Non-Biner dan Keberagaman Pemikiran

 


Oleh: Nurul H


Perbincangan mengenai apa itu non-biner kembali mencuat. Hal tersebut bermula usai viral di media sosial video mahasiswa baru (maba) Unhas (Universitas Hasanuddin) dikeluarkan dosen pada Jum'at (19/8/2022).  


Dikutip dari CNNIndonesia.com (21/8/2022), pengusiran itu dilakukan setelah ia mengaku bergender non-biner saat ditanya oleh dua dosen di depan ruangan. Peristiwa itu terekam dalam sebuah video yang viral di media sosial. Viralnya video tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman menyampaikan pihak kampus harus bertindak tegas mengenai jika adanya indikasi LGBT. Hal itu diungkapkan menanggapi video viral salah seorang mahasiswa yang mengaku non-biner berujung diusir oleh dosennya saat dia mengikuti rangkaian kegiatan pengenalan kampus mahasiwa baru di Unhas. (Fajar.co.id)


Namun, berita baru kembali muncul bahwa Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Jamaluddin Jompa buka suara soal dosen yang mengusir mahasiswa baru yang memilih gender non-biner saat mengikuti pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (PKKMB). Jamaluddin Jompa, telah menyampaikan permintaan maaf atas perbuatannya kepada mahasiswa itu. Dia berkata, perguruan tinggi yang dipimpinnya inklusif untuk semua orang. (Detiknew.com)


Perihal Non-Biner


Non-biner merupakan gender yang mendefinisikan dirinya bukan sebagai perempuan maupun laki-laki. Hal tersebut tak jarang membingungkan banyak orang. Secara biologis, manusia digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu jantan dan betina. Akan tetapi, secara gender, muncul beberapa golongan baru dalam mendefinisikan dirinya sendiri. Biasanya, gender non-biner ini memposisikan dirinya sendiri berbeda dengan struktur biologis  bawaan lahir. Kelompok gender ini biasanya akan memposisikan dirinya bukan dari bagian kelompok gender yang telah ada, atau bahkan mempunyai gender yang lebih dari satu. (Suara.com)


Secara harfiah, non-biner adalah seseorang yang tak mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki maupun perempuan. Di beberapa negara termasuk Amerika Serikat, hal ini sudah agak diterima. Sejumlah selebriti seperti Demi Lovato tak lagi disebut dengan he atau she (dia), melainkan they (mereka).

 

Kaum non-biner eksis mulai setelah tahun 1990-an. Mereka tidak mau mengidentifikasikan gendernya secara eksklusif sebagai perempuan atau laki-laki dan cenderung menentukan gendernya sendiri sesuai dengan kehendaknya yang berada di luar gender biner. Mengutip situs Medical News Today yang dirilis Kumparan.com (21/8/2022), non-biner bukan lah seorang transgender atau waria. Identitas mereka sangat bervariasi dan tidak dikelompokkan dalam dua spektrum saja.


Buah Kapitalisme-Sekularisme


Mencuatnya berita mengenai non-biner ini menjadi buah bibir masyarakat dan penggiat media. Jika kita flashback, artis internasional sekaligus penyanyi Demi Lovato dan sejumlah artis di Amerika Serikat secara terang-terangan mengklaim diri mereka sebagai non-biner. Meskipun dalam hal penampilan, beberapa dari mereka masih berbusana layaknya pria atau wanita. Ada juga yang dikenal transgender atau gay. Tentu, berita tersebut menjadi perbincangan dan akhirnya masyarakat menanggapi biasa saja. Pasalnya Demi Lovato berasal dari negara yang bukan mayoritas muslim, ia berasal dari negara yang menjunjung kebebasan. Namun, tatkala berita tersebut menimpa negara sendiri membuat masyarakat geger. Tak jarang juga menonjolkan keragaman berpikirnya. Seperti, ini merupakan perundungan dari dosen kepada mahasiswa, hal ini wajar karena mahasiswa tersebut keturunan Bugis yang nenek moyangnya mengakui 5 gender, kemudian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi diminta menjamin keselamatan dan kesehatan mental para mahasiswa yang menyatakan bagian dari kelompok minoritas gender,  ditambah negara Indonesia ini menganut freedom of speech, yang mana masyarakatnya bebas mengemukakan pendapatnya, berlindung di balik HAM (Hak Asasi Manusia). Namun perlu akal sehat juga dalam menerima segala opini, termasuk pilihan menjadi non biner. 


Keberadaan non-biner ini tentu suatu hal yang tabu di kalangan masyarakat Indonesia, karena melanggar norma agama dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Non-biner ini pula dikategorikan sebagai LGBT, yang mana komunitas tersebut menggaungkan eksistensi di balik HAM  (Hak Asasi Manusia).


Di sisi lain, ketegasan Gubernur setempat sepatutnya ditindaklajuti dengan kebijakan menghapus beragam regulasi kampus seluruh negeri dari pengaruh nilai akomodatif terhadap LGBT. Bukan seperti dalam kode etik dosen Pasal 11 menyebutkan setiap dosen berkewajiban menjunjung tinggi kesetaraan serta tidak melakukan diskriminasi berdasarkan kriteria seperti ras, etnis, agama, golongan, gender, status perkawinan, usia, disabilitas, dan orientasi seksual. (Tempo.com) 


Pemikiran-pemikiran seperti ini tentu berasal dari produk Kapitalisme yang di dalamnya Sekularisme berarti memisahkan agama dari kehidupan. Bebas menjalankan aktivitas kehidupannya termasuk pilihannya, begitupun dengan pilihan menjadi non-biner. Padahal non-biner adalah penyimpangan dari fitrah manusia dan bentuk penyimpangan ini harus diluruskan. Di negara ini, semua orang mempunyai hak freedom of speech. Terlebih Indonesia adalah negara berketuhanan dan negara hukum. Hukum mengatur masyarakat yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Sejatinya, tidak dibenarkan jika ada yang mengingkari fitrah kelaminnya. Karena ini bisa membuat kekacauan hukum dan kehidupan. Maka, jangan kasih legalitas untuk kekeliruan seksualitas. Walaupun hak mereka, tapi jangan sampai dikasih panggung. 


Makin eksisnya kalangan LGBT ini adalah buah busuk sistem liberal dan tidak tegasnya penolakan terhadap nilai hingga perilaku LGBT. Inilah yang sedang dikampanyekan oleh kaum Kapitalisme-Sekularisme untuk menggerogoti jiwa generasi dan tidak sesuai dengan fitrah manusia.


Hidup Untuk Taat Pada Syariat Islam


Negara kita mempunyai slogan "Berbeda-beda namun tetap satu jua". Keragaman bukan suatu hal yang tabu lagi. Keragaman merupakan sunatullah. Tetapi bukan berarti setiap keragaman selalu diterima tanpa toleransi termasuk keragaman dalam berpikir karena setiap pemikiran individu dipengaruhi dengan pandangan ideologi tertentu. Sebagai negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa tentu harus lebih aware terhadap permasalahan yang ada, apalagi sampai merusak tatanan masyarakat. Jika non-biner ini semakin berkembang, maka negara Indonesia dengan jumlah masyarakat muslim terbanyak ini akan berdampak, begitu pula dengan pemikirannya. 


Allah Swt, Sang Khaliq sekaligus Sang Mudabbir telah memberikan potensi yang luar biasa kepada hamba-Nya, berupa akal, naluri dan kebutuhan jasmani. Dengan potensi tersebut, manusia menjadi makhluk yang lebih mulia dari hewan maupun dari makhluk lainnya. 


Dalam surah Al-Hujurat ayat 14 Allah mengatakan:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”


Jelas bahwa Allah hanya menciptakan 2 jenis manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Maka, yang tidak sesuai dengan penciptaan Allah atau keluar dari fitrah manusia, ini haram. LGBT pada dasarnya bukanlah penyakit medis yang menjangkiti manusia, namun merupakan perilaku penyimpangan dari fitrah manusia. Problem LGBT ini juga merupakan problem yang sistemik, sehingga penyelesaiannya harus parsial. Oleh karena itu, peran negara dalam hal ini sangatlah penting. 


Bukan hanya dalam hal tersebut saja, tetapi dalam menjaga pemikiran agar tidak terkontaminasi tsaqofah asing pun perlu ada peran negara juga. Seperti halnya dalam Pendidikan. Ia adalah suatu sistem yang mampu menghasilkan sepasukan besar generasi yang memiliki pemikiran yang seragam. Tak heran, pendidikan menjadi pintu utama penjajahan pemikiran yang dilancarkan oleh Barat, khususnya di dunia Islam. Ditambah gencarnya transfer tsaqofah asing, Barat kian leluasa mengarahkan sekularisasi kaum muslimin.


Maka, untuk menjaga pemikiran dari tsaqofah asing perlu pendidikan Islam. Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam memang tidak mungkin diterapkan oleh negara yang tidak ada hubungan sedikit pun dengan Islam. Sistem pendidikan Islam harus ditopang oleh undang-undang yang menerapkan dan menjamin pelaksanaan syariat Islam secara utuh. Tidak pelak, sistem pendidikan yang hakiki membutuhkan tegaknya Khilafah Islamiah sebagai satu-satunya negara penegak ideologi Islam sehingga mampu menjamin pelaksanaan syariat Islam di dalamnya.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم