Oleh: Hestiya Latifah
(Mahasiswi, Aktivis Dakwah)
"Utang yang diterima negeri Muslim tidak menghasilkan apa-apa kecuali bertambahnya kemiskinan pada negara yang berutang. William Douglas, Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat menyampaikan pidatonya pada pertemuan freemansory di Seattle 1962."
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Oktober 2022 kembali menurun. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Oktober 2022 tercatat sebesar USD 390,2 miliar, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada September 2022 sebesar USD 395,2 miliar.
ULN Pemerintah pada Oktober 2022 masih melanjutkan tren penurunan. Sejak bulan Maret 2022, posisi dan pertumbuhan ULN Pemerintah konsisten mengalami penurunan. Pemerintah tetap berkomitmen menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel. (Liputan6.com, 15/12/22)
Utang pemerintah dianggap sebagai satu hal yang wajar dalam sistem kapitalisme. Di mana dari sisi hubungan luar negeri, utang dapat menjadi alat pengendali negara pemberi utang. Dan dari sisi dalam negeri, menunjukkan adanya pengelolaan sumber daya alam yang sangat melimpah yang dijadikan sebagai sumber dana dan ini merupakan paradigma yang salah. Namun sistem ekonomi kapitalis justru telah menjebak negara terutama dalam ranah pembangunan, pengembangan, serta sumber daya alam yang tak terhingga yang menjadi titik pusat pengeksploitasian sehingga negara tak berdaya.
Negara Terjerat, Beban Rakyat Berlipat
Sebagaimana diketahui dalam undang-undang no. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, rasio utang dibatasi sebesar 60%. Posisi utang luar negeri, bukan sekadar pinjam meminjam biasa antar negara. Abdurrahman al-Maliki menyebut utang luar negeri adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi negara. Di mana utang dalam jangka waktu pendek akan dapat memukul mata uang domestik negara pengutang, sehingga memicu kekacauan ekonomi dan kemunduran, serta kerusuhan sosial dalam negeri. Mengapa?
Sebab, bila utang jatuh tempo pembayaran tak lagi menggunakan mata uang domestik melainkan harus dengan dolar Amerika Serikat. Padahal mata uang dolar termasuk mata uang hard currency, yang mana jika dipaksakan untuk dibeli akan sangat mahal. Sehingga tidak sesuai dengan utang atau tata cara pelunasan utang jangka pendek yang ada pada saat jatuh tempo. Dari sinilah kemerosotan nilai mata uang lokal terjadi.
Adapun utang jangka panjang, ini pun sangat berbahaya karena semakin lama jumlahnya akan semakin tinggi. Akhirnya melemahkan anggaran belanja negara pengutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya.
Pada saat inilah, negara pemberi utang akan menyeret aset-aset strategis negara pengutang sebagai alat pelunasan hingga mengintervensi kebijakan publik negara pengutang.
Akibat sistem kapitalis, negara tak mengatur kepemilikan dengan benar. Potensi-potensi alam yang sejatinya milik umum/rakyat justru dimiliki individu/korporasi, membiarkan masyarakat ikut menderita dalam tumpukan ULN.
Selain itu, utang berbasis riba senantiasa berujung pada utang baru, ditambah banyaknya proyek yang ingin direalisasikan membutuhkan finansial yang tidak sedikit. Misalnya proyek Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), Ibu Kota Negara (IKN), dan proyek lainnya diprediksi akan menghabiskan dana fantastis.
Sistem Islam Menjamin Kedaulatan dan Kemandirian
Berbeda dengan sistem Islam dalam Khilafah. Sistem politik ekonomi Islam menjadikan negara Islam kuat, berdaulat, mandiri dan tidak tunduk pada asing karena sistem keuangan negara yang tidak bertumpu pada utang dan pajak.
Dalam Islam, disebut baitul mal. Terdapat 3 pos penerimaan besar dalam baitul mal. Masing-masing memiliki rincian pos yang beragam pula. Yakni pos penerimaan dari zakat mal, aset kepemilikan umum dan negara, serta fa'i, kharaj, jizyah, khumus. Pemasukan baitul mal mengalir dari berbagai sumber, dan dengan sistem anti ribawi negara tidak akan terjerat beban utang bunga.
Negara akan mandiri, dan sangat berdaulat karena terjaga oleh sistem Islam yang diterapkan. Potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari. Khilafah menyelesaikan berbagai problem ekonomi yang memicu kenaikan atau defisit anggaran. Yaitu di antaranya, Khilafah akan menekan segala bentuk kebocoran dalam anggaran seperti korupsi, dan yang dapat menguntungkan individu pejabat. Khilafah mencegah segala bentuk pemborosan dana, proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dan dalam jangka waktu panjang, dan yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat tidak akan dijalankan.
Dengan adanya Khilafah, segala bentuk pembangunan, pengembangan, ketahanan pangan, bahkan sumber daya alam akan terjaga, dan terhindar dari segala bentuk utang. Dengan mekanisme pemasukan dan pembelanjaan negara yang sesuai dengan tuntunan syariat memungkinkan bagi Khilafah untuk mewujudkan negara yang sejahtera tanpa utang dan tanpa ada campur tangan asing dan aseng.
Mari merujuk dan kembali kepada aturan Allah Swt., yakni syariat Islam dalam bingkai Khilafah. Dengan perhitungan baitul mal berbasis syariah, surplus di beberapa pendapatan dapat digunakan untuk melunasi seluruh utang Indonesia secepatnya, untuk kemudian Indonesia melesat menuju kesejahteraan. Wallahualam bishawab. []