Pendidikan Islam Mengokohkan Pondasi Generasi

 



Oleh : Yuli Wulandari S.Pd.I


Beberapa waktu terakhir kita mendengar kabar seorang remaja yang bunuh diri karena nazar. Pasalnya, dia gagal diterima masuk Perguruan Tinggi Negeri(PTN) yang telah diincar.


Dikutip dari Hops.ID pada 13 Juli 2022 memaparkan, "jika ia tidak lolos pun, ia memiliki nazar lainnya. Si kakak mengetahui nazar itu. Setelah mengetahui hasil kelulusan si kakak khawatir dengan keadaan adiknya tersebut."


"Jadi gini, adik gue kemarin ngide, jika dia keterima di UGM dia bernazar akan memberikan bantuan santunan kepada anak yatim, sedangkan jika tidak diterima, ia akan suicide (bunuh diri)."(Hops.ID, 13/07/2022)


Kasus bunuh diri juga terjadi pada mahasiswa berinisial BH sempat berkeluh kesah soal kuliahnya selama 7 tahun yang tak kunjung selesai. Keterangan itu didapat setelah polisi mendalami keterangan dari kakak angkat korban, RD.


"Dia diajak ngomong baru nyambung. Katanya kuliah 7 tahun enggak lulus-lulus. Ngajukan skripsi ditolak terus sama dosennya. Sehingga dia diduga stres akhirnya bunuh diri," tutur Kanit Reskrim Polsek Sungai Pinang, Iptu Fahrudi.(Kompas.com, 15/07/2022)


Potret bunuh diri pada kalangan remaja atau pelajar bukan satu atau dua kali terjadi. Banyaknya kasus bunuh diri bisa menjadi bukti nyata bahwa sistem pendidikan sekuler, dimana agama dipisahkan dalam kehidupan, telah gagal membangun kepribadian kuat pada pelajar. Efek penanganan pandemi yang cukup lama juga menampar dan membalikkan kehidupan kita, hingga berimbas kepada keberlangsungan eksistensi diri remaja agar tidak punah lewat sosial media. Lebih miris lagi, hadirnya Citayam Fashion Week di SCBD Sudirman Jakarta yang diapresiasi selebriti hingga politisi beberapa waktu lalu dan viral bisa menjadi bukti bahwa kehidupan hedonis dalam bingkai kapitalistik sungguh melekat dalam diri generasi. Kaum remaja seakan tidak punya jati diri dan lebih senang menjadi pembebek dunia Barat berupa fashion, food, dan life style.


Kehebatan generasi muda yang mengalami kemunduran tidak terjadi tiba-tiba. Minimnya edukasi, kurang terasahnya kreativitas, merosotnya potensi, tekanan hidup yang bertambah, sulit mendapat kebutuhan(termasuk sulit sekolah). Sungguh menyedihkan melihat potret generasi muda kita saat ini yang rapuh. Tidak mampu menyelesaikan masalah di sekitar mereka. Itu semua terjadi karena jauhnya mereka belajar agama sebagai pedoman kehidupan yang diberikan oleh Allah SWT hingga tak lagi nampak penerapan syariat dalam kehidupan sehari-hari.


Kalau kita mau membaca kisah Usamah bin Zaid, di usia 18 tahun diangkat menjadi panglima perang. Bagaimana ketangguhan Muhammad Al-Fatih, pemuda berusia 21 tahun yang mampu menaklukkan Konstantinopel dan masih banyak nama-nama hebat nan luar biasa yang sejak kecil sudah disiapkan dengan pendidikan agama untuk menjadi saksi ketangguhan dan kejayaan di masanya.


Lantas, sampai kapan kita akan terus membiarkan generasi muda bangsa ini terseret derasnya jajahan kapitalis yang hanya menuntun ke jurang kemaksiatan. Kita harus mampu menyelamatkan generasi muda untuk mampu bangkit dan kembali taat pada aturan Sang Pencipta, Allah SWT. Orang tua, lembaga pendidikan, lingkungan, masyarakat, dan negara harus hadir memenuhi hak-hak anak. Bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar ada dalam realitas. Semua stakeholder, terutama negara berupaya memenuhi secara sistemik, melindungi jiwa dan kehormatan diri generasi muda. Cikal bakal generasi tangguh dan penuh harapan penerus estafet pembangunan akan kegemilangan peradaban untuk menjaga Ibu Pertiwi ada di pundak generasi muda.


Muara dari kesemrawutan bisa jadi disebabkan kegagalan dalam menentukan visi pendidikan generasi yang saat ini cenderung dijadikan alat penjajahan para pemilik modal/kapitalis. Lalu liberalisasi menjadikan pemilik modal berhamburan membangun korporasi pabrik. Pendidikan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan staf, karyawan atau pegawai dari pendirian pabrik. Out put pendidikan diarahkan untuk menjalankan usaha yang dimiliki para pemilik modal. Rutinitasnya hanya makan enak dan ingin hidup nyaman mengejar kesenangan dunia (hedonis).


Mari kita kembali membaca sejarah Islam, di mana para pemuda bersemangat menuntut ilmu. Mereka haus akan ilmu pengetahuan hingga Baghdad mendapat julukan "Negeri 1001 Malam" yang mana generasi muda duduk bersama mengkaji berbagai ilmu. 


Pendidikan seharusnya diarahkan bukan sekadar pemenuhan dunia yang fana. Namun, memprioritaskan kehidupan akhirat kelak yang kekal adanya. Allah memberikan segala hal khusus nan istimewa kepada manusia. Sudah selayaknya kita mengambil "spare part" yang diikutsertakan saat penciptaan manusia. Pengajaran di sekolah formal hendaknya diarahkan kepada tiga tujuan utama, yaitu :


1. Pembentukan Syaksiyah Islamiyyah (kepribadian Islam) dengan landasan penguatan akidah dan ibadah. Pengenalan Al-Qur'an, prinsip-prinsip dasar, membiasakan salat, dan ibadah lainnya.


2. Penguasaan tsaqofah Islam sesuai proporsi yang telah ditetapkan pada setiap jenjang pendidikan. 


3. Penguasaan ilmu kehidupan berupa ilmu pengetahuan, perkembangan teknologi, dan keahlian. Materinya bersifat penunjang dan terapan guna mempersiapkan generasi yang mandiri.


Dengan demikian, pendidikan Islam mampu membentuk kepribadian yang kokoh sejahtera, diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan produktivitas generasi penerus bangsa yang mengedepankan adab sebelum ilmu berlandaskan keimanan. Selalu ada ruang untuk berbenah bersama demi kebaikan masa depan cerah.



Wallahualam bishowab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم