Oleh Triani Agustina
Beragam fakta mengenaskan rasanya belum cukup menimpa masyarakat mulai dari rumah dibongkar paksa karena terjerat rentenir, mati misterius karena penyakit tak tertangani hingga data akademik yang menyatakan bahwa 50% penduduk alami kelaparan tersembunyi.
Seperti yang telah diberitakan oleh media indonesia.com bahwa Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Drajat Murtianto dari laman resmi IPB University, Minggu (18/9) mengungkapkan 50% penduduk Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Hal ini disebabkan kekurangan zat gizi mikro berupa; zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A dan zat gizi mikro lainnya. Kualitas konsumsi masyarakat dari pangan belum baik, penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah dan sayuran yang mengandung zat gizi mikro. Sehingga dapat disebut mengalami kelaparan tersembunyi, karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak tapi dampak yang ditimbulkan sangat besar. Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan dan imunitas.
Dampak kelaparan tersembunyi tidaklah main-main. Secara nasional, Indonesia dapat mengalami kerugian lebih dari Rp50 triliun dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain. Penganekaragaman pangan, suplementasi dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective. Menurut Bapak Drajat, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang yodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya ditambah tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen. Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan. Selama ini, pemerintah Indonesia telah menetapkan program fortifikasi pangan wajib untuk mengatasi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI) melalui fortifikasi garam, Anemia Gizi Besi (AGB) melalui fortifikasi terigu dan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A untuk mengatasi kurang vitamin A (KVA). Dibuktikan dengan masuknya program fortifikasi pangan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.
Namun demikian, dapat disadari bahwa dinamika program fortifikasi pangan sangatlah besar. Sehingga implementasi fortifikasi garam beryodium dihadapkan pada masih cukup banyaknya industri garam yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan target universal salt iodization saat ini belum terwujud serta konsumsi garam yang memenuhi syarat baru mencapai 77 persen rumah tangga. Selain itu, fortifikasi terigu juga dihadapkan pada isu importasi fortikan dan gandum sebagai pangan pembawa (vehicle) yang nyaris 100 persen impor, hambatan perdagangan serta efektivitas zat besi yang digunakan yang masih memerlukan bukti ilmiahnya di lapang. Sehingga diperlukan strategi fortifikasi pangan skala kecil (small-scale fortification) pada pangan pokok seperti sagu, tepung jagung, tepung ubi kayu/mocaf, minyak kelapa dan minyak curah sawit. Strategi ini diupayakan untuk menjamin tumbuh kembang anak Indonesia di setiap pelosok tanah air dapat berjalan secara optimal. Sebagai negara produsen beras terbesar ketiga di dunia fortifikasi beras untuk distribusi kelompok khusus (bantuan sosial, bantuan bencana alam) maupun voluntary secara komersial perlu dikaji lebih mendalam. Pertimbangannya, prevalensi AGB di Indonesia masih tinggi dan tidak hanya diderita rumah tangga miskin, sehingga diharapkan dapat efektif mencakup semua populasi karena beras mayoritas dikonsumsi oleh penduduk Indonesia.
Nampaknya kelaparan bukanlah kasus baru dan diperkirakan akan terus berlanjut selama sistem sekuler kapitalistik terus dipraktikkan. Hal ini di sebabkan meskipun pemerintah melakukan tatanan sedemikian rupa, apabila pola pikir kapitalisme tertancap kuat maka akan sulit terhapuskan dan tidak terbebas dari melambungnya harga pangan. Selain itu faktor bergantung pada import yang masih terjadi, secara tidak langsung melemahkan produksi dalam negeri.
Disisi lain penguasa abai dalam memberikan bantuan yang kurang merata dan terus menaikan harga pangan, seiring naiknya harga BBM. Padahal Allah swt telah mengingatkan akan hal ini, "Siapa saja yang menangani suatu urusan umatku, lalu ia bersikap baik kepada mereka, maka Allah akan bersikap baik kepada dirinya. Siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu ia menyulitkan mereka, maka baginya ada bahlah Allah.” Para sahabat bertanya, “Apakah bahlah Allah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Laknat Allah.” (HR Abi ‘Awanah). Sehingga jelas bahwa hanya Islamlah yang mampu mengatur pola konsumsi masyarakat menjadi lebih teratur dan kembali ke fungsi konsumsi yakni sebagai penopang kehidupan serta bersemangat senantiasa beribadah padaNya.