Oleh : Ria Anggraini (Muslimah Bangka Belitung)
Media asing berbondong-bondong menyoroti pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menjadi KUHP 6 Desember lalu.
Pasalnya dalam UU tersebut ada aturan baru yang melarang seks di luar nikah untuk penduduk lokal dan pelancong. Bahkan ada hukuman penjara jika melanggar.
Berdasarkan KUHP baru, perzinaan akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori II, mencapai Rp 10 juta.
Pelaku pariwisata di Indonesia masih berupaya pulih dari dampak buruk pandemi Covid-19, pada saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Selasa (06/12). KUHP baru ini dikhawatirkan dapat menjauhkan turis asing karena salah satu substansinya memidanakan pelaku hubungan seks di luar nikah.
Undang-undang kontroversial itu, yang oleh para pengkritiknya disebut sebagai "bencana" bagi hak asasi manusia, juga melarang pasangan belum menikah untuk hidup bersama serta membatasi kebebasan politik dan agama.
Pengesahan KUHP juga diberitakan secara luas di Australia, di mana sejumlah surat kabar menjulukinya sebagai "Bali bonk ban" atau "larangan berhubungan seks di Bali".
Perekonomian Indonesia sendiri sangat bergantung pada pariwisata dari Australia, yang merupakan asal wisatawan terbanyak sebelum pandemi.
Ribuan orang Australia berlibur ke Bali setiap bulan untuk menikmati cuaca hangatnya, menikmati bir Bintang, dan berpesta di pantai sepanjang malam.
Bagi warga Australia, menggelar pernikahan di Bali pun cukup umum. Bahkan ribuan pelajar Australia terbang ke Bali setiap tahun untuk merayakan kelulusan SMA.
Bagi banyak anak muda Australia, perjalanan ke Bali dipandang sebagai ritual peralihan ke usia dewasa. Sedangkan yang lain pergi ke Bali beberapa kali dalam setahun untuk liburan singkat dan murah.
Begitu RKUHP disahkan pada Selasa (6/12), setelah bertahun-tahun sebelumnya baru sebatas rencana, keraguan soal pariwisata di masa mendatang pun mulai muncul.
Merespons hal ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengaku telah berkomunikasi dengan Duta Besar Australia. Sandi pun mengaku, pihaknya telah mengambil sejumlah langkah untuk mengantisipasi situasi tersebut. Sandi bahkan menjamin, kegiatan wisata hingga investasi di sektor parekraf akan terus dilindungi.
Sandi juga meminta wisatawan mancanegara (wisman) tidak ragu berkunjung ke Indonesia. Menurut Sandi, tidak ada yang berubah dari sistem di industri pariwisata saat ini. Fokus kementeriannya, kata Sandi, adalah terus meningkatkan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan.
Sandi pun memastikan pemerintah tetap berpedoman bahwa ranah privat masyarakat, termasuk wisatawan, akan tetap terjamin. Dengan begitu, jelas Sandi, kenyamanan dan keamanan ranah pribadi wisatawan selama berwisata di Indonesia juga turut dijaga.
Menurut Sandi pula, pengesahan KUHP baru adalah wujud berjalannya sistem negara yang konstitusional. Adapun regulasi tersebut baru akan berlaku tiga tahun setelah disahkan.
Sedikit komparasi, KUHP lama Indonesia yang berlaku sejak zaman kolonial Belanda tersebut tidak menganggap seks di luar nikah sebagai sesuatu yang melanggar norma. Selain itu, KUHP lama juga tidak mempermasalahkan sepasang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan seks di luar nikah atau zina sepanjang keduanya saling setuju. Perbuatan zina baru menjadi pidana jika salah satunya sudah menikah atau kedua pasangan itu sudah sama-sama menikah.
Sementara dalam KUHP baru, pasal perzinaan adalah wujud delik aduan absolut. Maksudnya, pasal tersebut tidak akan mengakibatkan pidana jika tidak ada aduan dari pihak seperti diatur dalam undang-undang tersebut, yakni istri atau suami bagi yang menikah atau orangtua dan anak bagi yang tidak menikah.
Inilah repotnya jika sektor pariwisata diposisikan sebagai sektor utama penyumbang APBN. Otomatis -selain pajak- APBN kita bergantung pada sektor pariwisata tersebut. Terlebih pascapandemi yang ketika itu sektor pariwisata boleh dikata mati suri. Ketika kini sektor pariwisata mulai bergeliat dan siap kembali menjadi tambang devisa, kondisi ini tentu tidak akan disia-siakan oleh penguasa.
Namun akibatnya, penegakan hukum tentang tindak pidana perzinaan begitu mudah ditarik ulur. Pasal perzinaan tidak ubahnya pasal karet. Padahal negeri kita adalah negeri muslim, tetapi idealisme terhadap aturan Islam tentang hukum zina harus rela mati harga demi devisa.
Larangan seks di luar nikah dianggap mengancam keberlangsungan pariwisata, bahkan investasi.
Narasi ini jelas menunjukkan keberpihakan kepada perilaku sesat yang diharamkan agama, dan menggambarkan dengan jelas bagaimana aturan dalam sistem sekuler kapitalis.
Namun di sisi lain juga menunjukkan sekulernya cara berpikir anggota dewan karena memasukkan zina dalam delik aduan dan membatasi pelapor hanya keluarga dekat. Hal ini secara tidak langsung berarti membolehkan perzinaan, bahkan negara pun mentolerir.
Liberalisme didefinisikan sebagai suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu. Dalam kapitalisme, dikenal empat kebebasan, yakni dalam beragama, berpendapat, kepemilikan, dan berperilaku.
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Demokrasi Sistem Kufur, mengatakan, “Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa umat manusia ialah ide kebebasan individu. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal serta memerosotkan harkat martabat masyarakat sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang!”
Paham kebebasan yang menyerang negeri-negeri muslim menjadikan banyak pemuda terjerumus ke dalam berbagai aktivitas yang tidak sesuai syariat Islam, seperti pergaulan bebas, bahkan tidak sedikit yang menjadi pelaku elgebete. Wajar jika saat ini penyakit HIV/AIDS banyak diidap oleh kalangan muda. Belum lagi sejumlah kasus kriminal, seperti narkoba, kekerasan, maupun delik hukum lainnya.
Tidak hanya itu, beberapa di antara mereka pun terlibat dalam teknologi sesat dan melalaikan, seperti gim daring hingga pinjaman dan judi online. Ada juga yang menjadi bumper kapitalisme dalam wujud “sampah peradaban”, semacam gelaran Citayam Fashion Week, juga barisan penggemar drakor dan K-Pop.
Inilah gambaran kehidupan sekuler yang jelas bertentangan dengan Islam. Berwisata di era sekuler tidak lagi berupa tadabur alam dalam rangka menyegarkan keimanan bahwa Allah Taala adalah Al-Khalik Al-Mudabbir, melainkan telah menjadi industri kapitalis yang turut mewadahi terjadinya beragam kemaksiatan, termasuk perzinaan.
Dalam Islam, perzinaan adalah tindakan keji dan tidak layak diikuti.
Namun sebaliknya dalam sistem sekuler, perzinaan diposisikan sebagai hak asasi individu yang dilindungi oleh ideologi yang bersangkutan, yakni kapitalisme. Wajarlah jika kemudian liberalisasi ekonomi sebagaimana yang diaruskan oleh para kapitalis, pasti selalu disertai liberalisasi budaya.
Islam sangat tegas perihal sanksi zina. Allah Taala berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nuur [24]: 2).
Zina adalah tindak kriminal keji, tidak layak diberi celah apalagi jika sampai difasilitasi.
Ketegasan sistem Islam dalam memberantas perzinaan tidak terlepas dari sifat sistem sanksi dalam Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Sistem Islam harus diyakini kebenarannya karena datang dari Allah Dzat yang Maha Benar dan nyata terbukti membawa kebaikan dalam sejarah panjang peradaban Islam yang mulia. Umat harus diajak untuk ikut memperjuangkannya.
Islam bukan sekadar agama ritual yang mengatur aspek ibadah. Islam adalah sistem kehidupan yang memiliki seperangkat aturan yang terperinci.
Dalam pandangan Islam, hanya Allah Swt. yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (Pembuat Hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walaupun sekadar satu. Allah Swt. berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’am: 57).
Saat ini, kita butuh perubahan sistem. Indonesia dan dunia butuh sentuhan Islam dalam mengelola negara, bukan sekadar menerapkan Islam secara individual, melainkan komunal dan fundamental.
Jika bukan Islam, adakah sistem lain yang bisa menyelamatkan umat manusia dari kerusakan? Sudah saatnya kaum muslim berjuang menegakkan sistem Islam dengan mendakwahkan Islam sebagai solusi bagi problematik kehidupan.
Wallahu a'lam bishawab