Mengakhiri Teror Geng Motor

 


Oleh: Pipit Agustin


Ibarat baju yang melekat di badan, istilah Geng Motor selalu melekat pada sekumpulan anak muda dengan aksi ugal-ugalan di jalanan, mulai dari balapan liar, mabuk-mabukan, tawuran, hingga pembunuhan. Fakta ini memang tidak dapat dibantah. Sepanjang pemberitaan tentang geng motor, di situ selalu menyertakan kerusakan fasilitas umum, korban luka, bahkan korban jiwa. Hal ini sangatlah meresahkan semua kalangan.


Berdasarkan catatan Lampost.co (16-9-2022), sejak Januari hingga September 2022 di Bandar Lampung telah terjadi aksi tawuran dan geng motor sebanyak 12 kali. Aksi serupa juga terjadi di daerah-daerah lainnya di Indonesia, seperti Bandung, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Bekasi, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Kendari, Makassar, dll. Benar-benar meng-Indonesia. Pada 2014 misalnya, Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane mencatat dari 12 Januari hingga 2 Desember terjadi 38 peristiwa kebrutalan geng motor, yang membuat 52 orang menjadi korban, 28 orang di antaranya tewas dan 24 lainnya luka-luka. (okezone[dot]com, 28-12-2014).


Sulit menampik bahwa aksi gerombolan geng motor tergolong aksi kriminalitas berat. Namun herannya, mengapa aksi ini terus eksis bahkan kian marak? Mereka yang bebal atau aparat kita yang lemah?


Keberadaan geng motor ini memang tidaklah instan. Ia lahir dari rahim sistem hidup sekuler yang diterapkan dalam periode hampir seabad lamanya. Anak-anak geng motor yang lahir di era sekularisme cenderung mengidap mental illness. Mereka terobsesi pada gaya hidup hedonis alias bersenang-senang, kumpul bareng teman, dll. Hari-hari mereka diisi dengan sibuk mencari eksistensi diri dan kelompoknya (gengnya), dan selalu ingin dibilang ‘hebat’ dengan melakukan aksi ugal-ugalan. 


Semua itu mereka lakukan di jalanan dan di komunitas mereka karena mereka tidak menemukan eksistensi diri di dalam rumah, di keluarga, dan di sekolah. Iklim kapitalisme yang hari ini menyelimuti dunia membuat hidup bagaikan rollcoaster. Manusia sibuk dan sulit menapaki step-step kehidupan. Orang tua sibuk mencari nafkah hidup. Lapangan pekerjaan seolah jadi rebutan. Akhirnya, ayah saja seringnya tak cukup untuk menopang sehingga sang ibu pun terpaksa ikut  mencari tambahan. Endingnya, anak-anak mereka minim asuhan dan kasih sayang akibat sering ‘ditinggal’ cari uang. 


Memang tidak semuanya mengalami hal demikian. Namun, kasus ini jumlahnya telah dominan. Ini baru satu alasan: ekonomi untuk memenuhi kebutuhan. Belum lagi masalah literasi berikut visi misi kehidupan berkeluarga yang kebanyakan dibangun oleh keluarga di era sekuler seperti sekarang. Menikah saja kadang karena ‘kecelakaan’. Berikutnya adalah soal pendidikan. Minimnya pemahaman agama diakui menjadi penyebab banyaknya kasus zina dan kenakalan di kalangan remaja. Persoalan masih berlanjut di ranah penegakan hukum berikut sanksinya. Konon, ulah geng motor menebar teror dimulai sejak tahun 80-an. Hingga tiga dekade usia eksistensinya, aparat kepolisian belum sukses menumpasnya. Kurang berat sanksi atau memang hukuman tidak mempan?


Jika menelisik lebih jauh, persoalan ini sangatlah kompleks. Oleh karenanya, dibutuhkan penyelesaian yang holistik dan menyentuh akar persoalan. Andai kita tanyakan, kira-kira apa sebab mendasar persoalan ini? Bisa jadi jawabannya beragam. Namun, bila kita cermati, akar persoalannya terletak pada tata nilai dan sistem kehidupan yang diterapkan, yakni kaptalisme sekuler, bukan semata soal sanksi hukumnya saja. Apalagi soal individunya yang merupakan ‘produk gagal’ dalam keluarga, sekolah atau masyarakat. Karenanya, persoalan ini adalah tanggung jawab negara. 


Negara butuh alternatif paradigma untuk menemukan jalan keluar dari kubangan  krisis moral yang sedang melanda. Paradigma itu ada pada Islam. Islam berbeda diametral dengan sekularisme. Seluruh kehidupan diatur oleh asas akidah dan implementasi syariah secara holistik oleh negara. Pengaturan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik, hukum, dll mengacu pada Al-Qur’an.  


Dalam Islam, negara memiliki andil besar dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi seluruh warga negara terkait aspek kebutuhan primernya, yakni sandang, pangan, dan tempat tinggal. Negara bertanggung jawab memenuhinya dengan kekuatannya sebagai bentuk tanggung jawab kepemimpinan yang rakyat telah berikan. 


Untuk itu, seluruh kebijakan yang lahir harus selaras dengan penjaminan nafkah. Seperti jaminan penyediaan lapangan pekerjaan kepada para laki-laki dewasa yang memiliki tanggungan nafkah.  Dengan jaminan negara tentang nafkah dan pemenuhan kebutuhan primer, para ibu akan fokus pada pendidikan anak-anaknya. Fungsi umm warabbatul bayt akan bekerja optimal. 


Selain iklim ekonomi, negara juga berperan besar menciptakan iklim sosial yang ‘ramah’ anak dan orang tua. Hal ini terkait dengan pengaturan tata pergaulan di masyarakat. Sistem sosial yang kondusif tidak akan menyebabkan munculnya gangguan karena bekerjanya kontrol masyarakat melalui aktivitas amar makruf nahi munkar. Ini menjadi budaya yang lestari dalam masyarakat Islam. 


Dalam urusan pendidikan, negara di era islam menempatkan pendidikan sebagai prioritas di antara prioritas-prioritas kesehatan dan keamanan. Sekolah-sekolah di masa itu bertebaran di mana-mana dan dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja yang membutuhkan tanpa dipungut biaya. Faktor teologis, yakni menuntut ilmu adalah ibadah dan jalan ma’rifat kepada Allah, menjadi paradigma yang umum di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, era Islam atau era kekhalifahan Islam adalah era kemajuan ilmu pengetahuan dan keluhuran moral dan peradaban. 


Oleh karenanya, Islam sangat relevan sebagai sistem kehidupan. Ia telah terbukti mampu mengubah peradaban kufur jahiliyah menjadi peradaban yang luhur dan disegani dunia. Anak-anak muda yang terseret ke dalam pergaulan bebas dan geng-geng yang anarkis hari ini membutuhkan islam sebagai jalan hijrah. Tidak hanya untuk rehabiltasi skala individu, tetapi juga skala negara. Dengan kekuatan iman dan takwa yang menyelimuti negeri, Allah juga telah menjamin diturunkannya keberkahan bagi penduduk suatu negeri. 


Ditambah sanksi Islam yang terbukti bersifat menjerakan, akan mampu mengeliminasi tindak kejahatan. Kalau bicara angka kriminalitas, maka era kapitalisme sekulerlah (di manapun negaranya)   yang selalu memecahkan rekornya, bukan era  kekhalifahan Islam. 


Maha Benar Allah SWT yang telah berfirman dalam Al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 96:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم