Pro Kontra RUU Kesehatan: Sistem Kesehatan Makin Memprihatinkan

 


Oleh: Nahida Ilma (Mahasiswa Kesehatan)


Pro dan kontra RUU Kesehatan belum menunjukkan ujung titik terang. Tenaga kesehatan yang biasa tampak rapi dengan setelan seragam putih, kini berbondong-bondong dari berbagai daerah turun ke jalan menyampaikan penolakan terhadap pembahasan RUU Kesehatan. Tentu saja hal ini menjadi perhatian publik pasalnya sejatinya nakes merupakan silent professional, bekerja tanpa banyak bicara, penuh dedikasi dalam kesunyian. Lantas ketika mereka memutuskan untuk bersuara lantang, itu berarti ada suatu hal yang salah dalam sistem kesehatan ini yang tidak bisa lagi didiamkan.


Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan mendapat penolakan dari berbagai organisasi profesi kesehatan. Sebanyak lima organisasi profesi kesehatan menggelar aksi demostrasi menolak pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law, diantaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), PErsatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) (Kompas.com, 13 Mei 2023). Jakarta menjadi saksi sejarah dimana lebih dari 20 ribu dokter dan tenaga kesehatan turun ke jalan berdemonstrasi (MediaIndonesia.com, 10 Mei 2023).


Ketua PPNI Harif Fadillah dalam konferensi pers “Stop Pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law)” di Jakarta, menyampaikan “RUU Kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi perawat ataupun nakes dan masyarakat, serta mendegradasi profesi kesehatan dalam system kesehatan nasional” (Kompas.com, 8 Mei 2023).


Minim transparasi menjadi poin utama yang menjadikan RUU Kesehatan di tolak oleh nakes. Pasal terkait pengaturan STR yang diganti menjadi seumur hidup juga dinilai akan mengurangi mutu tenaga kesehatan. Disamping itu juga rancangan undang-undang ini juga akan mempermudah tenaga kesenatan asing masuk (Bisnis.com,8 Mei 2023).


Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril merespon adanya aksi demo yang dilakukan oleh nakes. Syahril beranggapan, penolakan terhadap RUU Kesehatan yang sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah justru berpotensi menghambat kebutuhan terhadap perlindungan hukum yang lebih kuat dan jelas untuk dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan layanan (Kompas.com, 13 Mei 2023).


Juru Bicara Kemenkes juga menyampaikan bahwa RUU Kesehatan disusun agar mempermudah masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas. Seperti kemudahan akses yang diharapkan mengalami tranformasi atau perubahan (Medcom.id, 17 Mei 2023).


Pro kontra RUU Kesehatan juga memanas di media sosial, termasuk salah satunya di twitter. Pengarusan opini yang menjadikan jarak antara pemerintah dan organisasi profesi semakin menjadi-jadi. Saling menyalahkan kedua belah pihak, mengklaim bahwa masalah kesehatan yang ada selama ini dikarena ditunggangi oleh kepentingan salah satu pihak. 


Perbedaan cara pandang adalah keniscayaan ketika kepentingan masing-masing pihak menjadi asas dalam menentukan kebijakan. Adanya bentuk protes tenaga kesehatan kepada pemerintah terkait perlindungan tenaga kesehatan, sejatinya menunjukkan belum terwujudnya perlindungan secara nyata. Penguasa dalam sistem ini gagal melindungi kesehatan dan keselamatan jiwa para tenaga medis serta masyarakat secara umum. 


Hal yang mendasari, dimana cara pandang kapitalisme terhadap kesehatan yang dijadikan sebagai salah satu objek komersial atau kepentingan bisnis. Pernyataan ini disampaikan secara terang-terangan pada laman webnya oleh The World Trade Organization (WTO), organisasi perdagangan dunia. Pelayanan yang diberikan hanya untuk kemaslahatan para korporasi. Sebab penguasa dalam sistem demokrasi-kapitalisme bekerja untuk kepentingan pengusaha. Sementara kepentingan pengusaha adalah meraup untung sebesar-besarnya dari bisnis kesehatan yang dilegalkan. Sehingga sistem kesehatan yang berpihak pada keselamatan jiwa rakyat bahkan tenaga medis yang menjadi garda terdepan kesehatan, hanyalah janji semu. 


Karena itu, bagaimana pun upaya mengubah UU yang ada selama paradigma kapitalisme yang digunakan dalam mengelola sistem kesehatan tidak akan pernah menjamin perlindungan bagi tenaga kesehatan dan rakyat pada umumnya.


Sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan adalah kebutuhan vital yang seharusnya dijamin oleh negara untuk setiap rakyatnya. Pelayanan kesehatan yang terbaik adalah hak yang seharusnya diterima dengan Cuma-Cuma oleh warga negara. Cara pandang seperti inilah yang seharusnya dimilik oleh kepala negara sebagai bentuk tanggungjawabnya atas Amanah untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya,


“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusannya rakyatnya” (HR. Al-Bukhari)


Sudut pandang seperti ini hanya ada pada sistem sahih yang berasal dari wahyu Allah SWT. Yaitu sistem politik islam yang akan mampu menjadi solusi atas segala bentuk permasalahan yang dihadapi umat manusia secara keseluruhan. Termasuk mewujudkan sistem kesehatan yang manusiawi. Sistem tersebut adalah sistem yang pernah diterapkan selama kurun waktu lebih dari 13 abad yaitu Khilafah Islamiyah. Islam menjadikan kesehatan sebagai satu perkara yang harus dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu, islam menjadikan kepentingan rakyat dan tenaga kesehatan sebagai pokok prioritas yang harus dilindungi. Jaminan keselamatan dan keamanan praktik nakes serta kelancaran perjalanan pendidikannya akan diberikan. Rakyat pun dapat mengakses pelayanan kesehatan tanpa harus memikirkan berapa biaya yang dikeluarkan karena pelayanan kesehatan diberikan secara gratis tanpa mengurangi mutu pelayanan. Wallahua’lam bi Ash-Showab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم