Diana Rahayu
(Parktisi Lingkungan)
Sungguh, setelah badai pandemi persoalan demi persoalan bertubi-tubi menghampiri rakyat bumi pertiwi. Mulai dari harga migor yang meroket, harga cabe yang fantastis, harga BBM yang ikutan menyeseuaikan harga perekonomian, kini tunjangan guru pun terancam bakal dihapus dari RUU Sisdiknas yang sedang digodog pemerintah.
Kembali, pemerintah menggodok omnibus law tentang Sisdiknas. Salah satu poin krusialnya adalah tentang hilangnya klausul tunjangan guru dalam draf RUU Sisdiknas tersebut. Alasan penghilangan tunjangan guru disampaikan oleh Menristekdikti Nadiem Makarim karena setiap guru bisa mendapatkan tunjangan tanpa memiliki sertifikasi Pendidikan Profesi Guru (PPG). Hal ini dipandang karena guru masih menerima tunjangan lain dengan mengacu pada UU ASN, UU Ketenagakerjaan, hingga alokasi dana BOS dan bantuan dari yayasan. 3 sumber tunjangan tersebut dianggap sudah cukup membuat semua guru sejahtera dan tak perlu tunjangan sertifikasi lagi. Apakah benar demikian?
Jika ditelisik lebih jauh semua itu hanyalah skenario lepas tangannya penguasa dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dalam sistem kapitalis, penghormatan terhadap ilmu dan guru memang hanya dihitung secara materialistik. Saat pengeluaran Negara untuk pendidikan telah membahayakan APBN maka bisa saja dihentikan. 3 Acuan UU sebagai pendapatan tunjangan bagi guru nyatanya memang sudah ada dan melekat pada gaji, seperti tunjangan istri dan anak, tunjangan beras dan kesehatan saat guru berstatus ASN, dimana prosentase jumlahnya sangat minim.
Untuk acuan ketenagakerjaan, BOS dan bantuan yayasan, jelas hal akan sangat bergantung pada keberadaan lembaga pendidikan yang memperkerjakan guru di luar status ASN, seperti guru kontrak atau honorer. Padahal saat inipun keberadaan tenaga kontrak dan honorer bakal dicabut dan diganti dengan outsourcing, dimana sistem penggajiannya diserahkan pada masing-masing kemampuan daerah. Sungguh ironis.
Karena itu saat tunjangan profesi dihilangkan maka sama saja dengan menghapus secara sempurna kesejahteraan guru. Sungguh, kesejahteraan guru benar-benar tergilas RUU Sisdiknas. Kondisi guru dengan gaji minim dan tanpa tambahan tunjangan yang memadai, akan membuat dedikasi guru tak lagi bisa diharapkan. Guru akan berkutat pada penambahan pemasukan di luar profesinya, hingga akan menjauhkan idealismenya sebagai pendidik generasi.
Faktanya pemerintah memang hendak melepas tanggungjawab mewujudkan kesejahteraan pada guru. Kebijakan ini sangat wajar karena lahir dari rahim kapitalis yang materialistik. Dimana semua dihitung dengan cara matematis. Berhitung untung rugi tanpa mempertimbangkan dampak ke depan bagi keberlangsungan generasi.
Pemasukan kas Negara dari pajak dan hutang yang kian menumpuk tak dipungkiri membuat Negara tak lagi sanggup memikirkan kesejahteraan rakyat. Padahal pembiayaan Negara bisa dengan sangat mudah didapatkan dari sumber daya alam yang melimpah ruah di bumi pertiwi. Sayangnya sumber daya alam yang merupakan milik hajat hidup rakyat telah tergadai pada koorporasi dan swasta. Hingga rakyat tak lagi mendapatkan haknya.
Jauh berbeda dengan pembiayaan Negara dalam Islam. Dimana sumber daya alam dikuasai dan dikelola oleh Negara untuk dikembalikan pada rakyat. Selain juga ada pemasukan dari kepemilikan Negara dan zakat yang akan makin menunjang terciptanya kesejahteraan pada seluruh rakyat termasuk guru.
Bukti gemilangnya pengurusan kesejahteraan dalam Islam sungguh bisa dilihat jelas. Bagaimana pemerintahan Umar bin Khattab kala itu yang menggaji guru anak-anak dengan 15 dinar. Jika 1 dinar itu senilai 4,25 gr emas sebagaimana disebutkan dalam kitab Fikih Ekonomi Umar Bin Khattab” karangan Dr. Jaribah bin ahmad Al-Haritsi, itu berarti gaji guru 14 abad yang lalu sudah sebesar 63,75 gr emas.
Belum lagi berbagai tunjangan gratis yang diberikan oleh Negara dalam pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Serta mudahnya akses kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan karena pola pengaturan Negara yang menjamin semua kebutuhan tersebut terdistribusi sampai ke masing-masing individu rakyat berjalan dengan amanah.
Maka bisa dibayangkan kehidupan rakyat seluruhnya termasuk guru dalam sistem Islam, senantiasa dilingkupi kesejahteraan yang hakiki. Yang dipersembahkan oleh pemimpin yang jujur, amanah dan taat pada Rabb-nya. Dimana seluruh umat bergantung dan mendoakan kebaikan terhadapnya. Akankah kita terus mempertahankan sistem sekuler yang terbukti telah gagal memberikan kesejahteraan pada rakyatnya? Maka hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin? Wallahu’alam bishowab.[]