Oleh : Rasyidah (Aktivis Muslimah Kalsel)
Mendengar kata “pajak” pasti identik dengan tarikan yang negara bebankan kepada rakyat. Seperti yang telah diberitakan. Pemerintah telah menerbitkan aturan baru mengenai tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Penyesuaian tersebut dalam rangka menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, sehingga pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal. Salah satunya kebijakan yang diambil pemerintah adalah dengan melakukan reformasi di bidang perpajakan. Hal ini telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang telah diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022. Dalam PP tersebut, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berupa penghasilan merupakan objek pajak. Artinya, setiap penghasilan yang diterima karyawan baik dari dalam maupun luar negeri akan dikenai pajak (Kontan.co.id, 01/01/2023)
Sebagaimana diketahui, pajak penghasilan (PPh) di Indonesia sudah mengalami perubahan sejak adanya UU HPP pada 1 Januari 2022. Pemerintah juga memberlakukan tarif PPh karyawan secara progresif. Artinya, makin besar penghasilan wajib pajak, pajak yang dikenakan bakal lebih besar (Investor.id, 28/12/2022).
Berganti tahun, kemalangan rakyat kian bertambah dengan hadirnya sejumlah kebijakan yang makin menzalimi mereka. Di saat ekonomi rakyat belum pulih karena pandemi, hidup rakyat juga sudah berat karena harus menghadapi kenaikan harga barang termasuk kebutuhan pokok. Sudah menjadi ciri khas sistem demokrasi yang menjalankan ekonomi negara dengan ditopang oleh utang dan pajak. Saat negara tidak mampu lagi menambah utang, di saat itu pula mengambil kebijakan menaikkan tarif pajak.
Banyak warga yang merespons dengan mengatakan bahwa selalu saja rakyat susah yang menjadi sasaran, sedangkan pejabat yang kaya malah dibiarkan. Pengusaha kaya beromzet triliunan rupiah juga malah mendapat keringanan pajak. Hal tersebut makin memperlihatkan bahwa pemerintah hari ini kian tidak memihak rakyat kecil. Inilah salah satu konsep ketidakadilan dalam sistem kapitalisme demokrasi, ketimpangan ekonomi akan selalu terjadi. Inilah cacat bawaan sistem kapitalisme yang membuat rakyat hidup sengsara.
Pajak pun digunakan sebagai alat pemerintah untuk “memalak” rakyat. Ini terlihat dari pengaturan pajak yang tajam pada rakyat, tetapi tumpul pada pengusaha. Tidak ada ampun apalagi kompensasi bagi rakyat yang tidak bisa membayar pajak. Inilah tata kelola pajak dalam demokrasi, walaupun rakyatnya sengsara, tetap saja rakyat yang disuruh membayar pajaknya.
Berbeda dengan tata kelola keuangan dalam sistem Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama kas negara (baitulmal). Pajak dalam Islam disebut dharibah, praktiknya sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga, melainkan hanya kaum muslim yang kaya yang dipungut dharibah. Skema ini bersifat temporer, dilakukan jika kas negara kosong dan saat butuh dana yang mendesak saja, serta berakhir setelah keperluan tersebut selesai atau kas negara sudah terisi kembali.
Meski demikian, sangatlah jarang mendapati kondisi baitulmal yang kosong. Ini karena baitulmal memiliki sumber pemasukan melimpah, yaitu dari fai dan kharaj, juga kepemilikan umum dan sedekah. Kepemilikan umum, misalnya, haram untuk dikuasai swasta. Dari sini, pemasukan akan mengalir deras untuk baitulmal.
Negara yang bijak tidak akan memalak rakyat dengan pajak. Bagi rakyat, membayar pajak itu seperti rantai berat yang mengikat kaki dan tangan mereka. Bagi penguasa, menarik dan menerima pajak mungkin semudah mengisi pulsa. Jika pendapatan negara menipis, saldo keuangan negara diisi dengan tarikan pajak dari rakyat.
Di sinilah urgensi kepemimpinan amanah dengan penerapan sistem yang membawa berkah. Penguasa yang mampu mengelola negara tanpa bergantung pada pajak. Hanya dengan penerapan sistem Islam serta kepemimpinan amanah, rakyat tidak akan lagi merasakan kebijakan yang berat sebelah serta beban berat ekonomi. Wallahualam.