Pindah Ibu Kota, Ambisi atau Solusi



Oleh : Ummu Hanin Hanan

Semenjak diumumkan pada Senin, 26 Agustus 2019, pemerintah kian serius menggarap pemindahan ibu kota negara (IKN). Kala itu, Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri PUPR Basuki Hadi Mulyono dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro melakukan konferensi pers di Istana Negara Jakarta guna mengumumkan tentang rencana pemindahan ibukota negara dari DKI Jakarta (berdasarkan Undang-Undang No.29 Tahun 2007 jo. UU no 34 Tahun 1999)  ke Propinsi Kutai Kertanegara dan Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur.

Bentuk keseriusan pemerintah diwujudkan dengan disahkannya payung hukum UU No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) pada 18 Januari 2022 dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski terkesan tergesa-gesa, pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) yang memakan waktu singkat (42 hari) dan digarap di tengah hantaman lesunya ekonomi pasca pandemi covid-19, tidak menghalangi 8 dari 9 fraksi di DPR untuk menyetujui UU IKN ini. 

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa UU IKN merupakan sebuah kepastian hukum yang diperlukan dalam pelaksanaan pemindahan ibu kota negara baru nantinya. "Mereka (swasta dan investor) meminta ada kepastian hukum. Karena negara kita negara hukum dan kekuatan hukum setelah UUD 1945 berikutnya adalah UU maka kemudian yang paling diperlukan untuk dapat melakukan tahap berikutnya dalam pelaksanaan pemindahan ibu kota ini adalah kalau ada UU," sebutnya.

Urgensi Perpindahan Ibu Kota Negara
Menelisik urgensi perpindahan ibu kota negara, pemerintah mengungkapkan beberapa alasan, diantaranya;
Menghadapi tantangan masa depan. Sesuai dengan Visi Indonesia 2045 yaitu Indonesia Maju, ekonomi Indonesia Akan masuk 5 besar dunia pada tahun 2045. Tahun 2036, diperkirakan Indonesia akan keluar dari middle income trap. Oleh sebab itu dibutuhkan transformasi ekonomi untuk mencapai Visi Indonesia 2045. Transformasi ekonomi didukung oleh hilirisasi industri dengan memanfaatkan sumber daya manusia, infrastruktur, penyederhanaan regulasi, dan reformasi birokrasi yang dimulai dari tahun 2020-2024. Oleh sebab itu dibutuhkan IKN yang dapat mendukung dan mendorong transformasi ekonomi tersebut.

IKN harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata termasuk di Kawasan Timur Indonesia. Selama ini, Jakarta dan sekitarnya terkenal dengan pusat segalanya (pemerintahan, politik, industri, perdagangan, investasi, teknologi, budaya dan lain-lain). Hal ini menyebabkan ketidakmerataan pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia. Rentetannya yaitu tidak termanfaatkannya potensi daerah secara optimal, kurang mendukung keadilan antara daerah, dan rentan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh sebab itu dibutuhkan IKN yang berlokasi di Kalimantan dan diharapkan menjadi “pusat gravitasi” ekonomi baru di Indonesia termasuk di kawasan tengah dan timur Indonesia. 

Kondisi objektif Jakarta yang tidak cocok lagi sebagai IKN. Hal ini bisa dilihat dari “beban” yang harus ditanggung Jakarta antara lain kepadatan penduduk, kemacetan Jakarta yang  merupakan kota termacet nomor 31 dari 416 kota besar di 57 negara tahun 2020 (TomTom Traffic Index), permasalahan lingkungan dan geologi yang telah akut antara lain banjir yang setiap tahun melanda Jakarta dan terjadinya penurunan tanah yang mengakibatkan sebagian wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut.

Benarkah faktor-faktor tersebut menjadi urgensitas untuk dipindahkannya ibukota? Jika Jakarta menjadi kota yang bermasalah, apakah pindah ibukota akan menyelesaikan masalah?
Mega proyek yang minim aspirasi ini memang masih menuai polemik. Termasuk berkaitan dengan aspek ekologis di daerah yang akan menjadi ibu kota baru. Kendati pemerintah dalam satu kesempatan menyatakan salah satu alasan ibu kota negara dipindahkan ke Kalimantan karena berencana mencanangkan Living with Nature (Konsep Forest City).
Konsep Forest City di antaranya dengan penerapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 50 persen dari total luas area yang meliputi taman rekreasi, taman hijau, kebun binatang, botanical garden, dan sport complex, yang terintegrasi dengan bentang alam yang ada seperti kawasan berbukit dan Daerah Aliran Sungai (DAS), serta struktur topografi.
Namun, yang sudah terjadi adalah proyek skala besar di Kalimantan membuat hutan tempat hidup satwa terfragmentasi, termasuk menghilangkan koridor-koridor yang vital bagi satwa. Akibatnya, terjadi ancaman kepunahan hewan endemik seperti pesut, bekantan, da dugong.
Ibu kota baru juga akan berdiri di wilayah yang memiliki 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batu bara di atas wilayah total kawasan ibu kota baru seluas 180.000 hektar yang setara dengan tiga kali luas DKI Jakarta. Itu belum termasuk 7 proyek properti di Kota Balikpapan.
Hasil penelusuran menunjukkan ada 148 konsesi di antaranya pertambangan batu bara, baik yang berstatus Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan satu di antaranya berstatus Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Izinnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dengan nama sebuah perusahaan seluas 24.760 hektare yang seluruh konsesinya masuk dalam cakupan ibu kota. Konsesi pertambangan saja sudah mencapai 203.720 hektare yang seluruhnya masuk dalam kawasan ibu kota baru.
Saat ini saja sudah ada daya rusak yang luar biasa dari pertambangan ini. Lubang tambang ini mencapai 94 lubang. Yang dibutuhkan Kalimantan Timur saat ini adalah pemulihan bukan proyek ibu kota negara ini. Direktur Walhi Kalimantan Timur, Yohana Tiko melihat, pembangunan IKN akan menjadi "pemutihan" tanggung jawab korporasi yang telah merusak alam dan membebankannya pada pemerintah.
Menurut para aktivis, lokasi ibu kota baru berada di antara hutan konservasi Taman Hutan Rakyat Bukit Suharto, Hutan Lindung Manggar, dan Hutan Lindung Sungai Wain yang berakibat pada ketersediaan air bagi lima wilayah.
Peneliti Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga mengatakan, lima wilayah tersebut yakni Balikpapan, Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, wilayah pesisir khususnya Kecamatan Samboja, Kecamatan Muara Jawa, Kecamatan Loa Lulu, dan Kota Samarinda.
Kondisi normal, Kota Balikpapan seringkali krisis ketersediaan air bersih dan air minum. Meskipun, dalam tata ruang wilayah telah ditetapkan 52 persen wilayah kota sebagai kawasan hutan lindung.
Tidak hanya krisis air, pemetaan lokasi IKN juga berdampak terhadap ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan. Sementara, warga sudah sejak lama membikin perlindungan mangrove sebagai respons atas masifnya konversi mangrove yang terjadi di pesisir Kota Balikpapan. Yang ketika itu diubah menjadi pelabuhan-pelabuhan industri hingga PLTU.
Yohana Tiko juga mengatakan, banjir kerap melanda wilayah di sekitar IKN. Ini menunjukkan area ini telah dibebani oleh masalah lingkungan sejak investasi masuk ke daerah tersebut. Perusahaan sawit, kayu, dan pertambangan telah mengeksploitasi wilayah tersebut dan merusak lingkungan. Ia juga menambahkan bahwa hulu habis dengan konsensi, pembangunan IKN, lalu daerah tengah dan hilir dengan industri, dan pelabuhan. Ditambah hilangnya ruang hidup masyarakat, berladang, berburu, serta mencari ikan.
Nampaknya, masalah lingkungan yang akan menjadi ibukota baru, tidak lebih baik dari Jakarta. Dengan pemindahan ibukota, tidak akan menyelesaikan masalah Jakarta, tapi justru membuka masalah baru di Kalimantan Timur.


Sumber Anggaran Dana Pemindahan Ibukota
Saat menghadiri Indonesia–PEA (Persatuan Emirat Arab) Investment Forum yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Kamis (4/11/2021) Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pembangunan ibu kota baru setidaknya membutuhkan dana sebesar 35 miliar dolar AS (sekitar Rp 501 triliun). 

Selanjutnya, pendanaan tersebut diatur dalam UU IKN pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pendanaan untuk melakukan pembangunan dan pemindahan IKN dan juga menyelenggarakan pemerintahan khusus berasal dari dua sumber yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Untuk itu, pemerintah menyiapkan empat skema pembiayaan yang berasal dari empat sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan swasta murni.

Skema pembiayaan yang direncanakan oleh Bappenas sebagai berikut:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meliputi:
Infrastruktur pelayanan dasar
Pembangunan istana Negara
Bangunan strategis TNI/Polri
Perumahan dinas ASN dan TNI/Polri
Pengadaan lahan dan ruang terbuka hijau
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meliputi: Peningkatan bandara dan pelabuhan
Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) meliputi:
Gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif
Pembangunan infrastruktur utama (selain yang telah tercakup dalam APBN)
Sarana pendidikan, kesehatan, museum, lembaga pemasyarakatan
Sarana dan prasarana penunjang
Swasta meliputi:
Perumahan umum
Pembangunan perguruan tinggi, sarana kesehatan, MICE dan sciencetechnopark
Pembangunan shopping mall

Sejak awal diwacanakan, pemerintah menegaskan bahwa pemindahan IKN tidak akan membebani APBN. Pada 2019, Presiden Joko Widodo mengatakan, dana APBN yang digunakan untuk pemindahan IKN sebesar 19% dari APBN dengan sisanya dari swasta dan BUMN. Artinya, APBN hanya akan menyumbang sejumlah kecil dari total biaya yang dibutuhkan dalam pembangunan IKN. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga membantah isu alokasi APBN sebesar 53,5% dalam konferensi pers di DPR, Selasa (18/01) karena pemerintah masih melakukan perhitungan. 

Namun, yang dapat dipastikan adalah, salah satu fokus penggunaan APBN 2023 adalah untuk membangun IKN Nusantara dengan menganggarkan Rp 23,6 triliun untuk pembangunan IKN Nusantara tahap awal. Anggaran ini akan digunakan oleh sejumlah kementerian/lembaga terkait dalam pembangunan IKN. 

Menggaet Investor dengan Obral kebijakan
Pengalokasian dana APBN, yang notabene bersumber dari uang rakyat melalui pajak, untuk pembangunan IKN dalam jumlah besar diprediksi akan mendapat pertentangan dari banyak pihak. Selain APBN akan jebol, dikhawatirkan alokasi program-program prioritas untuk masyarakat dalam APBN berpotensi besar akan dikorbankan karena dialihkan untuk IKN. Karena itu, pemerintah berusaha menggaet investor melalui skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan swasta murni.

Pemerintah tak segan-segan menerbitkan payung hukum secara kilat untuk mengikis kekhawatiran para investor, yakni UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN. Kendati demikian, investor masih memiliki keraguan untuk terjun berinvestasi di ibu kota anyar.

Beberapa pakar mengungkapkan alasan dibalik alotnya investasi swasta. Ekonom INDEF Nailul Huda mengatakan proyek IKN yang bersifat multiyears membutuhkan komitmen bukan dari presiden saat ini tapi juga dari presiden selanjutnya. Ia menilai bahwa beda presiden pasti beda prioritas programnya. Ketidakpastian inilah yang menjadikan investor ragu berinvestasi di dalamnya.

Ekonom Celios Bhima Yudhistira juga menambahkan maju mundurnya investor ke IKN Nusantara selain karena faktor political guarantee dan untung rugi bisnis, juga mempertimbangkan hal lain seperti ancaman resesi ekonomi 2023.

Sekalipun UU IKN telah resmi disahkan, dalam sistem demokrasi memang tidak ada jaminan bahwa UU bersifat tetap tanpa perubahan, bergantung kepada penguasa saat itu. Bergantinya presiden, bisa jadi berubah pula undang-undangnya.
Menangapi lesunya minat investor, pemerintah tak patah arang, Revisi UU IKN yang masih seumur jagung pun diusulkan. Lagi-lagi demi mengakomodir keinginan investor. Investor di IKN Nusantara diiming-imingi masa hak guna lahan yang panjang hingga lebih dari 100 tahun. Kementerian ATR/BPN melalui Menteri Hadi Tjahjanto menawarkan insentif perizinan hak guna bangunan (HGB) hingga 80 tahun dan bahkan sampai 160 tahun bagi investor di IKN.[1] 

Di sisi lain, Badan Otorita Ibu Kota Negara akan membentuk Badan Usaha Milik Otorita guna memfasilitasi pengusaha maupun investor yang ingin berusaha di IKN Nusantara. Kepala Otorita IKN Bambang Susantono mengatakan Badan Usaha Milik Otorita IKN akan menangani aspek-aspek kepengusahaan yakni untuk berpartner dengan calon investor, deal-deal, strukturisasi, ataupun financial engineering dengan investor atau pelaku usaha. Selain itu, Otorita IKN akan segera merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai insentif bagi pelaku usaha maupun investor potensial di IKN Nusantara. 

Hasilnya, Bambang mengeklaim, banyak investor yang sudah menyatakan diri tertarik berinvestasi dengan membangun berbagai fasilitas di IKN Nusantara, seperti sekolah, fasilitas kesehatan, hingga pusat perbelanjaan.[2]

Yang menjadi pertanyaan, lantas, untuk siapakah IKN ini dibangun. Jika penyelenggaranya adalah pengusaha, lantas di mana letak pengayoman penguasa terhadap rakyat? Jika pengusaha sudut pandangnya adalah untung rugi, apakah penguasa yang menggaet pengusaha hendak berjual beli mencari keuntungan dari rakyat dan bukan melayani rakyat?
Bertentangan dengan UUD 1945 dan Rawan Konflik

Keputusan Pemerintah Indonesia membuat Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara selevel provinsi dengan bentuk otorita—tanpa gubernur dan DPRD— dianggap berpotensi melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan tidak demokratis.
Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai bentuk otorita di IKN nanti memungkinkan terjadinya "otoritarianisme di tingkat lokal" karena hanya dikendalikan oleh eksekutif.

Berdasarkan UU IKN, kepala otorita akan bertanggung jawab langsung kepada presiden, seperti halnya menteri. Pemerintah berdalih masalah representasi rakyat akan diatur kemudian dalam peraturan pemerintah dan peraturan presiden.

Status IKN Nusantara yang merupakan daerah khusus setingkat provinsi, tapi tanpa peran legislatif dan pemimpin setara menteri, dinilai oleh berbagai pengamat hukum dan aktivis sebagai inkonstitusional atau tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tidak hanya soal prosedur, menurut Bivitri konsep IKN Nusantara inkonstitusional karena tidak sesuai dengan esensi demokrasi, dan negara hukum, yang pada dasarnya bertujuan untuk membatasi kekuasaan.

Pengamat kebijakan publik, Roy Valiant Salomo juga mengatakan, status otorita di IKN Nusantara juga berpotensi mengulang konflik masa lalu yang pernah terjadi dengan status Otorita Batam, yang kini bernama Badan Pengusahaan Batam. Ia menyampaikan bahwa masalah yang dihadapi Batam bisa terulang lagi, Otorita Batam konflik dengan pemda dalam pelayanan publik. Masyarakat kebingungan mengurus KTP, izin-izin karena ada dua kepemimpinan.[3] 

Ambisi atau Solusi
Ada apa di balik ngototnya penguasa memindahkan ibu kota? Dalih menyolusikan ibukota yang bermasalah saat ini, nampaknya belum bisa diterima. Faktanya, masalah ekologis pada calon ibukota baru tak kalah parah dengan Jakarta, juga akibat carut marutnya pengeloalaan investasi dengan izin resmi dari penguasa. Selain itu, di tengah kondisi ekonomi yang lesu pasca dihantam pandemi, penguasa tidak berfokus pada pemulihan ekonomi rakyat dan tetap ngoyo untuk memindahkan ibukota dengan menggaet investor. Format kepemimpinan ibukota baru pun menuai banyak kritik mendasar karena dinilai menabrak nilai-nilai demokrasi dan diprediksi memicu sifat otoriter. Maka, benarkah proyek pindah ibukota ini murni solusi untuk permasalahan rakyat, atau hanyalah ambisi segelintir orang yang berkuasa?

Khotimah

Permasalahan perpindahan ibukota sebenarnya permasalahan teknis. Tercatat pemerintahan islam pun pernah beberapa kali pindah ibukota. Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah. Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad. Perpindahan ketiga adalah dari Baghdad ke Kairo. Sedang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul.

Namun permasalahan teknis ini bisa menjadi permasalahan ideologis, jika latar belakang pemindahan ibukota bukan berdasarkan konsep ri’ayah penguasa kepada rakyatnya. Melainkan untung rugi, jual beli jasa antara penguasa kepada rakyat.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

...الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” 
(HR. Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).

Penguasa ibarat penggembala yang bertanggung jawab atas gembalaannya. Penguasa memiliki tangung jawab dalam pemenuhan kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Dan kelak Allah akan memintai pertanggungjawaban akan pemenuhan tersebut. Khalifah Umar bin Khattab pun khawatir akan penghisaban atas kepemimpinannya. Sampai-sampai beliau rela memikul sendiri sekarung makanan untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan. Bahkan beliau pun tak rela seekor keledai terperosok pada jalan berlubang akibat buruknya pembangunan jalan.

Sungguh kita merindukan pemimpin-pemimpin yang adil dan memikirkan rakyatnya. Namun sayangnya pemimpin tersebut tidak lahir dalam sistem politik demokrasi yang oportunis. Semoga Allah ta’ala segera menurunkan pertolongan-Nya karena telah bersunguh-sungguhnya kita dalam memperjuangkan agama-Nya. Aamiin. 
Wallahua’lam bisshowab.

[1] Rilis Indikator Politik di Jakarta, Senin 10 Oktober 2022.
[2] Bambang pada konferensi pers di Istana Kepresidenan Jakarta, dikutip dari siaran YouTube, Selasa (4/10/2022).
[3] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-6005545

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم