BBM Bioetanol : Mampukah Memenuhi Kebutuhan Energi Secara Berkelanjutan?

 



Oleh: Nunik Krisnawati


Pertamina Indonesia akan meluncurkan BBM jenis baru yakni bioetanol pada Juni 2023. Ini adalah jenis bahan bakar baru dari sumber energi terbarukan yang merupakan campuran antara pertamax dengan nabati etanol. 


Nicke Widyawati (Direktur Utama Pertamina) mengungkap bahwa etanol yang akan digunakan berasal dari molases tebu. Ia juga menekankan transisi energi ini guna mewujudkan kemandirian energi bukan sekadar ambisi untuk menurunkan karbon emisi. Bioetanol juga menjadi bahan bakar alternatif yang dicampur dengan energi yang bersumber dari nabati sama seperti bioedesel. Bedanya bioetanol ini digunakan untuk kendaraan bermesin bensin (CNN Indonesia, 08/06/2023).


Pakar bioenergi ITB Prof. Tatang Hernas Soeawidjaja menyatakan bahwa campuran bioetanol dapat menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang sedang memberatkan neraca perdagangan Indonesia. Hasil riset yang dilakukan ITB menunjukkan bahwa Indonesia telah menghemat devisa sebesar US$2.6 milyar dari substitusi impor diesel melalui program biodiesel kelapa sawit. Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan pada tahun 2040, Indonesia akan mengimpor bahan bakar minyak hingga 35.6 juta kiloliter. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari total impor pada tahun 2021.


Berbagai manfaat penggunaan bioetanol sebagai campuran BBM telah disebutkan. Selain menekan impor BBM jenis bensin, penggunaan bioetanol sebagai campuran BBM dapat menurunkan polutan emisi kendaraan dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.


Selain itu, bioetanol juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 43% termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.


Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM (JAMBIEKSPRES.CO.ID, 14/06/2023).


Untuk memastikan program bioetanol berjalan, Kementerian ESDM telah mengonsolidasikan beberapa produsen etanol yang tergabung dalam Asosiasi Penyalur Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo). Konsolidasi ini ditujukan untuk menjamin kepastian produksi BBM bioetanol tidak mengganggu suplai tetes tebu untuk industri pangan, khususnya gula.

 

Meskipun produk BBM Pertamina banyak memiliki keuntungan, namun banyak persoalan yang ditimbulkan dari program bioetanol ini. Kebijakan harga misalnya, bioetanol lebih mahal dari pada pertamax. Mahalnya harga bioetanol disebabkan oleh nilai E5 (Ron Etanol) lebih tinggi, serta pajak dan subsidi yang tak tepat sasaran. 


Selain itu juga persoalan bahan baku. Saat ini pemerintah menggunakan produk samping tebu sebagai sumber bioetanol.  Padahal produksi tebu di dalam negeri saat ini masih sangat rendah. Untuk memenuhi kebutuhan gula saja lebih dari 90% didapatkan dari impor. 


Ketika program bioetanol digencarkan oleh pemerintah padahal pemenuhan pangan, khususnya gula masih kurang, dari mana akan didapatkan pemenuhan untuk bioetanol? Tentu ini akan menjadi masalah besar.


Jika demikian, akankah kebijakan program penyediaan energi berbahan bioetanol mampu menjamin pemenuhan kebutuhan energi masyarakat secara murah dan mudah?


Program pengadaan bioetanol ini pernah dilakukan oleh pemerintah dengan sumber biji jarak. Akan tetapi program bioetanol biji jarak ini mangkrak.  Pasalnya, pabrik-pabrik pengolahan yang dibangun pemerintah pusat dan daerah tak lagi beroperasi. Hanya pabrik-pabrik pengolahan yang dikelola oleh asing  yang masih beroperasi dan berkembang. Hasil pengolahan biji jarak tersebut dikemas dan diekspor keluar negeri. Tragisnya, minyak biji jarak dari petani justru dihargai murah.


Berkaca dari kegagalan program bioetanol yang bersumber dari biji jarak, maka keberhasilan program bioetanol kali ini juga meragukan. Terlebih jika pengelolaan dan pengadaan energi masih menggunakan prinsip kapitalisme neoliberal yang menyerahkan pengelolaan produksinya kepada pihak swasta dan korporasi plat merah atau BUMN.


Pengelolaan dengan konsep kapitalisme neoliberal hanya berorientasi pada mencari keuntungan, sedangkan layanan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan energi menjadi persoalan yang tidak diperhatikan. Negara hanya berfungsi sebagai regulator antara pengusaha atau swasta dengan rakyat. 


Indonesia kaya akan SDA Migas. Namun anehnya, justru menjadi pengimpor migas. Ironisnya, untuk dapat mengkonsumsi BBM rakyat harus membayar dengan harga mahal. Kekayaan migas dalam negeri tidak dapat dinikmati oleh rakyat sendiri. Hal ini terjadi karena aturan kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah membuat kekayaan alam legal dikuasai oleh swasta. Di tambah lagi dengan adanya UU SDA yang membuat sebagian hasil eksplorasi migas wajib diekspor keluar negeri. 


Tidak berbeda dengan pengadaan bioetanol kali ini, pun syarat dengan hegemoni kapitalisme. Pengadaan bioetanol juga berpotensi menjadi ladang kapitalisasi swasta. 


Kembali Pada Cara Islam


Dalam Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab akan kepengurusan kebutuhan rakyat. Khilafah sebagai pemimpin tunggal kaum muslimin di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam kepengurusan umat. Rasulullah Saw bersabda: "Imam (Khalifah) adalah ra'in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya" (HR. Bukhari Muslim).


Maka Islam mewajibkan negara untuk membuat kebijakan yang memudahkan hidup rakyatnya, sehingga negara khilafah akan mengurus rakyatnya dengan sepenuh hati. Kebijakan diambil berdasarkan atas pelayanan publik, bukan berorientasi pada untung rugi sebagaimana negara kapitalisme. Maka untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, Khilafah berpijak pada syariat yang mengaturnya. 


Sebagaimana diketahui, bahwa migas dan batubara adalah penopang utama energi. SDA tersebut terkategori kepemilikan umum yang tidak boleh dimonopoli oleh umum dan dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat atau diwakili oleh negara sebagai perwakilannya.


Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Sesungguhnya umat Islam berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).


Sumber energi masuk kedalam golongan ‘api’ yang disebutkan dalam hadist di atas. Meski dapat dimanfaatkan secara langsung, namun proses pengolahan energi dari hulu ke hilir memerlukan teknologi serta dana yang sangat besar sehingga tidak memungkinkan untuk dikelola secara mandiri oleh masyarakat.


Maka proses ekplorasi, ekploitasi hingga pengolahan hasil tambang dibawah kendali Khilafah. Selanjutnya Khilafah mendistribusikan hasil pengelolaan tersebut kepada warganya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendistribusian secara langsung, seperti subsidi BBM, listrik dan kebutuhan energi lainnya sehingga rakyat dapat menikmatinya dengan mudah, murah bahkan gratis. Sedangkan pendistribusian secara tidak langsung, keuntungan SDA akan dimasukan ke dalam pos kepemilikan umum baitul mal. Dana dari pos ini digunakan untuk membiayai kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, jalan dan lain-lain.


Dari sisi pemanfaatan migas, jika dinilai menimbulkan emisi CO2 yang tinggi, negara mewajibkan menggunakan teknologi yang baik sehingga tidak dihasilkan emisi CO2 tinggi.


Sekalipun dalam Islam memperbolehkan energi alternatif, seperti bioenergi tetapi tentu tidak boleh menimbulkan dharar (mudharat) yang lebih besar bagi rakyat, seperti kesulitan pangan yang menyebabkan importasi atau bahkan kerusakan lingkungan.


Demikianlah Khilafah mengatur dan mengelola kebutuhan energi untuk warga negaranya. Negara Khilafah bukan menjadi mesin regulator kapitalisme namun berdiri kokoh, mandiri, dan memiliki kedaulatan penuh dalam urusan negara ataupun rakyatnya.Wallahua’lam bish shawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم