Ambisius Pembangunan IKN, Demi Siapa?


Oleh: Endang Setyowati 


Akhirnya Tanggal 18 Januari 2022, merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia dengan disahkannya RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU oleh DPR RI dan Pemerintah.


Kemudian RUU tersebut direvisi, seperti yang dilansir dari Kontan.CO.ID, (02/12/2022) Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia buka suara terkait revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) mengenai kepemilikan hak guna lahan bagi investor selama 90 tahun hingga 180 tahun.


Menurutnya kebijakan tersebut sebagai pemanis untuk menarik perhatian investor agar mau menanamkan modalnya di IKN Nusantara Kalimantan Timur. Jangka waktu kepemilikan lahan ini, menurutnya akan menjadi daya tarik tersendiri, dan sudah dilakukan di berbagai negara.


"Ini bukan soal ngemis atau tidak ngemis. Jadi kita harus menawarkan hal yang menarik bagi investor. Nah yang menjadi salah satu yang menarik adalah yang mungkin terkait dengan jangka waktu kepemilikan lahan dan kalau dibanding negara lain, itu juga seperti itu,” tutur Bahlil kepada awak media, saat ditemui di Hotel Borobudur Jakarta, Jumat (2/12).


Adapun Bahlil membantah kebijakan tersebut diberlakukan karena saat  investor yang masuk IKN sepi peminat. Ia mengklaim beberapa investor sudah menyatakan komitmen masuk ke IKN adalah dari Uni Emirat Arab, China, Korea Selatan, hingga negara Eropa. "Sekarang bukan berarti nggak ada, sudah ada, tapi kan boleh dong mereka menawar dan kita harus cari jalan keluar bersama-sama, win-win solution lah. Negara dapat, pengusaha juga harus dapat," jelasnya.


polemik perpindahan IKN (Ibu Kota Negara) sudah sejak awal. Karena awalnya pembangunan IKN ini, diklaim tidak memakai APBN dan juga masih dipertanyakan berbagai pihak, karena harus memperhatikan berbagai aspek hingga puluhan tahun mendatang. 


Namun sekarang, setelah beberapa investor menarik diri dari proyek pembangunan IKN ini, maka akhirnya pendanaan proyek ini memakai APBN dengan alasan masuk dalam proyek strategis nasional. Sedangkan hak lahan yang ditawarkan hingga 180 tahun  dianggap sebagai strategi pemanis agar investor mau masuk ke IKN. Kebijakan ini meniru negara lain, untuk mengembangkan investasinya.


Insentif hak lahan yang lama tersebut menunjukkan betapa tak mampunya negara membiayai proyeknya. Dan juga menunjukkan ambisiusnya atas proyek IKN ini. Padahal proyek ini bukanlah proyek yang mendesak apalagi di tengah rakyat yang sedang dilanda kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.


Kebijakan ini menunjukkan kebijakan yang semakin mengobral kedaulatan negara di tangan para kapitalis modal. Seperti inilah ciri khas pembangunan dalam sistem kapitalisme.


Yaitu pembangunan yang hanya menguntungkan para kapital dan mengancam kedaulatan rakyat. Hal inilah yang menyuburkan penjajahan para kapitalis untuk menguasai negeri. Sangat bertolak belakang dengan pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam. 


Menurut pandangan Islam, Ibu Kota Negara merupakan daerah yang sangat penting. Karena disanalah pusat kedudukan pemimpin (Khalifah) dan merupakan pusat seluruh aktivitas kenegaraan. Tidak hanya sisi strategis secara ekonomi yang menjadi pertimbangan, namun juga mempertimbangkan tentang politik serta pertahanan keamanan negara.


Ibu kota negara merupakan representatif posisi negara dimata dunia. Negeri Islam (Khilafah) pernah mengalami perpindahan Ibu kota negara beberapa kali. Namun setiap perpindahan tersebut mempunyai alasan yang sangat kuat serta dengan perencanaan yang sangat matang. 


Pembangunan infrastruktur merupakan bangunan fisik yang identik dengan prasarana dan berfungsi untuk mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi suatu masyarakat. 


Infrastruktur sendiri terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu:


Pertama infrastruktur keras yang meliputi jalan raya, dermaga, bandara, kereta api dan pelabuhan. 


Kedua, infrastruktur keras non-fisik yang berkaitan dengan fungsi fasilitas umum seperti pasokan listrik, jaringan telekomunikasi, ketersediaan air bersih, juga pasokan energi dari minyak bumi, biodiesel dan gas. 


Ketiga, infrastruktur lunak yaitu kelembagaan, meliputi berbagai nilai etos kerja serta kualitas pelayanan umum yang disediakan oleh berbagai pihak yang terkait, khususnya pemerintah. 


Sedangkan untuk pembiayaannya maka negara bisa menggunakan beberapa kategori kepemilikan umum seperti SDA, yaitu minyak, gas dan tambang tertentu semisal fosfat, emas, tembaga dan sejenisnya. Sehingga negara tidak berharap hanya kepada investor saja, sehingga tidak akan  membahayakan kedaulatan negeri. 

Wallahu a'lam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم