Oleh : Arifah Azkia N.H.,S.E
(Pemerhati Generasi)
Media sosial kembali dihebohkan dengan maraknya ratusan siswa yang mengajukan permohonan dispensasi nikah anak di bawah umur atau dispensasi kawin (Diska) sepanjang tahun 2022. Wakil ketua pengadilan agama (PA) Ponorogo Ali Hamdi mengatakan sepanjang tahun 2022 ada sebanyak 191 anak mengajukan dispensasi nikah dan di tahun 2023 ada 7 pemohon dispensasi nikah (Sabtu,14/1/2023).
Adapun faktor yang melatarbelakangi pengajuan dispensasi nikah dini, tak lepas dari banyaknya kasus hamil di luar nikah. Tak sedikit pula siswa yang akhirnya lebih memilih putus sekolah dan menikah dini. Hal ini menjadi polemik bagi pemerintah dengan adanya PUP (pendewasaan usia pernikahan). Merujuk pada kebijakan tersebut, usia ideal bagi laki-laki untuk menikah adalah minimal 25 tahun dan perempuan minimal 20 tahun. Sedangkan rata-rata pelajar yang meminta dispensasi menikah yakni dibawah usia 19 tahun.
Seksualitas dan Rangsangan Dari Luar
Pada sadarnya naluri seksualitas telah ada pada setiap diri manusia _(gharizah baqa')_ akan tetapi naluri baru akan muncul kalau ada rangsangan-rangsangan dari luar. Dorongan seksual muncul misalnya setelah melihat atau membayangkan wanita yang cantik, membaca atau menyaksikan konten yang membangkitkan syahwat.
Demikian juga hasrat untuk melakukan aktivitas seksual akan muncul bila terdapat rangsangan-rangsangan yang mendorong untuk mencoba atau melakukannya. Ada dua rangsangan yang umumnya merangsang manusia, yaitu pikiran dan realitas yang nampak.
Pemikiran liberalisme telah mendorong orang untuk mencoba melakukan pergaulan bebas. Maraknya pacaran, free sex seolah menjadi budaya yang dilindungi. Terlebih di era digital konten pornografi pornoaksi sangat mudah diakses dan juga kerap berseliweran di sosial media. Hal inilah yang menjadi faktor besar rusaknya generasi akibat penerapan budaya yang bebas atas nama HAM.
Tidak Ada Istilah Nikah Dini Dalam Islam
Melihat betapa kegemilangan islam dan generasinya, membuat kita kembali menoleh pada sistem pergaulan dalam penerapan Islam. Sejatinya, Islam tidak pernah mengenal istilah nikah dini. Anak-anak akan dibekali sesuai fitrahnya sebagai laki-laki dan perempuan.
Bagi anak laki-laki dipersiapkan untuk menjadi qowwam, pemimpin untuk ummat dan keluarganya kelak. Ketika sudah baligh, maka anak laki-laki tidak lagi di nafkahi orangtuanya, mereka dibekali ilmu untuk mencari nafkah dan penghidupan untuk dirinya sendiri. Mereka disiapkan dengan fitrahnya untuk memiliki kemampuan dalam hal nafaqoh & ba'ah. Dan tentu tidak lepas dari peran negara yang memfasilitasi lapangan pekerjaan untuk laki-laki sejak usia baligh.
Adapun anak perempuan mereka disiapkan pula dengan fitrahnya sebagai al umm warabatul bait, dan ibu pendidik generasi rabbani.
Perempuan dibekali untuk siap meriayah (melayani,mengurusi) suami dan keluarganya. Mendidik dan mendampingi anak. Diajarkan fiqh-fiqh pernikahan, hak dan kewajibannya dalam pernikahan. Sehingga anak-anak siap dalam berumah tangga. Tidak sepertinya saat ini banyak generasi yang hanya memupuk gelar sarjana, tapi takut menikah bahkan turut menggaungkan program budaya barat, freechild, feminisme, dll.
Sejatinya, islam tidak pernah mengenal istilah nikah dini. Bagi seorang muslim yang sudah baligh, maka dia diperbolehkan untuk menikah selama sudah mampu.
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, sementara siapa saja yang tidak mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR Bukhori dan Muslim)
Wallahu a'lam bissowab.[]