Kriminalitas Marak Terjadi, Islam Solusi Hakiki

 



Oleh: Tri S, S.Si


Misteri temuan potongan tubuh manusia atau korban mutilasi di sejumlah lokasi di Kabupaten Sleman Yogyakarta selama tiga hari terakhir mulai menemukan titik terang. Penemuan potongan tubuh manusia itu terjadi sejak Rabu 12 Juli yang disusul temuan lain pada Sabtu 15 Juli bersamaan penangkapan dua pelaku di Jawa Barat. Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) menyebut, korban bernisial R berstatus mahasiswa kampus swasta di Yogya. Sedangkan dua pelaku merupakan karyawan restoran dan penjual kue di Yogya. Saat geger potongan tubuh korban ini ditemukan yang disusul tertangkapnya pelaku, di media sosial pada Sabtu, 15 Juli lalu, beredar laporan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang hilang sejak Selasa, 11 Juli 2023. Hilangnya mahasiswa atas nama Redho Tri Agustian itu sudah dilaporkan pihak keluarga ke Kepolisian Sektor Kasihan Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dalam laporan tersebut mahasiswa berusia 20 tahun itu berasal dari Ketapang, Kecamatan Pangkal Balam, Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung (Tempo.co, 16/07/2023).


Masyarakat masih merasakan tidak aman. Pemerintah yang semestinya sebagai pengurus rakyat, seolah tidak serius menanganinya. Bahkan di beberapa daerah, masyarakat ikut turun tangan, swadaya menjaga keamanan, karena khawatir lingkungan tidak aman. Payung hukum yang berlaku pun tidak dapat menaungi rasa aman bagi masyarakat. Sistem yang melingkupi negeri saat ini tidak mampu mengatur dan menekan laju tindak kriminal. Arus kejahatan mengalir tanpa pernah berhenti. Sebut saja kasus pembunuhan sebab pelecehan seksual. Pelaku bertindak sendiri demi membalas sakit hatinya. Tindakan kriminal dipadamkan dengan tindakan kriminal, hingga api kejahatan akan terus berkobar. 


Lemahnya sistem perlindungan mengharuskan adanya delik pengaduan, baru aparat keamanan akan memprosesnya. Menyebabkan para korban yang tidak berani melapor, menjadi tersudutkan tanpa keadilan. Hukuman yang ditetapkan pun dapat dikatakan ringan. Karena pelaku kerap mengulang kembali kejahatannya, sebagai dampak hukuman yang memberikan efek jera. Kemudian dalam bidang ekonomi, yang mana didominasi ekonomi kapitalisme. Kegiatan ekonomi bertumpu pada sektor non riil, menjunjung tinggi aktivitas riba, membuat masyarakat terjebak dengan buaian indah kemudahan pinjaman uang yang harus dibayar berkali-kali lipat. Sehingga pinjol pun tumbuh subur dipupuk dengan aturan yang memudahkan mereka, tetapi sangat menyusahkan rakyat sebagai target konsumen. Padahal, riba sudah sangat jelas menyusahkan dan termasuk dalam dosa besar. Nikmatnya sesaat, susahnya sampai berkarat, dan perbuatannya pun sangat dilaknat. 


Namun, dalam asas sekularisme, agama hanya di pandang sebagai ritual kerohanian semata, dan tidak mempunya wewenang untuk mengatur kehidupan. Tidaklah heran jika standar perbuatan bukanlah halal dan haram, tetapi keuntungan materi yang besar. Negara pun tidak segan menumbuhsuburkan riba, apabila dapat meraup banyak keuntungan. Begitu juga hukum, asal ada materi, makan hukum pun dapat dibeli. Tindak kriminal korupsi menjadi hal biasa, sehingga hukum pun tidak mampu memberikan efek jera, akibat materi yang menjadi raja. Inilah dampak sekularisme kapitalisme. Sehingga para individu kapitalis, begitu gelap mata untuk melakukan hal tersebut. Kembali lagi, semua karena payung hukum yang lemah serta tidak adanya sanksi untuk sistem ekonomi ribawi ini yang mengakibatkan banyaknya orang yang terlena dengan keuntungannya tanpa mempedulikan dampaknya. Seperti halnya zina, riba juga mampu membuka pintu kejahatan-kejahatan yang lain seperti pemerasan, pencurian data untuk transaksi riba dan lain sebagainya. Semua ini hanya secuil kriminalitas yang tidak tuntas diberantas. 


Tanggung jawab negara seakan sirna, rakyat menjadi merana karena sistem yang alpa. Kapitalisme sekularisme sebagai biang keladi, membuat negara seolah tak peduli akan tindak kriminal yang kerap terjadi. Individu pelaku kriminalitas bukan tanpa alasan, bisa jadi, ini memang kerusakan akibat sistem kehidupannya yang rapuh. Sehingga kasus-kasus kejahatan semakin marak, bukan terminimalisir karena kesalahan asas kehidupan ini yang berkiblat pada akidah sekuler. Beratnya kehidupan yang menjebak masyarakat, sangat minim empati dari pemerintah untuk mengurus persoalan kriminalitas yang semakin meluas. Kebijakan hukum yang terkesan tidak adil, menjadikan pelaku kejahatan semakin bergerak bebas. Bebas melakukan kejahatan apa pun demi memuaskan nafsu duniawi belaka. Masyarakat seolah dipaksa untuk menanggung beban negara, sedangkan penguasanya hanya mengurusi kepentingan kursi kepemimpinannya. Kepemimpinan dalam bingkai kapitalisme, memang hanya dianggap sebagai profesi bukan sebagai pelayan kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, mereka menuntut pendapatan sebagai gaji. 


Sehingga banyak kasus kejahatan dari tahun ke tahun terus berulang, hanya berbeda pelaku dan korban saja, dan terus berlanjut hingga hari ini. Kini, harapan masyarakat seolah pupus oleh janji-janji penguasa saat kampanye menjelang pemilihan jabatan. Janji yang hanya bualan belaka, telah mengorbankan banyak nyawa, dan menyebabkan dekadensi mental masyarakat yang terus memburuk. Rakyat hanya dijadikan konsumen dari berbagai macam bentuk regulasi, dan harta rakyat pun mereka kuras habis demi kepentingan mereka. Negara kapitalisme gagal mengatur kehidupan, sehingga masyarakatnya jauh dari kata sejahtera dan damai. Kemiskinan yang melanda, gaji pekerja yang semakin tidak masuk akal, pelecehan seksual, adalah sebab musabab semua kriminalitas itu terjadi. Selama ini, rakyat rela menanggung semua beban pemerintah. Segala kebijakan yang sifatnya memaksa, tetap dijalankan dengan suka rela. Padahal, apabila kita mampu berpikir lebih bijaksana, tugas negara semestinya sebagai pengayom rakyat.


Sehingga setiap kebijakan yang dibuat, hanya demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan saat ini, masih banyak rakyat miskin, jauh dari kehidupan yang dikatakan layak, sehingga memicu kejahatan demi tuntutan kehidupan. Lain halnya dengan Islam, yang memiliki solusi untuk menekan angka kejahatan yang terjadi di suatu negara. Negara Islam tentu saja memiliki pemimpin yang cerdas, karena sebagai salah satu syarat dari pemimpin, mampu sebagai mujtahid untuk menggali hukum sesuai dengan ketentuan syariat. Agar setiap kebijakan yang ditetapkan mampu memuaskan akal dan menentramkan jiwa masyarakat. Seperti pada saat pelecehan yang pernah menimpa seorang muslimah Amuriah dan Bani Qainuqo, yang tersingkap auratnya akibat pelecehan mereka. Seorang Muslim pun terbunuh demi membela muslimah tersebut. 


Pada akhirnya, penguasa dengan cepat mengirim bala tentara demi menjaga kehormatan seorang wanita dan menjaga perjanjian damai yang dilanggar akibat kejadian tersebut. Begitu mulianya Islam menjaga kehormatan wanita. Sehingga yang dikatakan sebagai penyakit mental karena memendam trauma dan sakit hati akibat dilecehkan, tidak akan mungkin terjadi. Mereka dilindungi oleh negara, sehingga semua tindakan kriminal akan diadili secara langsung tanpa menunda-nunda. Kebijakan yang amat sangat begitu tuntas dan sangat adil. Hukum Islam tidak pandang bulu, apa pun jabatan, ras, suku, dan nasab, selama mereka melakukan tindak kriminal maka akan diberikan sanksi yang sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan oleh khalifah. Pun kesejahteraan rakyat sebagai prioritas  maka negara akan memfasilitasi rakyatnya, dari mulai penyediaan lapangan kerja, pendidikan gratis, dan memfokuskan perekonomian dari sektor riil saja, agar terhindar dari praktik ribawi yang haram. Selain itu, rakyat yang kurang mampu juga disejahterakan oleh negara melalui bantuan-bantuan berupa zakat, dan sedekah dari orang-orang yang mampu untuk diserahkan kepada yang membutuhkan. Dan gaji pekerja dalam bingkai Daulah Islam bisa terbilang sangat besar, sehingga tidak ada satu pun orang yang berhutang apalagi dengan riba. 


Tidak heran, jika Khalifah Umar bin Abdul Azis sulit menemukan orang untuk diberikan zakat. Sehingga tidak kriminal yang terjadi sangat minim sekali, dan kesejahteraan rakyat pun tercapai. Hal tersebut tentu hanya dapat direalisasikan jika negara mau menerapkan syariat. Karena hanya syariat, satu-satunya hukum buatan Pencipta manusia yang mampu menekan laju krimalisasi di masyarakat. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 50, yang artinya : "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" 


Pemimpin dalam Islam berbeda dengan pemimpin saat ini, mereka memiliki tanggung jawab untuk melayani rakyatnya. Karena menjadi pemimpin dalam Islam merupakan suatu amanah dari Allah, jabatan yang ia emban kelak akan dimintai pertanggung jawaban di Yaumil hisab (hari perhitungan amal) kelak. Maka, menjadi seorang pemimpin yang baik bagi rakyatnya hanya ada dalam naungan Daulah Islam. Al-Imam Hasan Al-Bashri tatkala menjawab pertanyaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tentang tugas seorang pemimpin :


"Sesungguhnya Allah SWT. menjadikan imam yang adil itu untuk meluruskan yang bengkok, membimbing yang zalim, memperbaiki yang rusak, membela yang lemah, membela yang lemah dan pelindung yang teraniaya. Dia (imam) seumpama seorang budak yang dipercaya oleh Tuhannya (Allah) untuk menjaga dan memelihara harta serta keluarganya, dia tidak akan menghukum dengan hukum jahiliyah, tidak mengikuti orang yang zalim, tidak membiarkan yang zalim itu semena-mena pada yang lemah, pemegang wasiat anak yatim, dan amanat orang miskin, mendidik yang kecil dan mengawasi yang besar." 


Begitulah bentuk kepemimpinan dalam Islam, tidak tunduk pada hukum jahiliyah, menjadi pengayom bukan menganggap bahwa seorang pemimpin adalah profesi. Dan pemimpin dalam Islam, adalah yang paling takut dengan sang khalik. Hal itu yang akan mencegah seorang pemimpin negara dari perbuatan keji dan mungkar. Tidakkah kita ingin hidup sejahtera? Dan merindukan sosok pemimpin yang mampu memberikan kemakmuran bagi rakyat. Jangan biarkan umat terus terpuruk dengan pemikiran jahiliyah akibat sistem rusak ini. Hanyalah umat yang bersatu demi tegaknya syariat yang akan senantiasa mengharap rida ilahi. Bergabung dengan jamaah Islam Ideologis, akan mencerahkan pemikiran kita dalam menyikapi suatu permasalahan yang tidak ada habisnya. Posisi kita menentukan keberpihakan kita, akan ada di barisan orang-orang yang berjuang, atau hanya sebagai penonton. Allah memang tidak butuh perjuangan kita, tetapi kitalah yang membutuhkan Allah agar kita mampu bertahan hingga kita meraih surga-Nya. 


 Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 50, yang artinya : "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" 


Pemimpin dalam Islam berbeda dengan pemimpin saat ini, mereka memiliki tanggung jawab untuk melayani rakyatnya. Karena menjadi pemimpin dalam Islam merupakan suatu amanah dari Allah, jabatan yang ia emban kelak akan dimintai pertanggung jawaban di Yaumil hisab (hari perhitungan amal) kelak. Maka, menjadi seorang pemimpin yang baik bagi rakyatnya hanya ada dalam naungan Daulah Islam. Al-Imam Hasan Al-Bashri tatkala menjawab pertanyaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tentang tugas seorang pemimpin :


"Sesungguhnya Allah SWT. menjadikan imam yang adil itu untuk meluruskan yang bengkok, membimbing yang zalim, memperbaiki yang rusak, membela yang lemah, membela yang lemah dan pelindung yang teraniaya. Dia (imam) seumpama seorang budak yang dipercaya oleh Tuhannya (Allah) untuk menjaga dan memelihara harta serta keluarganya, dia tidak akan menghukum dengan hukum jahiliyah, tidak mengikuti orang yang zalim, tidak membiarkan yang zalim itu semena-mena pada yang lemah, pemegang wasiat anak yatim, dan amanat orang miskin, mendidik yang kecil dan mengawasi yang besar." 


Begitulah bentuk kepemimpinan dalam Islam, tidak tunduk pada hukum jahiliyah, menjadi pengayom bukan menganggap bahwa seorang pemimpin adalah profesi. Dan pemimpin dalam Islam, adalah yang paling takut dengan sang khalik. Hal itu yang akan mencegah seorang pemimpin negara dari perbuatan keji dan mungkar. Tidakkah kita ingin hidup sejahtera? Dan merindukan sosok pemimpin yang mampu memberikan kemakmuran bagi rakyat. Jangan biarkan umat terus terpuruk dengan pemikiran jahiliyah akibat sistem rusak ini. Hanyalah umat yang bersatu demi tegaknya syariat yang akan senantiasa mengharap rida ilahi. Bergabung dengan jamaah Islam Ideologis, akan mencerahkan pemikiran kita dalam menyikapi suatu permasalahan yang tidak ada habisnya. Posisi kita menentukan keberpihakan kita, akan ada di barisan orang-orang yang berjuang, atau hanya sebagai penonton. Allah memang tidak butuh perjuangan kita, tetapi kitalah yang membutuhkan Allah agar kita mampu bertahan hingga kita meraih surga-Nya. Wallahu a'lam bisshawwab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم