Gempuran Ide Kesetaraan Gender Membidik Generasi Muda

 



Oleh: Naning Prasdawati, S. Kep., Ns (Komunitas Menulis Setajam Pena) 


Pada tanggal 2 hingga 4 Desember 2022 l lalu organisasi perempuan muda Muhammadiyah atau Nasyiatul Aisyiyah menggelar Muktamar ke XIV di Bandung yang di ikuti lebih dari 700 kader untuk memilih formasi kepemimpinan baru periode 2022-2026. Dalam penutupannya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy mengatakan bahwa perempuan muda harus diberdayakan untuk mencapai Indonesia Maju. Pemberdayaan perempuan muda ini bisa dimulai dari lingkungan organisasi, yaitu dengan memberikan berbagai program pemberdayaan perempuan (kemenkopmk.go.id, 05/12/22).


Menurutnya, Nasyiatul Aisyiyah merupakan organisasi yang strategis karena terdiri dari perempuan muda yang produktif. Perekrutan kader baru dan para simpatisan penting untuk dilakukan. Hal ini untuk memperluas radius jangkauan terhadap perempuan muda millenial agar diberdayakan dan melek digital. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s) poin kelima yaitu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.


Disamping itu, hasil dari presidensi G20 sepanjang tahun 2022  juga menekankan dimensi kesetaraan gender sebagai salah satu topik bahasannya. Senada dengan hal ini, Youth 20 (Y20) yang merupakan forum konsultasi resmi bagi para pemuda dari seluruh negara anggota G20 untuk dapat saling berdialog mengenai berbagai isu global,  bersama dengan Girls Up UNS mengadakan acara talkshow di FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) 26 Oktober 2022 lalu. Talkshow ini mengambil tajuk pembahasan “Kesetaraan Gender : Memanfaatkan peran pemuda dalam menciptakan lingkungan yang inklusif melalui pendidikan berbasis interseksional” (uns.ac.id, 31/10/22). Melalui acara ini, para pemuda diharapkan memiliki kesadaran tentang isu-isu kesetaraan gender dan inklusivitas khususnya di lingkungan pendidikan Indonesia.


Menurut mereka, diskriminasi dan kekerasan (baik verbal maupun fisik) terjadi karena identitas yang melekat pada diri seseorang, tidak sebatas hanya tentang minoritas atau mayoritas. Identitas ini dapat berupa gender, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, agama, ras, warna kulit,  dll. Kelompok-kelompok minoritas ataupun yang termarginalkan karena identitas ini harus diperjuangkan agar setara dengan kelompok masyarakat lainnya, dari sisi penyampaikan aspirasi publik, akses ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll. 


Kesetaraan Gender: Bualan Manis Kapitalisme


Ide kesetaraan gender yang di usung oleh kaum feminis, sejatinya merupakan respon dari bobroknya tatanan kehidupan masyarakat Eropa saat itu yang mana perempuan dianggap sebagai kaum subordinat dan termarginalkan. Gerakan feminisme  diharapkan mampu mengakhiri penindasan atau marginalisasi terhadap perempuan. Pada faktanya, perjuangan kaum feminis, sekalipun hari ini didukung oleh para pemangku kekuasaan bahkan diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan yang spesifik, namun hingga detik ini belum menemui titik terang keberhasilannya. 


Hal ini diakibatkan oleh kesalahan diagnosis kaum feminis dalam menentukan akar persoalan yang membelit kaum perempuan. Mereka berdalih marginalisasi terhadap kaum perempuan diakibatkan oleh status gendernya. Bahkan secara reaksioner mereka menuduh syariat islam sebagai biang terciptanya budaya patriarki yang mensubordinatkan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Begitupun argumen mereka yang menyatakan bahwa perempuan rentan terhadap kekerasan akibat status sosialnya, tingkat pendidikan dll, tanpa kemudian melihat lebih jauh, penyebab mendasar yang mengakibatkan kemiskinan sistemik, sulitnya akses terhadap pendidikan berkualitas, akses terhadap layanan kesehatan yang paripurna dan lain sebagainya.


Perjuangan kaum feminis sejatinya hanya dijadikan alat oleh sistem kapitalisme untuk menjaga eksistensi ideologi dan posisinya sebagai penjajah dunia. Janji manis kapitalisme melalui perjuangan feminisme untuk mengangkat derajat dan kemuliaan kaum perempuan hanyalah lips service belaka. Karena realitanya, program-program yang diluncurkan oleh para pemangku kebijakan tidak pernah lepas dari kapitalisasi potensi perempuan dan pemuda. Dengan dalih pemberdayaan perempuan, ekonomi digital dll, mereka secara tidak langsung telah menjadikan para pemuda dan perempuan sebagai tulang punggung penyangga perekonomian kapitalisme.


Kesejahteraan dan kemuliaan kaum perempuan sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme. Karena asas dasar tegaknya kapitalisme yakni sekulerisme, telah menjadikan manusia sebagai penentu standart baik buruk, manfaat dan rugi. Dalam sistem ini, seseorang dianggap mulia apabila mampu menghasilkan materi berlimpah. Perempuan akan dihargai dan tidak lagi menjadi kelompok yang rentan terhadap kekerasan dan marginalisasi, apabila memiliki kesetaraan ekonomi, tidak hanya bergantung kepada kaum laki-laki karena itu akan menciptakan budaya patriarki yang menindas kaum perempuan.


Padahal, kapitalislah yang menciptakan kemiskinan sistemik akibat keserakahannya dalam mengelola dan mendistribusikan kekayaan ke tengah-tengah masyarakat. Sehingga terciptanya kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin merupakan hal yang sangat lumrah terjadi. Sulitnya akses pendidikan dan kesehatan, hal ini juga merupakan dampak pasti dari kapitalisasi terhadap kedua sektor ini. Maka kesetaraan gender dengan pemberdayaan potensi perempuan dan pemuda, program-program melek digital bagi kaum millenial, sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.


Islam: Mencetak Generasi Emas dan Memuliakan Perempuan


Pemuda hanya akan menjadi generasi emas, perempuan hanya akan mulia, ketika mereka hidup dalam naungan sistem islam. Islam tidak memandang potensi pemuda sebatas mesin ekonomi. Tapi pemuda dalam islam merupakan tulang punggung lahirnya peradaban yang kokoh dan mulia. Begitupun perempuan dalam islam merupakan kemuliaan yang harus dijaga. Karena dari rahim dan pengasuhanmya lah lahir generasi-generasi emas yang akan menjadi penerus peradaban. Hal ini sangat mungkin terjadi karena sistem islam memiliki regulasi yang paripurna di segala bidang kehidupan.


Pertama, regulasi bidang ekonomi. Islam melalui sistem baitul mal akan mengatur pos pemasukan dan pos pengeluaran dalam menyusun APBN negara hanya berlandaskan syariat islam. Pengelolaan harta kepemilikan individu seperti zakat, hibah, sedekah, dapat dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan ditengah-tengah masyarakat melalui mekanisme-mekanisme teknis yang sesuai kebutuhan saat itu. Begitupun pengelolaan terhadap harta kepemilikan umum, seperti hutan, laut, potensi-potensi tambang minyak, gas, batu bara, akan dikelola secara mandiri oleh negara untuk dikembalikan kepada rakyat. Baik dalam bentuk pelayanan seperti penyediaan pendidikan dan layanan kesehatan yang murah bahkan gratis namun berkualitas, pembangunan sarana prasarana publik yang memudahkan masyarakat dll.


Kedua, regulasi bidang pendidikan. Pendidikan dalam sistem islam tidak akan berorientasi pada tercapainya kesejahteraan materiil semata. Lebih dari itu, output dalam sistem pendidikan islam akan mencetak individu-individu di dalamnya menjadi insan kamil yang bertaqwa. Ketika dia seorang laki-laki, dia akan memahami kewajiban yang Allah bebankan seperti misalnya kewajiban nafkah. Ketika dia seorang perempuan, maka dia akan memahami kewajibannya sebagai ummu warobatul bait dan madrasatul ula. Pembagian peran ini tidak kemudian menciptakan budaya patriarki sebagaimana dituduhkan oleh kaum feminis. Karena islam mengajarkan kemuliaan seseorang bukan dari seberapa banyak materi yang dia hasilkan, tapi kemuliaan seseorang dinilai dari seberapa bertaqwa dan optimal dia dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan. Islam juga memerintahkan seorang suami untuk memuliakan istrinya, sebagaimana sabda Rasulullah, 


“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku” [HR. At Tirmidzi no: 3895 dan Ibnu Majah no: 1977]


Maka tidak ada pilihan lain ketika kita menghendaki kemuliaan bagi generasi dan umat ini, selain kembali kepada syariat Allah secara kaffah. Langkah-langkah strategis, progresif dan masif wajib dilakukan untuk memenangkan hati dan pikiran umat ditengah gempuran ide-ide yang dilontarkan oleh para penggiat feminis. Dakwah pemikiran melalui forum-forum diskusi, opini-opini masif ke jagad dunia maya dan sosial media, merangkul para influencer muda, tokoh masyarakat harus dilakukan. Sebagaimana gerakan kutlah Rasulullah dahulu. Karena hanya dengan meneladani Rasulullah selaku uswah khasanah kita, kemenangan itu akan menjadi niscaya.


“Mereka ditimpa kemiskinan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat”. (QS. Al-Baqarah : 214). Wallahu ‘alam bishsawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم