Lemahnya Hukum dalam Sistem Sekuler

 


 Oleh : Ria Anggraini (Muslimah Bangka Belitung)

 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba Merry Utami. Menurut ICJR, kebijakan ini merupakan grasi pertama yang diberikam Presiden Jokowi kepada terpidana mati kasus narkotika.


 "Grasi ini adalah grasi pertama yang diberikan Presiden Jokowi untuk terpidana mati kasus narkotika. Bagi ICJR ini adalah langkah penting yang diambil oleh Presiden Jokowi dalam perubahan kebijakan hukuman mati selama ini," kata peneliti ICJR Adhigama Budiman kepada wartawan, Jumat (14/4).


 "ICJR berharap hal yang sama akan diterapkan bagi terpidana mari lain, khususnya yang sudah lebih dari 10 tahun dalam masa tunggu terpidana mati," sambungnya.


 Adhigama menjelaskan, berdasarkan pernyataan kuasa gukum Merry Utami, klienya diberikan grasi oleh Presiden Jokowi pada Kamis, 24 Maret 2023 lalu. Keputusan Presiden No. 1/G/2023 ini mengubah pidana mati Merry Utami menjadi pidana seumur hidup. 


 Sebagai informasi, Merri Utami merupakan terpidana mati dalam kasus 1,1 kilogram heroin yang diungkap di Bandara Soekarno Hatta 2001 silam. Ia dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena kedapatan membawa heroin saat pulang dari Taiwan.


Pemberian grasi ini pun menuai kontroversi. Begitu pula dengan penetapan hukuman mati yang dianggap melanggar HAM. Indonesia sendiri masih menggunakan hukuman mati sebagai salah satu sanksi, sedangkan dunia internasional justru menolaknya. 


Bagi Amnesty International, hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan; atau merupakan hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Hak tersebut dilindungi dalam Deklarasi Universal HAM, instrumen HAM lainnya, dan banyak konstitusi nasional di seluruh dunia, termasuk konstitusi Indonesia.


Realitasnya, dalam sistem kapitalisme, bisa terjadi kesalahan dalam penetapan keputusan hukuman mati. Misalnya, sejak 1973, lebih dari 160 narapidana yang dijatuhi hukuman mati di AS dibebaskan karena akhirnya terbukti tidak bersalah, atau juga vonisnya terbukti tidak proporsional dengan kejahatan mereka.


Hukuman mati dalam sistem kapitalisme juga sering digunakan secara tidak adil. Amnesty International mencatat, dalam banyak kasus, orang-orang dieksekusi setelah dihukum dalam persidangan yang sangat tidak adil, atas dasar bukti yang tidak benar yang didapat dari hasil penyiksaan, ataupun dengan pendampingan hukum yang tidak memadai.


Dalam sistem kapitalisme, negara-negara yang mengeksekusi hukuman mati biasanya yakin itu adalah cara terakhir untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Akan tetapi, tidak ada bukti bahwa hukuman mati di sistem sekuler ini efektif dalam mengurangi kejahatan. Hukuman mati sering kali membuat negara sebatas “lega” dan melupakan perubahan sistemis yang sebenarnya harus dilakukan untuk menghapus kejahatan.


Selain itu, hukuman mati sering digunakan sebagai alat politik. Pihak berwenang di beberapa negara, misalnya Iran dan Sudan, menggunakan hukuman mati untuk menghukum lawan politik. Hukuman mati juga kerap digunakan sebagai “obat penenang” bagi warga yang ketakutan, meski nyatanya eksekusi bukan cara paling efektif untuk benar-benar membasmi kejahatan.


Bahkan, ancaman hukuman mati tidak dapat menyelesaikan masalah utama kejahatan, termasuk narkotika. Di Indonesia, vonis hukuman mati untuk kasus kejahatan terkait narkotika meningkat dari 48 orang (2018) menjadi 80 orang (2019). Meski yang divonis mati makin banyak, data Badan Narkotika Nasional menunjukkan jumlah pengguna narkotika sepanjang 2019 justru meningkat 0,03%, yakni menjadi 3,6 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya.


Kepastian hukum untuk memberikan efek jera atau mencegah kejahatan benar-benar tidak ada. Semuanya bisa dipolitisasi. Apalagi dengan lahirnya KUHP baru yang cenderung pro nilai-nilai kebebasan ala demokrasi. Keputusan-keputusan hukum bisa saja dianulir dengan berbagai macam dalih. Misalnya, seseorang yang sudah diputuskan hukuman mati, bisa bebas setelah 10 tahun dengan alasan berperilaku baik. Ini tentu menunjukkan aspek ketidakadilan hukum. Para korban pelaku kriminal sudah banyak mengalami kerugian, tetapi pelakunya tidak mendapatkan hukum setimpal.


Hukum pun bisa ditarik ke sana kemari. Kalau pelakunya memiliki kedudukan atau jabatan penting di dalam politik, hukum cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini adalah fenomena pelaksanaan hukum di alam demokrasi yang akhirnya tidak melahirkan keadilan dan kepastian hukum, walaupun kasusnya sudah clear, jelas merugikan banyak pihak, bahkan merugikan negara. Banyak kasus besar yang kemudian mangkrak atau dibiarkan begitu saja, padahal kerugiannya sangat besar bagi pihak-pihak tertentu, terutama rakyat kecil dan negara.


Hukum juga ternyata kadang dijadikan sebagai alat politik pencitraan. Misalnya, pada masa-masa tahun politik, ketika seseorang yang memiliki otoritas memberikan keringanan hukum, langsung dianggap pro HAM dan demokrasi. Apabila kalau memberikan grasi hukum bagi pelaku-pelaku kriminal yang telah terbukti ia harus dihukum mati. Realitas menunjukkan, elektabilitas seseorang yang memiliki otoritas yang pro HAM dan demokrasi, bisa meningkat karenanya.


Islam merupakan agama yang sempurna. Tidak hanya ibadah mahdhah, Islam juga memiliki sistem sanksi yang dapat memberikan efek jera bagi narapidana. Sanksi dalam Islam jika diterapkan akan berfungsi sebagai jawabir dan zawajir. Jawabir artinya bahwa hukum Islam jika diterapkan sekaligus akan menjadi penebus bagi dosa-dosanya jika ia bertobat. Sedangkan zawajir maknanya bahwa hukum Islam akan menjadi perisai, yaitu mencegah orang lain bertindak kejahatan yang sama.


Pendekatan hukum Islam untuk membuat masyarakat bertobat adalah dengan menanamkan keimanan kepada Allah. Negara akan memberikan pembinaan agar para narapidana melakukan tobat nasuhah. Sistem pidana Islam pun bersifat tegas. Sesuai dengan nas syarak/' atau hasil ijtihad para qadhi. Sehingga tidak bisa dibeli dengan uang.


Sistem sanksi Islam tidak bisa berdiri sendiri. Keberadaannya perlu didukung dengan aturan lainnya. Seperti sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, sistem kesehatan, sistem sosial, dst. Penerapan sistem ekonomi Islam akan membuat negara menjamin kebutuhan pokok rakyatnya. Misalnya, pengelolaan APBN yang sesuai dalam Islam akan membuat negara memiliki kas yang banyak, baik dari pemasukan pos jizyah, fai, kharaj, ghanimah, hingga pengelolaan SDA. Harta itu akan digunakan negara untuk memakmurkan rakyat.


Ada pos khusus seperti zakat, pos ini akan langsung didistribusikan ke orang yang membutuhkan. Sehingga, tidak ada yang merasa kekurangan. Dengan kondisi ini, kejahatan atas nama desakan ekonomi akan tertepis. Jadi tidak ada rakyat yang akan melakukan kejahatan atas nama himpitan kehidupan.


Negara juga akan membuka lapangan pekerjaan, baik memberikan modal atau pinjaman tanpa bunga kepada siapa pun yang membutuhkan. Tak peduli akan mantan narapidana atau bukan, sehingga mereka dapat hidup dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan.


Sistem sosial juga akan menjaga pergaulan lawan jenis. Mereka tidak akan berinteraksi melewati batas yang ditentukan syara'. Dengan begitu pergaulan mereka akan terjaga. Sehingga, kesempatan melakukan tindakan kejahatan akan dapat diminimalisir.


Indahnya penerapan hukum Islam di atas hanya akan terwujud dalam dukungan sistem pemerintahan yang sama, yaitu sistem pemerintahan Islam, Khilafah. Khilafah akan menjalankan tugasnya sesuai dengan tuntunan syara' atas dasar Al-Qur’an dan hadis. Jadi, dengan sistem Islam yang sempurna akan membuat narapidana tobat nasuhah dan masyarakat merasa tenang hidupnya. Wallahu'alam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم