Menjadi Orang tua Ideologis, Bukan Sekedar Biologis

 


Oleh: Herlina Husen, M.Pd.I


Dunia Pendidikan di Indonesia dikejutkan dengan pernyataan salah satu mahasiswa baru Universitas Hasanudin Makasar di video yang kemudian viral, dimana mahasiswa baru tersebut mengaku gender netral (non biner).Opini kemudian digiring agar pihak kampus bersikap inklusif untuk semua orang, apapun identitas gender dan orientasi seksualnya.


Rileks dan melek terhadap informasi keragaman gender, demikian masukan yang diberikan salah seorang aktivis gender (TP) terhadap para pendidik. Iapun mengajak untuk memberi apresiasi atas keberanian mahasiswa tersebut yang terbuka mengakui identitas gendernya. 


Rileks bisa saja ditunjukan oleh orang yang menganggap sebuah fenomena penyimpangan sebagai hal biasa. Tetapi tidak bagi kita umat beragama yang memahami bagaimana menjadi hamba sesuai kehendak Sang Pencipta. Rileks bahkan berkonotasi ‘pembiaran’, yang awalnya dilakoni satu atau dua orang, karena dibiarkan, makin banyaklah pelaku penyimpangan tersebut dan semakin besar kerusakan.


Beberapa waktu lalu, saat saya mengisi seminar KKN mahasiswa kesehatan di kampus yang saya ampu. Saya berujar, “Teman-teman, katakanlah anda tau bahwa sex oral,ejakulasi di luar Rahim, atau having sex sambil berdiri, apalagi pake kondom itu tidak akan menyebabkan kehamilan. Tapi apakah dengan mengetahui itu anda kemudian berani melakukannya?. Sebaliknya katakan anda tau bahwa sex without kondom akan berpeluang besar menghasilkan kehamilan. Maka anda meninggalkan itu karena faktor besarnya resiko? Suasana hening tak ada jawaban. Sayapun memperlugas pertanyaan. Apakah motivasi kita melakukan atau meninggalkan sesuatu itu hanya karena pertimbangan maslahat atau mudhorot dibalik perbuatan tersebut? Bahwa jika perbuatan ini mengandung resiko buruk saya akan tinggalkan, namun jika minim resiko saya akan lakukan,apakah begitu?” “Kita adalah umat beragama, terlebih yang muslim, kita punya aturan kan? Apa yang Allah tidak ridho, sekalipun nafsu kita ingin banget melakukannya, penasaran banget, udah jadi hal biasa yang dilakukan banyak orang, ada strategi kok untuk meminimalisir resiko buruk di balik itu, tapi saat kita tau itu perkara yang dilarang, kita akan berusaha meninggalkan. Gitu kan seharusnya?


Apa yang saya lakukan adalah bentuk kecil dari penjagaan terhadap anak-anak didik. Penjagaan terhadap kebaikan yang otomatis akan kita tuai bila kita mau terikat pada aturan Allah. Agar kemudian istilah ‘Aktivitas seksual,orientasi seksual, orientasi gender dan beragama adalah pilihan/hak individu yang tak boleh dicampuri oleh individu lainnya” tak diamini dan dijustifikasi seenaknya.  


كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ

“Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya.” 

(HR. Bukhari dan Muslim)


Manusia sejak lahir difitrahkan dengan kuat di atas iman dan Islam. Tugas orang tua adalah menjaga fitrah tersebut, mengajarinya petunjuk Allah berupa Al Quran, sehingga ia siap berbuat kebaikan. Alih-alih sekedar mencukupkan diri membesarkan fisiknya. Karena tak cukup menjadi orang tua biologis, namun mesti ideologis. 

Betapa kuatnya pengaruh orang tua terhadap anak, terutama di fase awal pembentukan karakternya. Ibarat memahat sesuatu. Kita harus mengetahui potensi dasar dari apa yang akan kita pahat. Anak memiliki akal yang ia akan berpikir dan memutuskan sesuatu dengannya. Ia memiliki hati yang ia merasa dengannya. Dan imanlah yang jadi pijakannya.


Dengan memahami potensi dasarnya, orangtua akan mulai memijaki anak dengan akidah yang kokoh. Mengenalkan Allah sebagai pencipta dan pengatur, mengenalkan Rasulullah sebagai uswah dan qudwah. Dan mulai membiasakan anak beramal sesuai apa maunya Allah dan contoh Rasulullah. Orang tua juga memahami bahwa sebagai manusia, anak memiliki kecenderungan pada kefujuran karena godaan syetan. Mungkin ia akan lalai, lupa, mungkin pula kehilangan kontrol terhadap syubhat, syahwat, emosi negatif dan berbagai keburukan lainnya. 

Maka orang tua tak boleh lelah untuk terus mendampingi anak. Menunjukinya terus ke jalan Allah bila ia lalai, memotivasi bila ia malas dan lengah, merecovery bila ia terpuruk dalam kesulitan,kesedihan, kegundahan, dan permasalahan.


Tanggung jawab inilah yang sejatinya dipikulkan Allah di pundak orang tua. Yakni sebagai pendidik pertama dan utama. Diikuti kemudian dengan peran sekolah sebagai asisten ahli yang memberinya pengajaran. Pula lingkungan masyarakat yang memliki nilai dan norma bersama. Diatasnya kemudian ada negara yang punya otoritas terbesar dalam menjaga individu, keluarga dan masyarakat dalam ketaatan.


Jika anak tidak diarahkan pada kebaikan, bahkan memalingkan anak dari jalan kebaikan, membiarkannya mendrive rasa dan pikirnya dengan selera dan kehendak pribadi, membiarkannya berada di lingkungan yang rusak, bahkan negara membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya akidah sekuler dan berbagai paham impor yang merusak, ini sama dengan mendorong anak di atas jalan kejelekan dan mengeluarkannya dari fitrah yang menyelamatkan. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم