Oleh: Yetti
Kasus bullying makin marak terjadi, bahkan di Sekolah Dasar (SD). Baru-baru ini, seorang pelajar di salah satu SD di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi berinisial MHD (10 tahun) dikabarkan meninggal dunia, pada Sabtu (20/5/2023). Diduga anak tersebut meninggal setelah dikeroyok tiga orang kakak kelasnya (Republika.co.id, 22 Mei 2023).
Penganiayaan terjadi saat berlangsungnya proses pembelajaran. Sang bocah diduga dikeroyok dua hari berturut-turut di kamar mandi dan di belakang sekolah. Korban sempat menjalani perawatan, hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia karena mengalami sejumlah luka dalam. Keluarga koban meminta pertanggungjawaban kepada sekolah dan keluarga pelaku pengeroyokan. Polisi pun langsung turun tangan mengumpulkan keterangan, namun kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.
Beginilah potret negatif gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini. Mereka sangat akrab dengan tabiat bullying dan seniorisasi. Tabiat buruk yang lahir dari arogansi, eksistensi dan popularitas. Mereka membutuhkan pengakuan jati diri dengan jalan menzolimi. Pengeroyokan, penganiayaan dan berbagai tindak kriminalisasi mereka jabani, hanya untuk menyalurkan emosi. Mereka tidak peduli ada nyawa yang hilang dan fisik yang ternodai. Entah apa yang mereka cari, masa muda hanya dihabiskan untuk melampiaskan dendam pribadi.
Sungguh miris nasib generasi muda masa kini. Kehidupan mereka yang seharusnya diisi dengan pendidikan fisik, mental dan rohani, justru malah menjadi korban pendidikan sekular dan kapitalis. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pencapaian nilai akademik, materi dan eksistensi, tanpa memperhatikan nilai sikap, tata krama dan pengendalian emosi. Pendidikan yang hanya mementingkan adopsi kurikulum pendidikan luar negeri tanpa memperhatikan aspek moral dan rohani. Pendidikan yang memisahkan agama dari kehidupan, yang hanya melahirkan generasi yang tak paham tujuan penciptaan. Pendidikan yang mendukung liberalisasi yang menghasilkan generasi tanpa aturan dan bersikap sesuai apa yang mereka inginkan. Pendidikan yang menyuburkan gengsi, ego, acuh tak acuh, dan enggan saling peduli dan berempati. Pendidikan tempat ajang pamer diri, akhlak mulia tidak lagi menjadi orientasi. Pendidikan yang memaksimalkan kecerdasan intelektual namun lupa menghadirkan kecerdasan spiritual dan emosional.
Inilah kenyataan pahit yang harus ditelan dunia pendidikan saat ini. Anak-anak yang seharusnya masih polos dan bersih kini berubah menjadi pribadi yang sadis dan bengis. Fenomena merata dirasakan dimana-mana. Menurut chatime.co.id bulan November 2022, Indonesia menjadi peringkat kelima di dunia untuk kasus bullying anak-anak dan remaja. Kasus ini seolah-olah dibiarkan tanpa solusi pasti. Negara abai dan tidak peduli dengan kualitas generasi. Sekolah Ramah Anak (SRA) dan himbauan tidak melakukan bullying bukanlah solusi yang menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Karena kasus ini terjadi dan terjadi lagi.
Masyarakat harus memahami, kehidupan sekular dan kapitalis telah gagal mencetak generasi, apalagi manusia yang islami. Harapan untuk meningkatkan mutu generasi hanya dengan penerapan syariat yang benar-benar murni, yaitu Sistem Pendidikan Islam. Sebuah sistem yang berasal dari Sang Pencipta yang tentu sangat mengerti dengan kehidupan makhluk_Nya.
Sistem pendidikan islam lahir dari aqidah islam yang menjadi standar berfikir dan tolak ukur perbuatan. Sistem yang tidak hanya menggembleng pikiran dan sikap tetapi juga berfokus kepada pembentukan jiwa. Bahkan penggemblengan jiwa merupakan sasaran utama sehingga menghasilkan generasi yang beriman dan bertaqwa. Dengan adanya iman dan taqwa maka akan mudah untuk mencetak manusia pintar, cerdas dan berakhlak mulia.
Sistem ini melahirkan suasana keimanan dan ketaqwaan di setiap sentuhannya. Suasana ini tidak hanya dihadirkan dalam pendidikan formal di sekolah-sekolah, namun juga hadir di lingkungan keluarga. Keluarga merupakan madrasah pertama yang mendampingi tumbuh kembang otak dan akhlak anak-anak. Selain itu, lingkungan masyarakat tempat tinggal anak juga akan dipantau dan dikondisikan untuk mendukung terciptanya suasana ini. Tayangan di media diatur sedemikian rupa sehingga kontennya mendukung kehidupan Islami. Tidak ada lagi tayangan kekerasan sosial dan pornografi yang meracuni otak dan akhlak generasi.
Ketika suasana keimanan dan ketaqwaan telah tercipta, otak dan hati mudah menerima pelajaran apa saja. Anak-anak menjadi cerdas tanpa meninggalkan akhlak mulia. Pendidikan tidak hanya berorientasi prestasi akademik, tetapi lebih dari itu. Pendidikan mengarahkan generasi untuk menjadi manusia yang paling bermanfaat, seperti sabda Rasullullah SAW "sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat (HR Ahmad)". Pendidikan akan memotivasi generasi untuk beramar makruf nahi mungkar. Pendidikan akan melahirkan generasi yang berfikir cemerlang serta berorientasi pada pembaharuan dan kemajuan, tanpa melanggar batas-batas yang sudah ditentukan.
Sistem pendidikan seperti ini tidak hanya teori. Sistem pendidikan ini sudah terbukti dan diterapkan 1440 tahun yang lalu oleh sang nabi. Kemudian dilanjutkan oleh para sahabat dan pejuang islam sampai runtuhnya Khilafah Usmaniyah di Turki.
Berabad-abad islam telah menjadi mercusuar peradaban dunia. Sistem pendidikannya telah melahirkan banyak generasi emas yang berkepribadian islami. Generasi yang cerdas dan berani, dihormati dan disegani semua kalangan, bahkan oleh musuh-musuh Islam. Wallahu'alam bishawab.[]