Oleh: Nofi Stak
Proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2023/2024 baru saja selesai digelar. PPDB dengan beberapa seleksi kriteria seperti zonasi, afirmasi, prestasi dan lain-lain telah diselenggarakan dari tahun 2017. Sistem ini ditetapkan dengan tujuan pemerataan siswa dan penghapusan kastanisasi di dunia pendidikan. Namun sayangnya, alih-alih memeratakan pendidikan, kebijakan ini malah memunculkan berbagai masalah baru.
Kegiatan PPDB ini mendapatkan banyak sekali laporan kecurangan yang dilakukan baik oleh calon peserta didik maupun dari sekolah. Dikutip dari tempo.com, beberapa kecurangan yang dilaporkan di antaranya, jual beli kursi di Karawang, manipulasi dan pemalsuan KK di Bogor, Bekasi dan Pekanbaru. Hingga, anak pengusaha besar yang daftar menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Munculnya berbagai kecurangan ini menjadi bukti tidak tepatnya kebijakan yang ditetapkan.
Pandangan masyarakat tentang kastanisasi pendidikan masih melekat kuat, hingga mendorong para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah unggulan dengan cara apapun. Bahkan, masyarakat tidak segan untuk berbuat curang demi bisa masuk sekolah yang dikehendaki. Di lain sisi, pihak oknum penyelenggara di dunia pendidikan merasa dibutuhkan dan mematok harga khusus untuk bisa masuk sekolah dengan jalur khusus. Lantas, bagaimana bisa anak terdidik dengan cara yang licik?
Beginilah jadinya, jika manfaat menjadi asas dari setiap pengambilan keputusan. Tidak peduli halal haram, selama bermanfaat bagi kedua pihak maka dijalankan. Mirisnya lagi, ini terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Padahal Islam jelas melarang, dalam hadist Rasulullah Saw bersabda, "Laknat Allah kepada pemberi suap dan penerima suap." (HR Ahmad).
"Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka." (HR Bukhari Muslim, Ahmad dan yang lainnya).
Kata suap dalam hal ini terkadang diperhalus dengan istilah beli kursi. Padahal, memiliki makna yang sama. Pemikiran seperti ini, tumbuh subur di sistem Demokrasi. Kebebasan individu yang diagungkan oleh Demokrasi, nyatanya dibuat dengan mengambil hak orang lain.
Dalam kasus ini, peserta didik yang seharusnya diterima dan masuk kriteria harus tersingkirkan oleh orang yang membeli kursi. Hal ini didukung dengan tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan sehari-hari. dalam Islam, setiap muslim diharuskan bertindak atas asas halal haram. Sehingga, mendatangkan ridho dari Allah SWT. Tentu saja, aturan yang dibuat oleh pencipta tidak akan saling bersinggungan antara satu individu dengan individu yang lain, dalam hal hak dan kewajiban.
Begitu juga dengan sistem pendidikan dalam Islam. Islam memandang pendidikan adalah tanggung jawab negara dan berlaku adil untuk semua rakyat. Termasuk kewajiban negara menyediakan sarana pendidikan yang berkualitas, gratis dan mudah diakses oleh semua peserta didik. Efektivitas sistem pendidikan Islam, telah dibuktikan dengan lahirnya para ilmuan muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Jazari dan yang lainnya.
Melalui sistem pendidikan Islam ini juga, masyarakat tidak akan terdorong untuk berbuat curang demi mendapatkan sekolah yang bagus. Karena, kualitas setiap sekolah sama terbaiknya. Semua ini, hanya dapat diterapkan dalam sistem Islam dengan naungan Daulah Islam (Khilafah).
Wallahu'alam bisshowab.[]