Oleh Rina Yulistina
Kondisi Sri Lanka senter diberitakan, negara kecil yang secara geografis berdekatan dengan India ini menyatakan diri sebagai negara bangkrut disebabkan gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar, sebagian dari hutang pinjamannya digunakan untuk pendanaan infrastruktur tanpa perencanaan yang matang diperparah dengan budaya korupsi yang mengakar.
Kebangkrutan negara ini tidak terjadi secara tiba-tiba, sudah terlihat sebelum pandemi dan diperparah dengan kondisi pandemi. Negara ini seperti mati kutu tak kuat menyangga utang negara, beban negara semakin berat, diperparah dengan mata uang Sri Lanka terjun bebas hingga 80 persen berdampak pada pembayaran hutang semakin berat, kebutuhan di dalam negeri selama ini dipasok oleh impor alhasil kebutuhan pangan hingga BBM harganya melejit dengan stok menipis. Pemerintah berusaha untuk menghemat devisa dengan menyetop pembelian pupuk impor dampaknya sepuluh dari sembilan orang kelaparan.
Dengan kondisi dalam negeri yang kacau balau ini, presiden Sri Lanka malah ngacir melarikan diri ke negara tetangga Maladewa menggunakan kapal perang, sungguh sangat biadab!
Selain Sri Lanka diprediksi ada sembilan negara yang akan menyusul yaitu Afghanistan, Argentina, Mesir, Libanon, Pakistan, Laos, Myanmar, Turki, dan Zimbabwe. (cnbcindonesia.com, 11/07/2022)
Utang Jebakan Manjur
Utang terus dipromosikan secara masif di negara berkembang. Digembar - gemborkan utang bisa mempercepat laju perekonomian, membangun begitu banyak infrastruktur dan menjadi negara maju. Nyatanya malah menceburkan negaranya didalam jurang mengerikan, dan lagi-lagi rakyat yang dikorbankan, rakyat yang harus menanggung penderitaan dari ketidak becusan penguasa.
Dari kisah kelam Sri Lanka kita seharusnya belajar betapa mengerikannya suatu negara menjalankan pemerintahannya dengan berhutang. Berhutang memang manis diawal namun pahit diakhir perjalannya. Sri Lanka dan juga negara negara lainnya berada pada jebakan hutang. Konsekuensi yang dihadapi begitu berat kebijakan negaranya akan disetir oleh debitur, contoh kecilnya: penerapan pasar bebas, pencabutan subsidi atau penyerahan SDA.
Pasar bebas memaksa Sri Linka untuk impor pangan padahal pada dasarnya hal tersebut tidak dibutuhkan oleh Sri Lanka disebabkan kesuburan tanahnya, bahkan di tahun 1987 sektor pertanian merupakan sektor andalan ekspor memberikan sumbangan sebesar 24,2 persen dari total PDB. Sektor pertanian ini menyerap hampir separuh jumlah tenaga kerja yang ada di seluruh negara (wikipedia.org). Tapi apalah dikata dari negara pengekspor berubah menjadi negara pengimpor semua itu disebabkan dari hobi utang.
Bagaimana Kabar Indonesia?
Kondisi kelam Sri Lanka membuat was was rakyat Indonesia, rasa resah ini begitu sangat gamblang disebabkan hutang Indonesia sangat fantastik tembus 7000 Triliun. Meskipun Ibu Sri Mulyani senantiasa menenangkan hati rakyat dengan menyebut posisi utang ini masih terjaga dalam batas aman dan wajar, serta terkendali. (dalam tayangan Youtube Komite Stabilitas Sistem Keuangan dikutip Kompas.com, Jumat (15/4/2022).
Kita pun tak bisa terus terbuai dengan pelipur lara kondisi utang dalam batas aman, karena apapun kondisi bangsa ini yang pertama kali merasakan pahitnya adalah rakyat. Saat ini saja yang katanya hutang dalam posisi aman, hidup rakyat semakin susah, semua serba mahal dari cabe hingga pertamax, belum lagi pajak yang makin mencekik. Sedangkan pemerintah tetap berambisi membangun IKN. Dari lubuk hati terdalam rakyat menginginkan semoga Indonesia tak bernasib naas seperti Sri Lanka.[]