisi Pendidikan)


Akiani, seorang Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten menjadi tersangka korupsi dana desa dengan total kerugian negara mencapai Rp988 juta. Akiani yang menjabat periode 2015-2021 menghamburkan dana desa untuk kebutuhan pribadinya. Seperti pesta di tempat hiburan malam hingga poligami dengan 4 perempuan (Tirto.id).


Korupsi dana desa yang dilakukan Akiani menambah daftar panjang kasus rasuah oleh kepala desa. Mengutip laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2022 ada 155 kasus rasuah yang terjadi di sektor ini dengan 252 tersangka sepanjang tahun lalu.  Jumlah itu cukup membuat miris, karena angka korupsi dana desa setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. 


Di sisi lain pemerintah melakukan revisi undang-undang yang membuat jabatan kepala desa menjadi lebih Panjang. Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ucu Martanto menyebut revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dapat berpengaruh pada sirkulasi dan hegemoni politik desa. Mengingat revisi yang dilakukan tersebut menyangkut perubahan periode masa jabatan kepala desa yaitu dari satu periode hanya enam tahun, kemudian berubah menjadi sembilan tahun. Dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama (Republik.co.id). Ucu pun mengingatkan potensi terbentuknya politik dinasti akibat dilakukannya perpanjangan jabatan kepala desa. Pada konteks ini, petahana memiliki kesempatan lebih lama dalam membangun reputasi dan mengumpulkan sumber daya pada putaran pemilihan selanjutnya.


Banyaknya kasus korupsi dana desa oleh Kades, ditambah dengan perpanjangan masa jabatan bisa menjadi angin segar bagi para politisi nakal demi meraup suara jelang kontestasi pemilu. Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap nasib rakyat di wilayahnya, mustinya Kepala Desa fokus bagaimana bisa mengelola dana yang ada agar digunakan demi kepentingan rakyat. Bukan sibuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi atau bahkan melakukan transaksi tukar guling.


Kepemimpinan dalam level apapun sejatinya merupakan amanah yang berat bagi seorang mukmin. Karena dia meyakini kebenaran sabda Rasulullah saw yang artinya: “Siapapun yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka” (HR. Ahmad). Keyakinan inilah yang akan menuntun para pemimpin untuk senantiasa menjalan fungsi kepengurusan terhadap urusan rakyat dengan sebaik-baiknya, juga tak akan pernah berani menyentuh harta yang bukan haknya.


Hanya saja pemimpin yang adil tidak serta merta lahir dari individu yayg bertaqwa semata. Butuh sistem yang tepat pula untuk memastikan setiap individu bertaqwa tidak terjerumus dalam arus yang salah. Sistem Islam adalah satu-satunya sistem politik dan pemerintahan yang memberikan jaminan terhadap keadilan dalam pengurusan rakyat. Sebelum menjabat, calon pemimpin musti melewati serangkaian fit and proper test, mulai dari kemampuan personal hingga audit keuangan pribadi. 


Tercatat Khalifah Umar bin Khaththab ra senantiasa mengaudit keuangan calon kepala daerah sebelum dan setelah mengutusnya ke sebuah daerah. Hingga dikisahkan Abu Hurairah ra memprotes: “Apakah Engkau tidak percaya kepadaku wahai Umar sehingga menghitung hartaku?” dengan enteng Umar menjawab, “Justru karena aku percaya padamu itulah maka aku menghitung hartamu.” Rupanya mekanisme semacam ini selain berfungsi memastikan tidak terjadinya kecurangan, juga menjaga supaya individu tersebut tidak terjerumus dalam kesempatan berbuat curang yang mungkin saja terbuka peluangnya. Bagaimanapun juga manusia adalah insan yang tak luput dari khilaf.


Meski kepemimpinan dalam Islam bersifat sentralistik di tangan Khalifah, namun kebijakan beliau dibatasi harus terikat dengan syariat Islam saja. Juga dengan mekanisme pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dibuat sederhana dalam konsepnya dan cepat dalam pelayanan serta diampu oleh orang-orang yang kapabel di bidangnya. Pembangunan fasilitas publik  yang merata di setiap daerah akan memudahkan itu semua, misalnya tersedianya rumah sakit hingga pelosok desa, fasilitas jalan raya yang memadai, pasar, juga sarana pendidikan untuk setiap jenjang usia. Pemerataan pembangunan ini akan meminimalisir terjadinya kezaliman dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.


Fungsi kontrol juga bisa dijalankan oleh masyarakat secara langsung baik secara individu, maupun melalui lembaga yang disebut majelis umat. Dalam hal ini pemerintah harus mendengarkan keluhan ataupun masukan dari masyarakat, atau bahkan masyarakat bisa mengadukan kezaliman yang dilakukan aparat kepada pengadilan.


Sistem peradilan dalam Islam adalah sistem peradilan yang tidak pandang bulu hanya tunduk pada syariat Islam, bukan tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Bahkan Khalifah sebagai kepala negara dilarang mencopot jabatan qadhi/hakim yang sedang memeriksa kasus kezaliman dirinya maupun aparat negara lainnya.


Demikianlah sekilas gambaran bagaimana sistem Islam mampu menyelesaikan problem rasuah serta kezaliman yang melanda hampir setiap lini pemegang kebijakan negara. Tentunya ini bukan sekedar wacana, melainkan perlu formalisasi sistem Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan, dan memerlukan perjuangan keras kita semua untuk mewujudkannya. Wallahu a’lam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم