Bukan Baligh Karbitan

 


 

Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice) 


Perjalanan dakwah antar wilayah dalam satu kabupaten pekan ini membawa banyak hal yang perlu disikapi dalam tulisan. Karena jika langsung disampaikan dengan lisan, bisa jadi penulis pulang tinggal kenangan. Meskipun dalam kabupaten yang sama PP bisa menempuh jarak hingga 50 Km.


Beberapa waktu lalu Kediri Selatan sedikit heboh dengan permusuhan antara dua perguruan pencak silat. Imbasnya jika mereka konvoi, kondisi di masyarakat terasa mencekam. Apalagi himbauan dari pihak berwajib agar masyarakat tidak keluar di hari dan jam-jam tertentu. 


Penulis pernah sekali terjebak dalam barisan konvoi cukup lama, meskipun sedikit ketar-ketir jika terjadi sesuatu, alhamdulilah bisa melipir minggir. Kemudian mencari jalur alternatif meskipun lebih jauh karena harus putar arah. 


Lain hari, ketika berusaha cari alternatif jalan tercepat menuju rumah, karena mengejar waktu, ba'da magrib ada agenda berikutnya. Motor penulis dihentikan oleh segerombolan remaja tanggung. Manut dong. Apa yang terjadi, mereka sedang uji coba motor untuk balapan "liar". Astaghfirullah, maunya cepat jadi semakin lambat. 


Khalayak bilang, para remaja tanggung itu sedang mencari jati diri. Menemukan jalan terbaik untuk mereka lalui di masa depan. Usia-usia ini, adalah usia labil, dsb.


Apa iya? 


Sebagai seorang muslim mengapa kita tidak menjadikan Islam sebagai paradigma berpikir. Di dalam Islam untuk membedakan apakah anak itu sudah terkena taklif (beban) hukum adalah ketika sudah "baligh". 


Setelah seorang anak sudah baligh, maka sikap kita pada mereka sebagaimana sikap kita kepada seorang dewasa. Baligh diambil dari bahasa Arab yang berarti sampai, yaitu sampai dalam memasuki usia dewasa. Baligh dalam fiqh Islam  adalah batasan seseorang mulai  dibebani kewajiban-kewajiban hukum syar’i (taklif) atau mukallifan syar’an.


Secara umum baligh dapat ditandai  ketika seseorang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang salah, karenanya kata baligh selalu disandingkan dengan kata ‘aqil  atau  ‘aqil baligh. ‘Aqil Baligh menjadi kunci sah perjalanan manusia dalam menjalankan ibadah muamalah di hadapan Allah, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah seperti kewajiban shalat atau tranksaksi antar manusia.  


Perkataan Ibnu Hajar:

وقد اجمع العلما ءعلي ان الاحتلام في الرجال والنسا ء يلزم به العبادات والحدود وسا ئرالاْ حكام 

Artinya;

Para ulama sepakat bahwa ihtilam pada laki-laki dan perempuan mewajibkan diberlakukannya ibadah, huduud, dan seluruh perkara-perkara yang terkait dengan hukum (Fathul Baary, 5/ 277)


Sehingga ketika seorang anak sudah baligh, maka harusnya mereka sudah paham apa yang harus mereka lakukan. Tanggung jawab apa yang harus mereka ambil. Sebagai seorang muslim otomatis mereka akan menyandarkan setiap aktivitas itu dengan hukum syara'. Halal dan haram sebagai ukurannya.


Jadi, tidak ada istilah mencari jati diri "lagi". Karena sudah jelas, bahwa jati diri kita adalah seorang muslim. Yang menjadikan Al-Qur'an dan As-sunah sebagai rujukan. Rasulullah Muhammad Saw sebagai teladannya. 


Para anak-anak yang jelang baligh harusnya sudah sangat memahami, bahwa apa yang mereka cari untuk mengantarkan pada kesuksesan dunia akhirat hanyalah Islam. Sehingga balighnya bukan karbitan, tapi baligh yang bisa dipertanggung jawabkan.


Tugas para Manda dan Panda, serta para orang-orang yang peduli generasi muda saat ini memang cukup berat. Karena yang dibutuhkan saat ini untuk mengajak para generasi ini berubah bukan sekedar baligh saja, tapi "Aqil". Aqil ini yang perlu dibentuk dan diasah agar mereka tidak menjadi generasi yang krisis jati diri.[]



*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم