Oleh: Fardaniyah (Aktivis Dakwah)
Hingga hari ini isu radikalisme, ekstrimisme dan terorisme masih santer dimainkan oleh pihak-pihak yang sinis terhadap kelompok tertentu. Radikalisme dianggap sebagai sesuatu yang sangat mengancam keamanan dan kesatuan negara. Definisi makna radikal, ekstrem, dan teroris telah digiring pada makna baru tertentu. Dengan makna tersebut, siapa pun bisa menuding siapa saja yang dianggap radikal, ekstrem.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, radikalisme memiliki tiga arti. Pertama, paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik. Makna tersebut bisa dipahami secara umum, kelompok mana saja yang menginginkan perubahan politik dengan cara kekerasan dan drastis, bisa disebut radikal. Namun faktanya, saat ini istilah radikal hanya ditujukan pada kelompok tertentu. Menariknya, definisi tersebut sebenarnya telah mengalami perubahan makna. Karena menurut KBBI keluaran tahun 1990, istilah radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Arti ini cenderung bermakna positif.
Dari sini kita menemukan sebuah istilah dapat mengalami perubahan makna. Istilah bisa berubah makna demi mewujudkan ambisi dan kepentingan pihak tertentu, antara lain dalam rangka menjegal, melemahkan, dan mencitraburukkan lawan politiknya serta menguatkan pihak rivalnya. Hal ini pernah dialami oleh Rasulullah. Kaum kafir Quraisy melabeli Rasulullah dengan sebutan tukang sihir, gila, dan dukun. Tujuannya agar masyarakat membenci Rasulullah dan tidak mau menerima ajarannya.
Saat ini, di tengah kondisi masyarakat berpandangan sinis dengan kinerja kepolisian, Wakapolri meminta masyarakat mewaspadai radikalisme di dunia pendidikan. Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengatakan, memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya tingkat Perguruan Tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan, terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. (humas.polri.go.id, 13/08/2022).
Dari pernyataan tersebut, masyarakat digiring untuk membentuk opini umum bahwa ada agama tertentu sebagai pemicu aksi radikalisme. Dan ternyata agama yang dimaksud adalah Islam. Hal ini bisa diketahui bahwa beliau menyebut istilah-istilah khas Islam seperti dakwah, halqah, masjid, dan khilafah. Ini adalah pernyataan yang sangat membahayakan. Masyarakat seolah-olah diminta curiga sekaligus menumbuhkan fobia kepada aktivitas dakwah, pengajian Islam, dan ide seputar khilafah. Akibatnya, muncul stigmatisasi negatif terhadap aktivis dakwah Islam dan mereka yang menyerukan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Alhasil, penangkapan aktivis dakwah sampai pembubaran kegiatan pengajian kerap dilakukan dengan dalih intoleransi. Astaghfirullah!
Kenapa Pak Gatot begitu fobia terhadap aktivitas keagamaan para mahasiswa? Toh secara fakta, mereka tidak pernah melakukan keributan. Mereka bukan bandar narkoba. Mereka juga tidak sedang tergabung dalam mafia perjudian. Tidak juga memalak uang masyarakat, bahkan juga tidak pernah terkena OTT KPK atas kasus korupsi. Yang mereka lakukan adalah melakukan pengkajian terhadap ilmu-ilmu agama, melakukan amar makruf nahi mungkar yang memang diperintahkan Tuhannya. Kalau pun mereka mendakwahkan khilafah sebagai sistem pemerintahan alternatif, hal ini karena memang khilafah bagian dari ajaran Islam. Sebagaimana salat, zakat, puasa, dan lainnya. Aktivitas dakwah yang sedang mereka lakukan adalah bentuk kecintaan terhadap tanah air Indonesia. Mereka sangat cinta terhadap negeri ini dan mereka menginginkan Indonesia lebih bermartabat dan sejahtera dengan penerapan sistem Islam. Terlebih sebagai sistem pemerintahan alternatif, khilafah dalam sejarahnya pernah berjaya selama 13 abad. Dalam kurun waktu yang panjang itu, khilafah mampu menyatukan suku, budaya, dan agama mencakup hampir dua per tiga dunia. Mulai Eropa hingga Nusantara. Masyarakat yang ada di dalamnya pun hidup sejahtera. Kejahatan yang ada di dalamnya pun sangat minim. Ini terjadi karena dalam khilafah, ada mekanisme untuk melakukan pencegahan kejahatan. Jika terjadi kejahatan, hukuman yang dijatuhkan bersifat zawâjir. Yakni mencegah manusia melakukan tindak kejahatan. Saat seseorang mengetahui bahwa jika ia membunuh akan ganti dibunuh, maka ia tidak akan berani melakukan perbuatan tersebut. Dalam Islam, hukuman yang diberlakukan juga sebagai jawâbir (penebus) dikarenakan dapat menebus sanksi di akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan khilafah ketika di dunia. Jika demikian, apakah salah mendakwahkan khilafah?
Cerdas dalam Menilai Fakta
Akhir-akhir ini, masyarakat dihebohkan dengan kasus yang mencoreng intitusi penegak hukum kepolisian yang menyeret nama besar Jendral FS. Atau kasus Rektor UNILA yang terkena OTT KPK atas dugaan tindak pidana korupsi. Yang menyedihkan sang rektor ditangkap pada saat mengikuti program pembangunan karakter. Lalu kenapa hal seperti ini tidak dianggap sebagai perkara yang mengancam negara? Padahal pengaruhnya langsung dirasakan oleh masyarakat. Kasus FS menjadikan masyarakat makin tidak percaya pada institusi kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Masyarakat melihat dengan jelas bahwa hukum bisa dipermainkan. Rasa keadilan makin pupus. Masyarakat juga kehilangan sosok sukses hasil didikan revolusi mental yang digadang-gadang pemerintah. Pada akhirnya, publik jengah dengan sederet tuduhan yang dialamatkan kepada umat Islam. Jangan salahkan masyarakat, jika akhirnya muncul opini bahwa stigmatisasi radikal-radikul sejatinya hanya untuk menutupi kebobrokan pengelolaan negeri ini.
Di sinilah seharusnya masyarakat berpikir jernih, melihat segala sesuatu secara objektif. Negeri kita tercinta ini diuji dengan banyak problem kronis. Negeri ini butuh solusi. Solusi terbaik adalah dengan kembali kepada hukum Allah Swt. Seluruh hukum Allah hanya akan terlaksana dalam institusi negara yang menerapkan sistem pemerintah Islam, yakni khilafah. Dengan sistem terbaik dari Allah inilah, keadilan hukum bukan lagi khayalan. Tidak ada lagi kampanye “radikal-radikul!” demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Hanya dengan menerapkan hukum Allah secara kaffah, negeri ini akan mendapatkan kebaikan dan keberkahan sebagaimana masa kejayaan peradaban Islam dalam naungan khilafah selama 13 abad.[]