Kejahatan dan Kekerasan oleh Anak, Jangan Biarkan Beranak-pinak



Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.


Kekerasan Terhadap Anak


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyebutkan, jumlah kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yang signifikan pada 2022. Rincian selama 4 tahun belakangan, pada 2019 jumlah kasus kekerasan terhadap anak tercatat 11.057 kasus. Pada 2020 meningkat 221 kasus menjadi 11.278. Lalu, kenaikan signifikan terjadi pada 2021, yakni mencapai 14.517 kasus. Kenaikan signifikan berikutnya terjadi pada 2022 yang mencapai 16.106 kasus. Dari belasan ribu kasus tersebut, jenis kekerasan yang diterima oleh anak-anak didominasi oleh kekerasan seksual yang jumlahnya mencapai 9.588 kasus. (Republika, 27/01/2023).


Terkhusus selama 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, terdapat 2.982 kasus terkait pelanggaran perlindungan khusus anak sepanjang 2021. Dari jumlah itu, pengaduan paling banyak terkait korban kekerasan fisik/psikis sebesar 1.138 kasus.


Secara rinci, terdapat 574 kasus karena anak menjadi korban penganiayaan. Sebanyak 515 kasus anak menjadi korban kekerasan psikis. Anak yang menjadi korban pembunuhan dan tawuran masing-masing sebanyak 35 kasus dan 14 kasus.


Sebanyak 859 kasus terkait anak menjadi korban kejahatan seksual. Ini terdiri dari 536 kasus pencabulan, 285 kasus pemerkosaan, 29 kasus pencabulan, dan 9 kasus pemerkosaan sesama jenis.


Anak yang menjadi korban pornografi dan cyber crime mencapai 345 kasus. Kemudian, ada 175 kasus anak menjadi korban perlakuan salah dan penelantaran. Anak yang menjadi korban eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual berjumlah 147 kasus. Lalu, masalah anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku sebanyak 126 kasus.


Selain itu, KPAI juga mencatat ada 2.971 kasus pelanggaran pemenuhan hak anak. Pelanggaran paling banyak berasal dari lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, yakni 2.281 kasus. Pelanggaran dari klaster pendidikan, pemanfaatan waktu luang, kegiatan budaya, dan agama sebanyak 142 kasus. Kemudian, pelanggaran pemenuhan hak anak atas kesehatan dasar dan kesejahteraan sebanyak 197 kasus. Ada pula pelanggaran pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak. Jumlahnya yang diadukan ke komisi ini tercatat mencapai 81 kasus.


Tindak Pidana oleh Anak 


Lebih parahnya lagi, pelaku tindak kejahatan juga mulai beregenerasi ke usia yang lebih muda, yaitu remaja bahkan tidak sedikit yang statusnya masih pelajar. Tercatat, setidaknya terdapat 12 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) selama bulan Oktober–November 2022. Sebanyak 12 anak tersebut semuanya menjadi pelaku, mayoritas ke sesama anak. Kasus-kasus tersebut dilaporkan ke polisi karena dampaknya berat.


Soal pidana yang dilakukan oleh anak, KPAI mencatat masih didominasi oleh pengeroyokan dan tawuran. Dua tindak pidana tersebut kian marak setelah pelajar melakukan pembelajaran tatap muka setelah sekian lama belajar secara daring.


Beberapa contoh tindak pidana kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh anak yang belum lama ini terungkap:

1) penangkapan 74 tersangka curanmor oleh Polrestabes Surabaya yang mayoritas anak-anak dan residivis (September-Oktober 2022)

2) pelaku pencurian dengan jambret yang masih di bawah umur (September-Oktober 2022)

3) kasus rudapaksa anak perempuan berusia 13 tahun oleh 4 teman laki-laki di Hutan Kota Sunter, Jakarta Utara (01/09/2022)

4) kasus sekelompok pelajar menendang nenek di Tapanuli Selatan (19/11/2022)

5) kasus pelajar SMP mengamuk dan memaki aparat di Sidoarjo (21/11/2022)

6) kasus dua remaja yang menculik dan membunuh anak di Makassar, Sulawesi Selatan, untuk dijual organ tubuhnya (08/01/2023)

7) kasus pemerkosaan siswi TK oleh tiga anak berusia 8 tahun di Mojokerto (19/01/2023). 


Faktor Penyebab


Jelas, faktor penyebab terjadinya berbagai kasus kejahatan dan kekerasan oleh anak semata-mata adalah penerapan sistem kehidupan yang sekuler. Sistem itu merasuk hingga berwujud gaya hidup serba bebas (liberal). Di sini tentu ada baiknya kita bandingkan, bahwa sistem Islam yang memerintahkan ketaatan kepada Allah Taala tidak mungkin menghasilkan generasi yang jahat.


Akan tetapi, yang selama ini selalu memperoleh stigma justru sistem Islam. Forum-forum kajian Islam kafah beserta narasi hijrah seringkali dipersekusi. Alasannya, katanya menerbitkan benih generasi radikal. Padahal, sejatinya kita sudah tidak pantas lagi menoleransi sistem sekuler ini. Sistem ini telah menginkubasi anak-anak untuk memisahkan agama dari kehidupan, akibatnya karakter mereka sangat jauh dari ciri orang-orang yang beriman (mukmin), alih-alih sosok umat terbaik (khoiru ummah).


Berbagai persekusi tadi semata adalah wujud Islamofobia. Para persekutor itu memang membenci Islam, kendati mereka sendiri juga kaum muslim. Namun keengganan mengambil Islam sebagai aturan kafah bagi kehidupan bahkan sebagai jalan hidup, itulah noktah hitam yang menutup mata hatinya terhadap kebenaran. 


Solusi Parsial


Sejauh ini, kasus tindak pidana anak diatasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). UU ini diposisikan sebagai pedoman bagi keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.


Anak-anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan juga harus dilindungi sesuai dengan UU SPPA tersebut. Sebagai contoh, anak yang menjadi pelaku pembunuhan berencana, maka hukumannya setengah dari orang dewasa. Mereka tidak boleh dituntut lebih dari 10 tahun, tidak boleh dihukum mati dan tidak boleh dihukum seumur hidup sesuai aturan undang-undang. 


Selanjutnya, terdapat Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) sebagai tempat anak menjalani masa pidananya. LPKA adalah Unit Pelaksana Teknis yang kedudukannya berada di bawah dan sekaligus bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Di LPKA, narapidana anak akan didampingi oleh seorang Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang bertugas melakukan pendampingan, pembimbingan serta pengawasan termasuk menentukan program pembinaan yang sesuai bagi anak berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas). Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. 


Kendati demikian, seberapa efektif UU SPPA beserta pembinaan di LPKA jika kehidupan di luar sana masih bagai sistem rimba? 


Islam Solusi Sempurna


Islam sebagai aturan yang sempurna, juga memiliki aturan yang tegas perihal tindak pidana anak sehingga hal tersebut tidak akan beranak-pinak. Setidaknya terdapat dua upaya yang bisa dilakukan. Pertama, upaya preventif (pencegahan); kedua, upaya kuratif (penanggulangan). 


Upaya preventif bagi kejahatan anak hanya akan terwujud dengan tiga pilar, yaitu:


Ketakwaan individu dan keluarga, yang akan mendorong anak senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan, dalam rangka membentengi individu umat dari melakukan kemaksiatan dengan bekal ketakwaan yang dimiliki.


Kontrol masyarakat, yang berperan menguatkan hal-hal yang telah dilakukan oleh individu dan keluarga dalam wujud amar makruf nahi mungkar sehingga menjauhkan benih-benih kebiasaan permisif dan meminimalkan tindak kriminalitas anak. 


Negara yang menerapkan aturan Islam. Negara Islam wajib menjamin kehidupan yang bersih rakyatnya dari berbagai kemungkinan berbuat dosa, yaitu dengan menegakkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup rakyatnya sehingga terhindar dari berbagai tindak kejahatan. Negara juga wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam yang berkualitas dan gratis, serta dengan kurikulum yang mampu menghasilkan anak didik berkepribadian Islam sehingga terhindar dari berbagai perilaku maksiat.


Untuk upaya kuratif, perlu kita ketahui bahwa anak di bawah umur yang melakukan perbuatan kriminal, tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam. Ini karena anak di bawah umur belum tergolong mukalaf yang harus memenuhi tiga syarat mukalaf; yaitu akil (berakal), balig (dewasa), dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya). Rasulullah saw. Bersabda, “Telah diangkat pena bagi tiga golongan, yaitu dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia balig, dan dari orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR Abu Dawud)


Yang disebut anak di bawah umur dalam pandangan syariat Islam adalah anak yang belum balig (dewasa). Namun jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda balig sebagaimana ketetapan Islam, berarti ia sudah dianggap mukalaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal.


Oleh karena itu, jika pelaku kriminal adalah orang gila, atau anak di bawah umur (belum balig), ia tidak dapat dihukum. Namun, jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, maka wali itu yang dijatuhi sanksi. Jika bukan karena kelalaian wali, wali tidak dapat dihukum.


Khatimah


Jelas, penanggulangan kejahatan dan kekerasan oleh anak tidak cukup hanya dengan sebuah UU ataupun lapas anak. Ada faktor lain yang juga harus diperbaiki bahkan diganti sehingga derasnya kran kriminalitas anak benar-benar bisa dihentikan, yakni sistem kehidupan tempat anak-anak tersebut lahir, dididik, dan dibesarkan. Sudah jelas, tidak ada aturan yang mampu memberikan solusi bagi permasalahan ini, selain aturan Islam. 

Wallahualam bissawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم