Semua Rambu Ditabrak, HIV/AIDS Merbak



Oleh: Aisya Setiawan (Mahasiswi Surabaya)


Tiada hentinya diri ini mengelus dada setiap mendengar berita tentang HIV/AIDS. Betapa tidak, kian hari data pengidap HIV/AIDS kian bertambah. Seperti yang kita tahu, Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh, yang apabila ia tak segera ditangani akan bertambah parah menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Di stadium akhir ini, tubuh telah kehilangan kemampuan untuk melawan infeksi. Siapapun yang mengidap HIV/AIDS sangat rentan terkena berbagai macam penyakit. Pada 2019 lalu terdapat sekitar 50.000 kasus HIV. Ini merupakan kasus tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Apabila ditotal, secara kumulatif pengidap HIV mencapai 427.201 orang pada Maret 2021(theconversation.com, 9/10/2022). Data tersebut dirilis oleh Kementerian Kesehatan. Bahkan di sumber lain menyatakan sebanyak 543.100 hidup dengan HIV pada 2021 (sindonews.com, 28/11/2022). Sementara itu, dilansir dari laman alodokter.com, 25/10/2022, penderita AIDS mencapai lebih dari 7.000 orang dengan angka kematian mencapai 600 orang. Data ini pun cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Parahnya, penyakit HIV/AIDS yang semakin marak ini bukan hanya diidap oleh orang dewasa saja, namun telah merambah ke anak-anak dan remaja. Sebanyak 40% kasus infeksi baru didominasi oleh perempuan, 51% oleh kelompok remaja (15-24 tahun), serta 12% infeksi baru pada anak (sindonews.com, 28/11/2022). Sudah cukup sudah. Tak tahan lagi melihat data-data ini. Data ini bukan sekedar angka, tapi mereka adalah manusia. Mengapa bisa penyakit mengerikan ini tersebar luas ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia? Mengapa solusi yang selama ini diberikan oleh pemerintah bahkan lembaga internasional seperti PBB tak mampu menghentikan kasus HIV/AIDS ini? Apa sebenarnya yang salah?


Seks Bebas? Narkotik Injeksi? Mana Yang Mendominasi?


Dalam berbagai sosialisasi HIV/AIDS, kita sering mendengar bagaimana HIV menular dan siapa saja yang rentan tertular. Pertukaran cairan tubuh, seperti sperma, cairan vagina, darah, dan air susu, orang yang terinfeksi menjadi pintu utama penularan HIV. Adapun kelompok beresiko tinggi yang dapat terinfeksi HIV ialah pekerja seks, lelaki seks lelaki (LSL), pengguna narkotik suntik, dan pasangan yang salah satunya terinfeksi HIV (theconversation.com). Apabila kita melihat data Kementerian Kesehatan pada tahun 2019, faktor penularan akibat LSL bahkan lebih tinggi melampaui perempuan pekerja seks. LSL hampir menyentuh angka 10.000 kasus, sedangkan PSK kurang dari 5.000 kasus. Bagaimana dengan pengguna narkotik injeksi? Hanya sekian ratus kasus di tahun yang sama. Data Kemenkes tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa penyumbang utama semakin tersebar luasnya HIV di dalam negeri ialah seks bebas dan seks sesama jenis. Tak bisa dinafikan memang, kedua hal itu seolah menjadi budaya di kehidupan masyarakat kita.


Seks bebas. Semakin tak tabu lagi membicarakannya, apalagi di kota besar. Ia menjadi sebuah trend yang muncul di kehidupan pemuda-pemudi Indonesia. Katakanlah Friend with Benefits (FWB). Fenomena ini ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu. Para perempuan yang mengunggah video percakapan tentang FWB itu tak nampak raut malu sedikitpun di wajah mereka ketika menceritakan pengalamannya. Mereka bahkan berbagi tips melakukan FWB. Inikah potret calon ibu generasi? Tak berhenti sampai di situ. Ratusan mahasiswa Bandung positif HIV. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, dari total 5.943 warga, sebanyak 44,84% yang mengidap HIV ialah usia 20-29 tahun. Menurut laporan pun, 664 Ibu Rumah Tangga (IRT) positif HIV karena tertular suami mereka yang bergonta-ganti pasangan (bandung.suara.com, 27/8/2022). Astaghfirullah. Pacaran, seks bebas, bisnis prostitusi, menumbuh suburkan HIV.


Tak hanya lawan jenis, seks bebas kini semakin didominasi oleh sesama jenis. Bagi kita yang aktif di dunia Twitter, tak asing lagi melihat fenomena seks sesama jenis. Semua pasangan sesama jenis di platform itu telah terang-terangan menampakkan aktivitas mereka. Bahkan pesta gay semakin merebak. Salah satunya yang sempat ramai ialah ketika pandemi dua tahun lalu. Polisi menggerebek pesta gay di The Kuningan Suites, Jakarta Selatan (cnnindonesia.com). Ini merupakan fenomena gunung es. Kasus yang belum diketahui jauh lebih banyak sebab memang orang yang berhubungan seks bebas, termasuk sesama jenis, melakukannya di tempat privat. Kendati demikian, promosi mereka telah nampak di permukaan, namun mengapa pihak berwenang tak segera menindaknya? Ini patut dipertanyakan. Apa harus menunggu kasusnya membeludak dan pelaku mengidap HIV/AIDS baru ditangani? Seperti yang terjadi di Aceh. Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe menyatakan terdapat 80 warga positif HIV/AIDS pada 2021 dan bertambah menjadi 88 orang pada 2022. Beliau pun menuturkan tak hanya seks bebas yang menjadi faktor, namun juga seks sesama jenis (republika.co.id, 2/12/2022). Selain Aceh, di Batam pun kasus HIV/AIDS didominasi oleh pelaku homo seks (liputan6.com, 2/12/2022). Demikianlah budaya seks bebas dan homo seks menempati peringkat pertama penyebab HIV/AIDS.


Solusi Harus Menyentuh Akar Masalah


Dilansir dari laman nasional.tempo.co, 4/12/2022, UNAIDS Indonesia, Jaringan Indonesia Positif, Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Lentera Anak Pelangi, dan Yayasan Pelita Ilmu membentuk Aliansi Nasional untuk mengakhiri AIDS pada anak. Aliansi ini dibentuk karena di Indonesia hanya 25% anak yang positif HIV menjalani pengobatan Antiretroviral (ARV). Pihak PBB menyatakan bahwa ketidaksetaraan merupakan penghalang berakhirnya HIV/AIDS, maka dirilislah laporan Dangerous Inequalities, yang didalamnya termuat bahwa ketidaksetaraan gender ialah salah satu penghambat berakhirnya penyebarluasan penyakit ini. Mereka pun menyerukan kesetaraan, baik kesetaraan antara anak-anak dan dewasa maupun kesetaraan gender, yang mana tak boleh ada stigma negatif dan penanganan diskriminatif bagi penyandang HIV/AIDS dari kalangan anak-anak dan perempuan. Serta menghimbau pemerintah untuk prioritaskan pembiayaan program HIV/AIDS. Inilah yang menjadi fokus gerakan aliansi ini.


Sejatinya, tak perlu panjang lebar menampakkan bahwa solusi yang digagas oleh UNAIDS dan aliansi ini ialah solusi parsial. Bahkan dapat dikatakan ini bukanlah solusi. Apa yang hendak mereka selesaikan? HIV, meski dapat diobati, namun pengidapnya takkan pernah sembuh. Virus itu akan tetap ada di dalam tubuhnya. Pengobatan ARV hanya meminimalisir hingga titik terkecil populasi virus, tidak membasminya. Tidak ada yang benar-benar sembuh dari HIV. Angka kematiannya dari tahun ke tahun terus melambung tinggi. Maka apakah cukup solusinya hanya tindakan kuratif saja? Bertindak setelah seseorang terdeteksi HIV? Tidak. Wallahi tidak. Apalagi yang diserukan ialah kesetaraan gender yang sangat tak masuk akal apabila ia dikatakan dapat mengakhiri merebaknya HIV/AIDS. Mengapa mereka tidak menyuarakan stop seks bebas, stop homo seks? Padahal itu penyumbang tertinggi penularan HIV. Bagaimana bisa tindakan kuratif senantiasa diserukan namun sumber masalahnya dibiarkan berkembang dan justru didukung? Kontradiktif sekali.


LGBT misalnya. Pengarusan LGBT oleh media, lembaga internasional PBB, dan negara adidaya Amerika Serikat pun sangat deras. PBB, dengan tegas saya katakana dia adalah lembaga hipokrit. Menyerukan pengakhiran HIV/AIDS, namun di satu sisi mendukung agenda kesetaraan gender dan LGBTQI+ melalui UN Women dan lembaga turunannya yang lain. Saking derasnya dukungan, sampai-sampai AS hendak mengirim utusan khusus untuk memajukan Hak Asasi Manusia LGBTQI+, Jessica Stern, ke Indonesia pada 7-9 Desember 2022. Na'udzubillah. Namun, rencana ini dibatalkan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak keras kunjungan utusan AS itu. Akidah dan nilai-nilai Islam yang dipegang kaum muslim, mayoritas penduduk Indonesia, semakin didobrak dengan kencang oleh Barat melalui kaki tangannya. Tak bisa dianggap remeh. Ini masalah serius yang perlu menjadi fokus utama kita dan pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung kita. Namun faktanya, pemerintah pun menyerukan solusi yang justru merusak. Pemkot Bekasi pada bulan September 2022 membagikan 16.560 kondom untuk mencegah penularan HIV (news.detik.com, 17/9/2022). Solusi macam apa ini? Inikah potret negeri mayoritas muslim? Miris!


Ya Allah. Sesungguhnya apa yang menjadi akar masalahnya sehingga semua jadi seperti ini? Ternyata telah jauh, terlampau jauh kehidupan generasi kita dari standar hidup yang sempurna dan paripurna. Standar hidup yang menjaga mereka dari segala keburukan dan kerusakan. Standar yang menjadikan mereka hidup sesuai dengan fitrah. Yakni aturan Islam. Sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan, telah merasuk dalam tubuh generasi muda sehingga mereka tak punya benteng dalam menghadapi gempuran budaya Barat yang liberal. Seks bebas dan homo seks mereka terima menjadi bagian hidup mereka dengan suka rela tanpa tahu betapa rusaknya ia, tanpa tahu penyakit mengerikan apa yang timbul darinya. Bahkan tanpa menimbang apakah Rabbnya membolehkan itu atau tidak. Ya Allah. Di alam sekular ini, pemuda melupakan identitas Islamnya. Bagi mereka Allah hanya ada di masjid. Allah hanya ada ketika sholat. Jika bukan dengan agama, lantas dengan apa lagi kita melindungi generasi kita? Jawab. Coba jawab. Keimanan dan keteguhan memegang visi akhiratlah yang menjadi rem dan benteng bagi mereka. Sedikitpun mereka takkan melakukan seks bebas, apalagi homo seks. Apabila sudah seperti ini, takkan ada yang namanya HIV/AIDS Pandemic, penyakit mengerikan ini takkan tersebar luas.


Syariat Islam Akhiri Penyebaran HIV/AIDS


Sebagian besar kerusakan yang ada di muka bumi sesungguhnya disebabkan oleh ulah tangan manusia sendiri. Sebab mereka memperturuti hawa nafsu tanpa memikirkan bagaimana kehidupan masa depan mereka, generasi mereka. Yang dipikirkan hanya kesenangan diri, semisal mendapat uang, memuaskan hasrat seksual, dan lain-lain. Dan itu semua didapat dengan menghalalkan segala cara. Bebas tanpa aturan. Maka tak heran Allah juga menyebut hal ini di dalam al-Qur’an,


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ


“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rum: 41)


HIV/AIDS merupakan akibat dari perbuatan yang menyimpang dari fitrah. Islam hadir dengan seperangkat aturannya untuk menjaga manusia. Islam memiliki solusi preventif serta kuratif dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam hal HIV/AIDS, pemimpin dalam pandangan Islam harus menuntaskan akar masalahnya, bukan setelah ada masalah baru ditindak. Akar masalahnya ialah jauhnya pemahaman Islam dari kehidupan masyarakat. Maka sedari awal, Islam memerintahkan pemimpin negara untuk menanamkan pendidikan yang tujuannya membentuk kepribadian Islam. Syariat Islam dijadikan poros kehidupan. Sehingga tak timbul fenomena seks bebas dan homo seks di kalangan pemuda, karena Islam mengharamkan segala kemaksiatan. Melalui tindakan preventif ini, Islam menutup celah sekecil mungkin HIV menyebar.


Fakta pemerintah tak mampu membiayai pengobatan ARV para pengidap HIV/AIDS pun juga tak dapat dinafikan. Pemerintah dalam sistem sekular-kapitalisme saat ini memang tidak sungguh-sungguh mengayomi rakyatnya. Pemasukan negara berasa dari uang rakyat sendiri (pajak) serta utang luar negeri. Sumber daya alam yang melimpah justru diserahkan ke asing, Maka tak heran jika negara tak mampu memenuhi kebutuhan rakyat baik dari segi ekonomi, pendidikan, termasuk kesehatan. Ini sungguh berbeda dengan sistem Islam yang mengatur sumber pemasukan negara dengan sempurna. Kepemilikan umum, seperti sumber daya alam tak boleh diserahkan ke swasta apalagi asing. Walhasil, keuntungannya dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kehidupan rakyat. Sungguh sangat lengkap dan luar biasa sekali Islam mengatur kehidupan ini. Inilah Islam, solusi yang seharusnya kita ambil serta sistem yang harus kita terapkan untuk menyelesaikan segala permasalahan hingga tuntas, termasuk problem HIV/AIDS. Wallahua’lam bisshawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم