Negeri Kaya yang Tak Kunjung Sentosa

 


Oleh: Maret Atik


Bumi cendrawasih bumi Papua


Penduduk aslinya Suku Asmat


Kemiskinan di Papua tiada habisnya


Sumber daya melimpah habis disikat


Berbicara soal kemiskinan di Papua, memang menyisakan perasaan pilu tiada tara. Bagaimana tidak, emas di Papua berlimpah jumlahnya, tapi kenapa kemiskinan di sana belum terselesaikan juga? Dan yang lebih memilukan lagi, saat aparat negara menyatakan bahwa saat ini ada perubahan yang cukup signifikan di Papua. Padahal faktanya? Mari kita lihat.


Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Theofransus Litaay, menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, telah terjadi penurunan angka kemiskinan dan meningkatnya angka harapan hidup di Papua. (cnnindonesia.com, 11/06/2023).  Theofransus mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan di Papua menurun dari 28,17 persen di bulan Maret tahun 2010 menjadi 26,56 persen di 2022. Sedangkan di Papua Barat, angka kemiskinan menurun dari 25,82 persen menjadi 21,33 persen 2022. 


Jika dilihat, penurunan angka kemiskinan ini adalah dalam kurun waktu yang cukup panjang, yakni 10 tahun. Jika dibandingkan dengan jumlah sumber daya alam di Papua yang melimpah ruah, maka tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa harus dalam jangka waktu yang cukup lama? Seharusnya, jika pengelolaan sumber daya alam ini dilakukan dengan sebaik-baiknya, bisa jadi dalam kurun waktu yang sama, kemiskinan sudah habis di Papua. 


Akar Masalah Papua 


Mengingat tanah Papua adalah tanah yang kaya sumber daya alam, seharusnya Papua menjadi wilayah yang makmur sejahtera. Namun fakta berbicara lain. Tambang emas seluas lebih dari 229 ribu hektar, juga tambang yang lain semisal tembaga, perak, batu bara, besi, dll, seolah tak mampu menopang kehidupan 4,3 juta rakyat Papua. Apa yang keliru?


Dengan jumlah tambang yang melimpah ruah, memang tidak serta merta membuat penduduknya ikut sejahtera apalagi kaya raya. Karena berbagai tambang yang ada dikelola oleh perusahaan asing. Tentu saja, hasil tambang itu kemudian dibawa lari ke luar negeri, sedangkan negara kita hanya memperoleh secuil penghasilan dari pajak. 


Dilansir dari cnbc Indonesia (07/02/2023), pendapatan PT. Freeport mencapai Rp 126,39 triliun, sedangkan royalti yang diterima pemerintah hanya sebesar Rp 5,36 triliun. Selisih angka ini sangat besar. Artinya, lebih banyak uang yang lari ke luar negeri. 


Ini semua tidak terlepas dari kebijakan negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme memang membolehkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam oleh negara asing, atas nama investasi. 


Sedangkan menurut pandangan Islam, sumber daya alam, termasuk tambang, adalah harta milik umum, yang wajib dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas dan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. (An Nabhani, Nidhomul Islam, hlm. 117). Dengan demikian, tambang tidak boleh dikelola oleh swasta, apalagi swasta asing.


Solusi Islam 


Dengan paradigma Islam, bahwa sumber daya alam adalah milik umum (rakyat), maka sudah seharusnya, negara mengelolanya sendiri, dan tidak diberikan kepada pihak swasta, apalagi swasta asing, agar tambang milik rakyat ini dapat dinikmati oleh pemiliknya, yaitu rakyat. Jika negara belum mampu mengelolanya sendiri, karena belum memiliki tenaga ahli misalnya, maka negara berupaya membayar tenaga ahli untuk mengelola sumber daya tersebut, sehingga hasilnya tetap dapat dinikmati oleh rakyat.


Selain itu, negara juga harus melakukan alih teknologi dari para ahli yang dibayar oleh negara tersebut, sehingga tidak terus-menerus membutuhkan tenaga ahli asing. Lambat laun negara akan memiliki ahli dari kalangan anak-anak bangsa sendiri. Dengan demikian, negara dapat mengelola sumber daya alam yang ada secara mandiri. 


Pengelolaan sumber daya alam yang demikian hanya ada dalam sistem ekonomi Islam. Dan sistem ekonomi Islam hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam yang menyeluruh, bukan setengah-setengah. 

Wallahu a’lam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم