Korupsi Terus Berulang, Produk Sekuler yang tak kan Pernah Hilang

 


Oleh : Anita Humayroh


Korupsi...oh...korupsi....

Nampaknya hal ini sudah tidak lagi menjadi sebuah tindak kejahatan, namun beralih menjadi sebuah kebiasaan. Ya..kebiasaan. Bagaimana tidak, hampir setiap hari wara wiri berita negeri ini isinya kasus korupsi, mirisnya terjadi di bulan suci.


Semua berawal sejak 2005 di mana Rafael diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Dengan jabatan itu, Rafael mempunyai wewenang antara lain melakukan penelitian dan memeriksa temuan perpajakan dari wajib pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pada 2011, Rafael diangkat dalam jabatan Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur I. Selama menjabat, Rafael diduga menerima gratifikasi dari beberapa wajib pajak atas pengondisian berbagai temuan pemeriksaannya.


Kasus perampokan uang rakyat yang tak kalah hebohnya ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencekal 10 tersangka dalam penyidikan dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020—2022 ke luar negeri. Tidak tanggung-tanggung, dalam penggeledahan di Apartemen Pakubuwono, penyidik KPK menemukan uang tunai sejumlah Rp1,3 miliar (Antara, 310323).


Ngeri ya Bestie...

Bulan ramadhan yang seharusnya dijadikan ajang menempa diri dengan kucuran ibadah, justru digunakan untuk menumpuk kekayaan yang pastinya tak berkah. Naudzubillah.


Gurita kasus korupsi yang tak pernah hilang di negeri ini menjadi bukti betapa aturan main yang diberlakukan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Bahkan hanya sekedar memutus rantai koruptor yang makin hari otaknya makin kotor. Berbagai jenis sanksi dan kebijakan yang diberlakukan, tak ada satupun yang dapat menghentikan aksi para perampok berdasi itu mengeruk kekayaan rakyatnya. Semua kebijakan yang diambil hanyalah ilusi yang membungkam mulut rakyat dengan balutan janji. Tak ada kepastian, tak ada harapan.


Inilah salah satu borok sekulerisme yang menggerogoti setiap inci tubuh masyarakat yang hidup didalamnya. Dimana segala aktivitas manusia tidak dilandasi keimanan kepada Allah SWT, melainkan kepuasan duniawi semata. Para perampok berdasi disana tidak pernah sedikitpun memikirkan penderitaan masyarakat bawah, mereka hanya mendambakan kekayaan dan kemewahan yang mereka dapat dengan berbagai cara. Itulah hasil dari paham sekuler yang mereka adopsi, yang nyata melahirkan paham-paham busuk dalam kepala setiap pengembannya. Pun dalam hal persanksian yang tidak jelas dalam sistem saat ini, menjadikan para koruptor bebas ambil peran dalam panggung drama Rampok Sepuasnya. Sanksi yang diberikan bukan hanya ringan tapi juga memungkinkan pelaku korupsi untuk bisa melakukan aksinya kembali dengan bidik sasaran yang lebih besar bin banyak.


Hal ini sangat jauh berbeda dengan bagaimana Islam memandang kasus korupsi. Tindakan korupsi dilihat dari hukum Islam maka bisa digolongkan sebagai bentuk perbuatan khianat. Sebab, pejabat yang korupsi sebelumnya telah diberi amanah dari rakyat untuk menjalankan tugasnya dengan anggaran yang telah ditetapkan. Namun, bukannya menjalankan amanah, pejabat itu malah merugikan rakyat dengan tindakan korupsinya.


Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat. Adalah suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di atas ditimpakan kepada Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia.


Sebagian kalangan menuding bahwa hukum pidana Islam sebagai hukum yang tidak manusiawi, kejam, melanggar hak asasi manusia dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Paradigma masyarakat terkait Hukum pidana Islam yang memberlakukan rajam (melempar orang yang berzina hingga wafat) serta potong tangan bagi pencuri dan koruptor sangat kejam dan melanggar hak azasi manusia (HAM).


KH Anwar Hidayat, hakim pada sebuah Pengadilan Agama di Jakarta, sempat menegaskan, hukum Islam sangat elastis dan tidak kaku. Justru dijatuhkannya sanksi berupa potong tangan bagi yang mencuri, dimaksudkan untuk menimbulkan rasa aman, rasa tenang dan memberi efek pencegahan, sehingga orang akan takut untuk mencuri. Paradigma seperti ini akhirnya membawa ketakutan tersendiri untuk melihat sisi sebenarnya tentang apa yang dibawa oleh agama melalui syariat yang telah diturunkan kepada manusia.


Islam juga dengan segala kesempurnaan ya memastikan bahwa setiap manusia yang berada dalam naungannya penuh dengan cahaya keimanan yang dapat menjadi benteng utama dalam setiap aktivitas masyarakat. Setiap rakyat akan merasa cukup dengan apa yang sudah mereka terima dan bersyukur dengan apa yang telah mereka dapat. Sehingga kasus-kasus korupsi yang bertebaran seperti saat ini sangat tidak mungkin untuk terjadi, karena mereka memahami apa yang mereka lakukan adalah sebuah tindakan yang tidak akan pernah Allah SWT ridai ketika dilakukan. Inilah kesempurnaan Islam dalam mengatur setiap jengkal kehidupan manusia, baik dalam hubungan sosial, muamalah, bahkan sampai sistem persanksian. 


Semoga Islam segera membentangkan sayapnya di negeri ini dan menjadikannya penyejuk dari panasnya kobaran penderitaan yang diderita oleh setiap insan. 

Wallahu alam bisshowaab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم