Oleh : Septa Yunis (Analis Muslimah Voice)
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus. Dari berbagai kasus tersebut, ada 1.396 orang yang dijadikan tersangka korupsi di dalam negeri. Jumlahnya juga naik 19,01% dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 1.173 tersangka. (dataIndonesia.id 21/03/2023)
Melihat kasus korupsi yang semakin masif, dan sangat berdampak negatif bagi semua kalangan, negara harus mengambil tindakan bagaimana agar korupsi tidak membudaya di Indonesia, artinya tidak menjadi sesuatu yang dianggap wajar.
Di tengah gencarnya kasus korupsi, ramai pembahasan RUU perampasan aset tindak pidana. Hal ini adalah salah satu rencana pemerintah untuk menanggulangi kasus korupsi. Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan tentang RUU tersebut.
Dilansir dari Republika.com (1/04/2023), Pakar Hukum Universitas Trisakti, Prof Abdul Fickar Hadjar mengatakan, secara terminologi perampasan aset itu dimaksudkan untuk aset-aset hasil kejahatan. Sebab, ada upaya-upaya paksa yaitu perampasan.
Dengan dirampasnya aset hasil kejahatan, diharapkan para pelaku tidak bisa mengulangi lagi kejahatannya. Sebab, secara teoretis, ketika hasil kejahatannya dirampas dan tidak bisa dinikmati pelaku kejahatan, terlebih kejahatan terorganisasi, maka lama-kelamaan mereka tidak bisa lagi membiayai kejahatannya. Di sisi lain, aset hasil rampasan tersebut dapat digunakan untuk pembangunan.
Namun perlu dicermati lagi, melihat kasus korupsi yang menggurita dan kuatnya demokrasi sekularisme di negeri ini, muncul pertanyaan besar, apakah pengesahan RUU perampasan aset tindak pidana tersebut mampu membendung arus korupsi di negeri ini? Pasalnya, demokrasi yang menjadi kiblat Indonesia. Demokrasi dan korupasi ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Mereka saling menopang satu sama lain. Demokrasi membutuhkan dana yang cukup besar untuk memenangkan suara para kandidat. Tidak bisa dielak, money politik seakan sudah menjadi hal yang lumrah disaat menjelang pemilu.
Darimana mereka mendapatkan kucuran dana tersebut? Sudah bukan rahasia lagi jika mereka mencari sponsor yaitu para cukong yang bersedia membiayai ongkos politik mereka. Sudah barang tentu ada lobi-lobi politik di balik ongkos tersebut, sudah bukan rahasia dalam sistem ini. Hal ini menunjukkan bahwa yang bermasalah adalah sistemnya. Oleh karen itu, upgrade sistem sangat diperlukan untuk negeri ini. Ya, sistem Islam lah yang akan menuntaskan permasalahan pelik ini.
Islam bukan hanya sekedar ritual saja, namun Islam juga sebagai aturan yang mengatur manusia dan kehidupan. Di dalam Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara maupun harta milik umum (masyarakat). Pejabat akan memperoleh gaji (tunjangan). Selain itu, harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya seperti suap dan korupsi, maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118)
Strategi untuk menanggulangi atau memberantas korupsi dalam Islam adalah dengan menerapkan Islam secara menyeluruh dan totalitas. Diantara upaya Islam dalam memberantas korupsi, pertama, memiliki akidah yang kuat. Pondasi terkuat sistem pemerintahan Islam adalah akidah Islam. Kristalisasi akidah Islam adalah kunci suksesnya bangunan peradaban Islam. Dengan akidah yang kuat, seberapapun harta yang bukan hak miliknya, pasti enggan untuk mengambilnya.
Kedua, ada badan pengawas harta kekayaan pejabat. Dalam Islam semua harta kekayaan pejabat dilaporkan, apabila dia memiliki usaha juga melaporkannya. Sehingga, jika terjadi penggendutan dana pada rekening dan dia tidak mampu membuktikan dari mana harta itu didapat, patut diduga harta tersebut diperoleh dari jalan haram. Oleh karena itu, dalam Islam, yang membuktikan, hartanya bebas dari korupsi bukan lembaga tertentu, tetapi dirinya sendiri.
Ketiga, penerapan sanksi dan hukuman yang tegas. Dalam sistem khilafah, hukum Islam ditegakkan seadil-adilnya. Karena dalam Islam hukuman di dunia selain berfungsi sebagai jawabir juga sebagai jawazir. Jawabir sebagai penebus dosa dan jawazir sebagai pencegah terjadinya tindakan dosa tersebut. Sehingga penerapan syariat Islam akan membawa berkah di dunia dan akhirat.
Orang akan berpikir ribuan kali jika ingin melakukan pelanggaran hukum syara'. Mereka juga akan berpikir ribuan kali jika akan mengambil harta yang bukan miliknya. Dengan demikian, bisa dipastikan para pejabat enggan untuk mengambil harta yang bukan menjadi haknya. Negara bebas korupsi, rakyat hidup damai sejahtera.[]