Oleh: Ainun Istiharoh (Muslimah Intelektual)
Ekspor sumber daya alam memang menjadi salah satu pemasukan yang diharapkan oleh banyak negara. Sebab hal itu bisa menambah pemasukan Negara. Tapi jika yang di ekspor adalah pasir laut, apakah benar bisa mendatangkan untung atau malah buntung?
Beberapa berita yang beredar menyodorkan fakta kebijakan pemerintah Indonesia yang membuka kembali keran ekspor pasir laut. Kebijakan ini tertuang dalam izin ekspor pasir laut yang diterbitkan Presiden melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Aturan yang ditandatangani pada 15 Mei 2023 tersebut memuat tentang kegiatan pemanfaatan hasil sedimentasi laut seperti pengangkutan, penempatan, dan ekspor sedimen laut atau pasir laut.
Dalam Bab IV Pasal 9 ayat 2 huruf d disebutkan bahwa pemanfaatan pasir laut berupa reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha dan atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebenarnya kebijakan tentang pelarangan ekspor pasir laut telah dilakukan sejak tahun 2003 pada era presiden Megawati. Aturan pelarangan itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut yang ditandatangani oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno pada 28 Februari 2003. Alasannya adalah untuk menghindari kerusakan lingkungan yang lebih parah (suara.com, 30/5/2023). Lalu mengapa sekarang keran ekspor pasir laut ini dibuka kembali?
Ada pro dan kontra melihat kebijakan ini. Sebagian memandang keran ekspor pasir laut justru membawa bencana bagi nelayan dan eksosistem laut. Sebagian lagi mendukung dengan dalih keuntungan yang bisa didapat Negara. Coba kita cermati bersama!
Pasir laut yang diekspor adalah hasil dari sedimentasi laut yang jumlahnya memang cukup tinggi di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PDASHL) M. Saparis Soedarjanto mengatakan, sedimentasi di Indonesia sangat tinggi, yakni lebih dari 250 ton per tahun (Republika, 01/03/2018). Sedimentasi tinggi inilah yang menjadi perhatian presiden dan beberapa menteri untuk mengelolanya menjadi bahan baku pelaksanaan reklamasi dan akhirnya muncul kebijakan ekspor.
Namun, mengingat cara pengambilan pasir laut yang mengharuskan adanya pengerukan di area sedimentasi, baik itu di tepian pantai maupun di tengah pantai, membuat beberapa pihak menolak kebijakan pemanfaatan pasir laut. Pertimbangannya adalah dampak ekologis dan sosial yang akan ditimbulkan. Pencemaran air akibat pengerukan pasir laut tentu akan berdampak pada terganggunya populasi ekosistem laut, dan pastinya akan mempengaruhi pendapatan para nelayan. Bahkan berpotensi pada hilangnya pulau-pulau kecil di sekitar tempat pengerukan.
Dari data yang dicatat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan bahwa sampai tahun 2009 ada 26 pulau kecil di wilayah Riau yang hilang karena erosi pantai yang disebabkan penambangan pasir laut secara besar-besaran (porosjakarta.com, 11/6/2023).
Jadi kerusakan yang ditimbulkan akibat penambangan pasir laut tak setimpal dengan nilai ekonomi. keuntungan dari ekspor pasir laut kecil dan hanya jangka pendek bila dibandingkan dengan dampak kerusakannya yang sangat panjang.
Kritisi Kebijakan Izin Ekspor Pasir Laut.
Upaya pemerintah melahirkan peraturan yang katanya untuk masyarakat semakin jauh panggang dari api. Berulang kali pemerintah mengeluarkan peraturan yang menuai kontra. Kebijakan ekspor pasir laut seolah memungut remah-remah rempeyek untuk bertahan hidup. Negeri Indonesia yang kaya akan sumber daya alam berupaya memutar otak untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Betapa tidak, ditengah kepungan hutang yang melilit, sumber daya alam yang melimpah tak mampu membantu melunasinya. SDA tersebut dikelola oleh asing dan hanya secuil yang didapat oleh tanah air. Tak ayal, yang bisa dilakukan adalah menjual apa saja yang bisa dijual.
Ternyata SDA yang melimpah tak bisa dengan berdaulat dijual dan dimanfaatkan untuk hajat hidup orang banyak. Pemerintah berharap pada pasir laut untuk memenuhi kebutuhan negara. Meski alasannya adalah proyek reklamasi, tetap saja tidak bisa diterima keputusan kebijakan pengerukan pasir laut.
Sederet ulasan fakta di atas sudah cukup menjawab kenapa kita tidak setuju dengan pengerukan pasir laut ini. Pasalnya, persoalan utama negeri ini bukan pada pengelolaan pasir laut untuk reklamasi dan ekspor, tapi keseriusan pemerintah mengelola SDA lain yang besar potensinya untuk kemajuan bangsa. Sudah jelas bahwa kebijakan pemerintah terkait pemanfaatan pasir laut ini hanya alasan untuk melanggengkan beberapa kepentingan asing terhadap Indonesia. Kebutuhan Singapura terhadap pasir laut Indonesia menjadikan kerjasama antar keduanya harus dijaga yaitu dengan melanjutkan ekspor pasir laut. Kepentingan lainnya adalah para investor berkecimpung ditengah proyek reklamasi, hingga sekarang tak kunjung usai. Sangat mudah untuk menyedot kekayaan alam Indonesia namun tidak mudah untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebut saja, PT Freeport milik AS yang menguasai tambang emas dan tembaga di Papua, PT Shell milik Britania raya menguasai minyak dan gas, dan masih banyak lagi.
Islam Sebaik Pengelola SDA
Islam memandang bahwa SDA di muka bumi adalah titipan dari Allah yang harus dikelola dengan sebaik mungkin. Bagi pemegang kekuasaan diwajibkan untuk amanah. Sebagaimana dalam hadis yang berbunyi: "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (Riwayat Muslim).
Pemimpin harus melaksanakan amanahnya dengan cara baik, tak terkecuali dalam mengelola sumber daya alam. Cara terbaik adalah terikat dengan aturan Allah. Islam mengatur berbagai macam kekayaan alam negara berdasarkan pada jenis kepemilikan. Ada kekayaan yang kepemilikannya milik pribadi, milik negara dan milik umum. Berkaitan dengan pasir laut, islam menggolongkannya kedalam kekayaan milik umum. Artinya pasir laut adalah milik umat yang mana masyarakat bersama-sama memanfaatkan untuk kepentingannya. Bukan untuk diperjual belikan yang ujungnya menguntungkan salah satu pihak, terlebih pihak asing yang jelas tidak memiliki hak terhadap pasir laut tersebut.
Jelaslah, bahwa tindakan pemerintah benar dan tidaknya, untung dan buntungnya harus dilihat dengan kacamata Islam. Apabila dikelola berdasarkan nafsu dan manfaat bagi segelintir orang, maka tidaklah patut didukung. Sebaliknya, jika mengelolanya dengan aturan Ilahi, yang jelas tahu mana baik dan buruk bagi hambanya, maka tentu harus didukung secara penuh. Wallahu’alam.[]