Hari Santri Sekadar Romantisme Sejarah, Santri pun Salah Arah




Oleh : Diyani Aqorib S.Si.
(Aktivis Muslimah Bekasi)

Santri identik dengan pesantren dan pesantren identik dengan sejarah perjuangan bangsa ini dalam meraih kemerdekaan. Mengapa? Karena melalui seruan jihad yang dikobarkan oleh para ulama dan kyai, serta-merta membakar semangat kaum muslim dan khususnya para santri. Mereka berjuang mengusir penjajah dari bumi pertiwi. 

Diketahui bahwa resolusi jihad pernah difatwakan oleh pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama, yaitu KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Dari momen itulah kini setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Spirit resolusi jihad tersebut dikobarkan untuk menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan RI yang baru seumur jagung. Karena kolonial Belanda belum rela melepaskan Indonesia dan mengakui kemerdekaannya. (republika.co.id, 22/10/2022)

Darah, air mata, bahkan nyawa mereka korbankan. Slogan merdeka atau mati yang tentunya terinspirasi dari keyakinan seorang muslim dalam berjihad, yaitu hidup mulia atau mati syahid terus dikobarkan. Inilah yang membuat semangat membara rakyat Indonesia untuk merebut kembali kemerdekaan dan menentang upaya penjajahan kembali oleh kolonial Belanda dan sekutunya. Juga tak ketinggalan Bung Tomo yang menyerukan jihad, hingga pecah peristiwa 10 November 1945 yang meluluhlantakkan pasukan sekutu walaupun Surabaya harus bersimbah darah dan rata dengan tanah.

Namun sayang, arti perjuangan dan resolusi jihad yang dikobarkan pada waktu itu diselewengkan dan berbeda jauh dengan maksud dan tujuan peringatan HSN saat ini. Padahal jelas bahwa perjuangan para santri adalah untuk membebaskan negeri dari penjajah kafir Belanda dan sekutunya. Karena mempertahankan wilayah dari serangan musuh dan mengusir penjajah adalah kewajiban dalam Islam. 

Apalagi diketahui jika para penjajah tersebut datang dengan misi khusus, yaitu gold, glory, dan gospel. Jadi para penjajah datang bukan hanya untuk menguasai wilayah dan merampok sumber daya alamnya, tapi mereka juga bertujuan untuk menyebarkan keyakinan yang bertentangan dengan agama Islam. Oleh karena itu kaum muslim harus mempertahankan akidahnya dari serangan kafir penjajah.

Akibatnya Santri pun Salah Arah

Sungguh ironi, saat ini peringatan hari santri justru bertentangan dengan karakter santri itu sendiri yang menjadi sebab penetapan hari santri. Mulai dari memutarbalikkan pemahaman dengan semangat menjaga keutuhan NKRI, sampai pengebirian santri dalam mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. 

Pemahaman para santri pun dikotori dengan pemahaman-pemahaman busuk yang berujung dengan mengadu domba dan menghalang-halangi perjuangan menegakkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Dengan alasan untuk menjaga keutuhan NKRI dari kelompok yang mencoba merongrong dan mengganti ideologi negara. 

Padahal Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda:
"Orang-orang mukmin itu sikapnya saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling memberi simpati seperti satu tubuh. Ketika salah satu bagian tubuh ada yang sakit, seluruh bagian tubuh ikut merasakan hingga tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lalu bagaimana bisa dianggap sama antara perjuangan menegakkan hukum-hukum Allah dengan penjajahan oleh kafir Belanda? 

Pada akhirnya hal ini membuat para santri salah arah. Di mana seharusnya mereka mendukung perjuangan menegakkan syariah Islam secara kaffah dan ikut ambil bagian di dalamnya, justru sebaliknya mereka diarahkan untuk menentang dan menghalangi perjuangan tersebut. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan esensi perjuangan para santri pada zaman kemerdekaan. 

Padahal dengan tegaknya Khilafah di muka bumi para santri dapat lebih optimal dalam menjalankan perintah Allah Swt. Pun tidak ada lagi upaya dari pihak asing dan kaki tangannya untuk mengadu domba antar sesama muslim. Dengan begitu santri pun dapat berkontribusi positif dalam kebangkitan umat dan membentuk peradaban Islam yang mulia.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم