Oleh : Clara putri gunawan
Hak cuti perempuan dalam UU Cipta Kerja, yaitu cuti haid dan cuti melahirkan memang tidak
dihapuskan. Akan tetapi, buruh perempuan tidak lagi mendapat upah saat mereka mengambil cuti. Akibatnya, buruh tersebut tidak mau mengambil hak cuti haid dan melahirkan. Karena mereka takut upahnya dipotong.
Berbicara mengenai upah perempuan di banyak negara. Rata-rata upah perempuan selalu jauh
di bawah rekan kerja laki-laki mereka. Perbedaan upah bervariasi dari 10-40 persen
berdasarkan gender.
Diskriminasi yang terjadi pada perempuan sangatlah lumrah di alam sistem kapitalisme. Hal ini membuktikan kegagalan sistem demokrasi kapitalisme dalam menyejahterakan masyarakat. Gagal menjamin perlindungan bagi warga negaranya, termasuk perempuan.
Ditambah ide kesetaraan gender yang mendorong perempuan agar diberdayakan maksimal untuk menaikan taraf hidupnya. Oleh karena itu, diharapkan program pemberdayaan
perempuan mampu membantu negara menggenjot laju perekonomian dan menurunkan angka
kemiskinan.
Kapitalisme telah menjadikan perempuan sebagai tumbal dalam kerakusannya. Dengan
orientasi materi, kapitalisme mengiming-imingi kesejahteraan bagi perempuan dengan
kebebasan mengaktualisasikan diri dan berkarir. Sehingga, perempuan meninggalkan peran
utamanya sebagai istri pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anaknya.
Sesungguhnya, kenestapaan yang dialami perempuan tidak akan terjadi jika sistem bernegara diatur oleh sistem Islam. Dalam Islam, kebutuhan perempuan ditanggung oleh walinya.
Sehingga, perempuan bisa fokus menjalankan tugas utamanya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Dengan demikian, tidak ada lagi rasa khawatir terhadap pemenuhan kebutuhannya.
Hanya Islam yang menjamin dan melindungi hak juga peran perempuan. Sebagai agama yang
sempurna, Islam memiliki aturan yang komprehensif yang menjamin keadilan dan
kesejahteraan bagi siapa pun, termasuk perempuan. Islam juga memiliki solusi atas setiap persoalan kehidupan. Karena Islam bersumber dari Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur.
Islam menjamin kebahagian manusia selama aturannya diterapkan secara menyeluruh. Aturan Islam selalu tetap, tidak berubah. Karena
aturannya datang dari Zat Yang Maha Sempurna.
Saat kaum perempuan dihinakan dan direndahkan. Di mana pada saat itu, perempuan layaknya benda yang bisa dimiliki, diwariskan, dan ironisnya hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki. Hal yang lebih mengerikan, perempuan dijadikan simbol kehinaan. Sehingga kelahirannya menjadi aib yang luar biasa besar, membunuhnya sudah menjadi budaya. Kehadiran agama Islam merevolusi sistem jahiliyah dan berhasil menggali potensi dan akal
manusia. Islam menetapkan standar kemuliaan seseorang tidak berdasarkan gender,
kedudukan dan materi. Melainkan kadar ketakwaan di hadapan Allah.
Dalam Islam kedudukan perempuan sangatlah jelas. Yakni, memiliki peran mulia sebagai
ummun wa rabbat al-bayt (ibu dan pengurus rumah tangga). Peran ini terlihat sepele, namun
memiliki nilai politis dan strategis. Karena dari para ibu inilah akan lahir pemimpin-pemimpin
yang tangguh, cerdas dan berkualitas. Berkat keberhasilan para ibu hebat dalam mendidik dan memelihara generasi umat. Kemudian, lahirlah mujtahid-mujtahid yang membangun peradaban Islam hingga mencapai puncak kegemilangannya.
Dalam sebuah hadis mahsyur disebutkan,
“Wanita adalah tiang Negara, jika baik wanitanya baik
pula negara itu, tetapi jika jelek wanitanya, maka jelek juga negara itu.” (HR. Ahmad)
Jika perempuan menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai fitrahnya. Kemuliaan,
kebahagiaan, dan kebangkitan akan diperoleh dengan mudah. Maka, dengan sendirinya
kedudukan perempuan akan mulia.
Wallahu ‘Allam bishawab.