MENYOAL KRITERIA PEMIMPIN

 


Oleh : Irawati Tri Kurnia

(Aktivis Muslimah)


Muncul pernyataan yang ikut memanaskan kondisi politik saat ini. Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy alias Romy menyampaikan agar masyarakat tidak mempersoalkan kesalihan dari tiga nama calon presiden (capres) yang muncul di sejumlah lembaga survei nasional. Tiga nama itu adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Hal itu terungkap dalam acara “Catatan Demokrasi” TVOne dikutip Rabu (10 Mei 2023).


Romy menyampaikan dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, kitab yang menjadi salah satu rujukan untuk tata negara dalam hukum Islam sekalipun, seorang pemimpin yang ahli maksiat pun masih memiliki hak untuk ditaati, sepanjang dia tidak melarang kebebasan beragama. Atas dasar itu, menurut Romy, yang menjadi persoalan krusial sebenarnya adalah kualitas dan kapasitas pemimpin itu sendiri. Bukan urusan kesalihan personal seorang pemimpin (www.rmol.id, 10 Mei 2023) (1).


Terkait pernyataan di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu disorot. Pertama: Tentang kriteria calon pemimpin. Betulkah calon pemimpin tidak harus salih? Apa boleh berasal dari kalangan orang fasiq atau yang gemar bermaksiat (misal: suka nonton film porno), karena yang penting dia punya kapasitas kepemimpinan? Kedua: Sejauh mana seorang pemimpin wajib ditaati. Betulkah pemimpin fasiq atau ahli maksiat tetap wajib ditaati?


Sebagai Muslim, haruslah kita menjadikan Islam (al-Quran dan as-Sunnah) sebagai satu-satunya standar dalam menetapkan calon pemimpin, juga dalam menyikapi perilaku dan kebijakan pemimpin. Dalam banyak kitab fiqih siyâsah (politik) Telah banyak dibahas sejumlah kriteria yang wajib ada pada diri calon pemimpin, yang berdasar Al-Qur’an dan Sunah. Secara umum kriterianya sama. Kriteria umum pemimpin (kepala negara) dalam Islam yang dimaksud adalah: 


(1) Muslim

(2) Laki-laki

(3) Balig

(4) Berakal 

(5) Merdeka (bukan budak/berada dalam kekuasaan pihak lain)

(6) Adil (bukan orang fasiq/ahli maksiat)

(7) Mampu (punya kapasitas untuk memimpin).


Salah satunya dibahas secara detail oleh al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M), dalam kitabnya, Al-Khilâfah dan Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Jilid 2). 


Karena itu jelas, di antara kriteria calon pemimpin (kepala negara) adalah harus orang yang adil (poin 6). Artinya, ia bukan orang fasiq (ahli maksiat) atau orang zalim. Karena kata adil memang sering dilawankan dengan kata fasiq atau zalim. Di antara ciri utama orang fasiq atau zalim adalah enggan berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT. Dasarnya adalah firman Allah SWT:


“Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, mereka itulah kaum yang zalim” (TQS al-Maidah [5]: 45).


“Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, mereka itulah kaum yang fasiq” (TQS al-Maidah [5]: 47). 


Karenanya meskipun secara personal seorang calon pemimpin tampak baik, santun, ramah, cerdas, punya jiwa kepemimpinan; jika ia enggan berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT dalam memimpin dan mengurus rakyat, atau tidak mau menerapkan syariah Islam dalam mengelola negara/pemerintahan; maka ia terkategori zalim atau fasiq. Maka tidak layak menjadi pemimpin (kepala negara) karena berarti mereka bukan orang-orang yang adil. Apalagi, dalam Islam, tugas utama kepala negara (Imam/Khalifah) adalah menerapkan hukum-hukum Syariah. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum:


“Khalifah (kepala negara) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan dan penerapan hukum-hukum Syariah” (Zallum, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, hlm. 49).


Allah SWT memang telah mewajibkan kaum Muslim untuk menaati pemimpin mereka. Allah berfirman:


“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian” (TQS an-Nisa’ [4]: 59).


Ayat tersebut jelas menunjukkan kewajiban menaati Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara umat Islam. Namun kemudian, ada yang menafsirkan ketaatan kepada penguasa dalam ayat tersebut berlaku umum untuk setiap pemegang kekuasaan (penguasa); tidak dilihat lagi apakah Ulil Amri itu Khalifah dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), ataukah penguasa dalam sistem pemerintahan sekular, seperti presiden dalam sistem republik, atau raja dalam sistem kerajaan (monarki) (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 8-9). Padahal yang dimaksud bukanlah sembarang penguasa, melainkan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yaitu Imam (Khalifah) dan para wakilnya (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17).


Ini sejalan dengan penjelasan Imam asy-Syaukani rahimahulLâh :

“Ulil Amri adalah para imam, para sultan, para qadhi (hakim) dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan bangsa thaghut (Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/556). 

Dan ketaatan kepada Imam (Khalifah) dan para wakilnya tersebut juga terbatas pada perkara yang ma’ruf (yang dibenarkan syariah Islam), bukan ketaatan pada segala perkara yang mungkar atau maksiat (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17)


Imam Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, setelah menafsirkan surat an-Nisa ayat 59 di atas, juga menukil hadis berikut:

Dari Ummul Hushain bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw berkhutbah pada Haji Wada' bersabda, "Meskipun kalian diperintah oleh seorang budak, sementara ia memimpin kalian dengan Kitabullah (al-Quran), maka dengar dan taatilah dia." (HR Muslim).


Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadis di atas :

Para ulama berkata: Maksudnya adalah selama para pemimpin itu masih berpegang teguh dengan Islam dan menyeru pada Kitabullah (al-Quran) (An-Nawawi, Syarh ‘alâ Shahîh Muslim, 9/47).


Kaum Muslimin sesungguhnya dituntut bukan sebatas memilih dan mengangkat pemimpin (kepala negara)  tapi mereka pun dituntut untuk menegakkan sistem pemerintahan Islam (Imamah/Khilafah). Imam an-Nawawi menyatakan :


“Umat wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan agama, membela Sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, serta memenuhi hak dan mengembalikannya pada posisinya. Saya tegaskan, pengangkatan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah.” 


Istilah Imam ini dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dengan konotasi Khalifah dan Amirul Mu’minin. Beliau menyatakan, “Seorang Imam boleh disebut Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin.” 


Jadi tidak benar jika Imam yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini tidak harus Khalifah, tetapi bisa Presiden, Raja, atau yang lain. Pernyataan seperti ini jelas menyesatkan. Jadi bagaimana mungkin ada yang mengklaim Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetapi menolak Khilafah? 


Maka haruslah kita umat Islam kembali ke Islam, termasuk menentukan kategori pemimpin yang layak. Yaitu yang salah satunya wajib adil, yaitu paham Islam dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara serta bermasyarakat. Semoga dengan demikian hidup kita menjadi berkah dengan Syariah. Aamiin. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.[]



Catatan Kaki : 

(1) https://politik.rmol.id/read/2023/05/10/573549/romahurmuziy-jangan-jadikan-tingkat-kesalehan-figur-untuk-memilih-pemimpin

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم