Oleh: Selly Ummu Radit
Pangan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya harus ditunaikan setiap saat. Oleh karena itu, isu mengenai krisis pangan adalah masalah yang sangat serius.
Baru- baru ini, pemerintah terus mendorong program untuk memperkuat ketahanan pangan nasional melalui Badan Pangan Nasional (NFA) dengan mengedepankan keberagaman konsumsi pangan dan keterpenuhan gizi masyarakat. Upaya tersebut salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No 11 tahun 2023 tentang Pola Pangan Harapan.(REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA)
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi dalam keterangannya di Jakarta, 4 Juni 2023 menyatakan bahwa penerbitan Perbadan mengenai Pola Pangan Harapan (PPH) ditujukan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional yang mengedepankan keberagaman konsumsi pangan dan keterpenuhan gizi masyarakat.
Hanya saja Arief menuturkan bahwa swasembada pangan adalah tantangan besar,, sebab negara hanya mengucurkan 0,6 persen dari total anggaran negara untuk bidang pangan. (Katadata.co.id 2 juni 2023).
Pada tahun 2024 mendatang, pemerintah hanya menganggarkan dana sebesar 104,3 triliun rupiah hingga 124,3 triliun rupiah untuk meningkatkan Produk Pangan Domestik. Anggaran tersebut juga digunakan untuk memperkuat dukungan sarana dan prasarana penyimpanan maupun pengelolaan hasil pertanian, penguatan tata kelola sistem logistik nasional, dan konektifitas antar wilayah, serta penguatan cadangan pangan nasional. Selain itu, Arief juga menyampaikan tidak semua lahan yang tersedia di dalam negeri dapat menjadi area pertanian. Dengan demikian menurutnya ketimpangan ketersediaan pangan antar daerah akan menjadi hal yang lazim.
Ketahanan pangan merupakan persoalan penting bagi suatu negara. Karena hal itu akan berkaitan erat dengan kualitas Sumber Daya Manusia yang akan dihasilkan. Sayangnya hal ini masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pasalnya masalah ketersediaan pangan yang kerap kali tidak mencukupi bahkan diperparah dengan mahalnya harga pangan di tingkat konsumen masih menjadi permasalahan yang belum dapat teratasi dengan baik.
Sarana dan prasarana yang mendukung sektor pertanian di dalam negeri masih terbilang sangat minim. Hal ini tercermin dari kebijakan pencabutan subsidi pertanian yang harus dilakukan pemerintah. Dari situ kita bisa menilai bahwa permasalahan yang terjadi bukan ada pada pangan yang tidak beragam. Akan tetapi masalah terjadi akibat pengelolaan pangan yang belum maksimal.
Semua ini dapat terjadi tentu karena kebijakan pangan yang dipakai bertumpu pada sistem ekonomi neoliberal. Sistem yang dikenal amat condong pada kepentingan kapital (pemilik modal) adalah biang dari semrawutnya pengelolaan pangan di dalam negeri. Karena dalam sistem ini kapitalisasi dan liberalisasi di seluruh sektor yang menjadi kebutuhan hidup rakyat adalah sesuatu yang legal, termasuk di dalamya kapitalisasi dalam sektor pertanian.
Dalam sistem ini, korporasi raksasa akan dengan mudah dan cepat menguasai lahan pertanian dalam negeri karena dipandang lebih mumpuni dalam segi kemampuan modal. Dari situlah berdiri banyak perusahaan raksasa yang dengan cepat menguasai sektor pertanian mulai dari hulu hingga ke hilir. Di saat yang sama keadaan semakin diperparah ketika peran negara sangat minim dalam memenuhi pemenuhan kebutuhan pangan rakyat. Pengelolaan pangan dan pertanian yang lahir dari sistem kehidupan sekuler kapitalisme berpotensi mengaburkan dan menihilkan visi politik pangan. Pengelolaan pangan tidak lagi ditujukan untuk menyejahterakan rakyat serta menjamin kedaulatan pangan.
Akan tetapi pengelolaan pangan ditujukan untuk memenuhi ambisi rakus para pemilik modal (kapital). Lepasnya tangan negara dalam tanggung jawabnya mengenai masalah pangan ini sangat kentara ketika dilihat dari segi pendanaan pangan dalam APBN yang tidak menjadi prioritas. Walaupun masih ada pendanaan untuk pangan, jumlahnya sangat terbatas dan tidak mampu menyelesaikan problematika pengelolaan pangan dalam negeri.
Ketahanan dan kedaulatan pangan hanya bisa terwujud dalam sistem Islam yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Salah satu penerapannya bisa dilihat dari politik ekonomi Islam yang bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu rakyat dan dengan mekanismenya yang sedemikian rupa memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder juga tersiernya sesuai dengan kemampuan. Nyatanya Pangan adalah sektor strategis yang berkaitan langsung dalam membentuk gizi masyarakat.
Pengelolaan pangan sejatinya membutuhkan pendanaan yang cukup dan teknologi yang memadai agar bisa memanfaatkan lahan sebagai sarana untuk membangun Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Tanggung jawab untuk merealisasikan politik ekonomi semacam ini adalah kewajiban negara.
Negara seyogyanya bertanggung jawab menjamin keberlangsungan proses produksi dalam rangka menjaga stok pangan. Negara harus mendukung penuh usaha pertanian yang dijalankan rakyatnya.
Dalam aplikasinya, negara harus berupaya memberikan kemudahan akses pada rakyat untuk memperoleh bibit terbaik, menyedikan teknologi pertanian terbaru, menyalurkan bantuan saprodi, membangun infrastruktur pertanian, akses jalan, komunikasi, irigasi (pengairan). Di samping itu juga negara menyiapkan SDM yang mumpuni untuk mengelola sektor pertanian dengan menyelenggarakan Pendidikan pelatihan, riset dan juga menggalakkan pengembangan terkait pertanian.
Dari segi regulasi hukum, negara harus menerapkan hukum pertanahan sesuai hukum Islam agar dapat mencegah penguasaan lahan oleh individu dan swasta yang tidak berwenang sekaligus dapat menjamin semua lahan tanah bisa terkelola secara maksimal. Karena dalam syariat Islam, ditetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian itu akan hilang jika tanah tersebut ditelantarkan selama tiga tahun berturut- turut. Sistem Islam juga memandang kegiatan ekonomi hanya terjadi dalam sektor rill seperti pertanian, industri, dan perdagangan serta jasa.
Karenanya negara dalam sistem Islam akan memaksimalkan anggaran dana dari pos kepemilikan negara. Selain itu dalam aspek distribusi dan stabilisasi harga, negara dalam sistem Islam akan mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami tanpa ada intervensi dari pihak pemerintah. Negara hanya perlu melakukan pengawasan jika disinyalir terjadi kondisi tidak normal diantaranya dalam hal menghilangkan penyebab distorsi pasar akibat adanya aktifitas penimbunan dan kartel- kartel, serta menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan.
Kesempurnaan hukum Islam dalam mengatur segala urusan yang diimplementasikan dalam kehidupan manusia akan dapat mewujudkan ketahanan pangan sekaligus menyejahterakan rakyat. Wallahu a’lam bishawab.[]