KDRT Meningkat, Kapitalisme Gagal Mensejahterakan Masyarakat

 



Penulis : Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)


Pandemi telah berlangsung selama lebih dari dua tahun. Penanganan  yang tidak optimal menyebabkan  pandemi belum juga usai. Bukannya mereda, malah muncul permasalahan derivatif yang tidak kalah pelik. 


Pandemi Covid 19 memang menjadi pukulan besar bagi masyarakat. Banyaknya nyawa yang melayang seakan nyawa begitu murah. Terlebih kebijakan penanganan pandemi dari negara tidak optimal. Sehingga sampai detik ini belum mencapai zero kasus. 


Perekonomian masyarakat pun terguncang akibat pandemi. Kebijakan  tarik ulur yang  lebih berpihak pada pemberi modal alias para pengusaha semakin menambah deretan penderitaan masyarakat. Gelombang pemutusan hubungan kerja karyawan pun tak bisa terelakkan lagi. 


Sungguh, kondisi yang tentu tidak mudah dilakoni masyarakat. Sehingga para pejuang perekonomian keluarga berusaha mendapatkan pekerjaan baru demi kesejahteraan keluarga. Tak peduli dengan dahsyatnya  badai yang menerpa.


Sayangnya, tak semuanya mendapatkan pekerjaan pengganti dengan mudah. Padahal tiap hari ada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Kondisi seperti ini akhirnya kerap sebagai pemicu terjadinya keretakan rumah tangga. Penghasilan yang tidak seberapa, sedangkan istri menuntut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang tidak bisa dijeda karena menyangkut nyawa anggota keluarga. Bahkan tak sedikit yang meregang nyawa disebabkan ekonomi sulit. 


Janji bantuan dari negara selama pandemi nyatanya tidak tepat sasaran. Banyak pula terjadi kecurangan dalam proses pengadaan dan distribusi bantuan sosial selama pandemi. Sehingga masyarakat seakan-akan dituntut untuk menyelesaikan persoalan ekonomi secara mandiri. 


Kabupaten Tulungagung yang terkenal dengan julukan kota marmer, mengalami peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara signifikan selama pandemi Covid 19. Pada tahun 2021 terdapat 58 kasus yang ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA), 13 diantaranya merupakan KDRT. Sedangkan pada tahun 2022 sampai bulan Juni terdapat 40 kasus yang ditangani UPPA, 10 diantaranya merupakan KDRT. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah mengingat masih ada setengah tahun lagi. (radartulungagung.co.id, 22/6/2022)


Menurut Kanit UPPA Polres Tulungagung Iptu Retno Pujiarsih, permasalahan ekonomi menjadi faktor utama  yang melatar belakangi peningkatan terjadinya kasus KDRT. Usia korban rata-rata antara 30-40 tahun dengan usia pernikahan yang masih seumur jagung. Beberapa kasus selesai dengan mediasi, namun tak sedikit pula yang berakhir pada perceraian. 


Meningkatnya kasus KDRT selama dua tahun terakhir ini semestinya menjadi tamparan keras bagi penguasa. Bukan malah berlaku sebaliknya yang semakin getol mengeluarkan kebijakan yang mencekik perekonomian rakyat. Seperti disebutkan dalam berita,  faktor ekonomi menjadi permasalahan inti KDRT di Tulungagung. Artinya, keluarga mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Suami tidak bekerja, sementara  intensitas bersama di rumah semakin meningkat di masa pandemi. Hal ini menambah bukti bahwa kapitalisme telah gagal mensejahterakan rakyat.  


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tekanan mental yang hebat sehingga menimbulkan pelampiasan secara fisik yang buruk.  Sehingga ketika dalam keluarga yang ada KDRT, maka keluarga yang harmonis, tentram, sejahtera akan sulit bisa terwujud. 


Islam memuliakan perempuan. Yakni dengan menjamin keadilan dan kesejahteraan perempuan sehingga perempuan bisa menjalankan perannya sebagai pendidik generasi dengan baik.  Negara juga menciptakan lapangan kerja. Sehingga lapangan kerja bagi laki-laki terbuka luas. 


Negara akan membuka industri-industri yang menyerap tenaga kerja. Di sisi yang lain, pemerintah akan memberikan birokrasi yang mudah bagi usaha-usaha rumahan, serta akan menghapus pajak. Sehingga solusi yang diambil kembali pada aturan Islam secara kaffah. InsyaAllah keluarga berkah sejahtera.


Wallahu a'lam bish showab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم