Bunuh Diri Pelajar, Kegagalan Pendidikan Karakter ala Sekuler


 


Penulis: Supartini

(Aktivis Muslimah Plemahan, Kediri) 


Sebelum ditemukan tewas gantung diri, mahasiswa berinisial BH sempat berkeluh kesah soal kuliahnya selama 7 tahun yang tidak kunjung selesai. Sejak itu BH tampak lebih sering murung dan menyendiri. Keterangan itu didapat setelah polisi mendalami keterangan dari kakak angkat korban.


Terkait kasus tersebut, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Kalimantan Timur, Muhammad Noor mengatakan, BH merupakan mahasiswa angkatan 2013 Program Studi Hubungan Internasional. Menurut Noor, masa kuliah BH semestinya sudah berakhir 31 Juni 2020. Namun karena ada pandemi Covid-19, khusus mahasiswa angkatan 2013, pihaknya telah memperpanjang masa penyelesaian studi sampai 31 Desember 2020, dengan syarat judul skripsi sudah diterima atau sudah seminar proposal .


Bunuh diri bisa terjadi ketika seseorang mengalami depresi dan tidak ada orang yang membantu. Banyaknya kasus bunuh diri dari kalangan terpelajar semestinya menampar sistem pendidikan saat ini, khususnya pada aspek penguatan karakter yang selama ini diusung melalui konsep pendidikan karakter. 


Namun realitas tidak bisa berdusta. Pendidikan karakter tidak menyentuh aspek terpenting bagi kehidupan seorang individu, yakni mengenai tujuan hidupnya, meski dirinya seorang yang terpelajar. Bunuh diri tersebab oleh tujuan hidup yang terkikis dan compang-camping, sehingga seorang individu tidak menemukan tujuan sekaligus perannya dalam kehidupan ini. 


Terlebih pada saat yang sama, sistem sekuler telah memberikan tekanan hidup yang luar biasa berat hingga membuat seseorang mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Bagaimana tidak? Lihat saja, selama kuliah, tujuannya sebatas demi meraih nilai bagus pada tiap mata kuliah. Berikutnya, tujuan kelulusan pendidikannya hanya sebatas capaian gelar.


Setelah lulus, hanya untuk “harus” bekerja, misalnya karena tuntutan orang tua yang telah susah payah membiayai. Padahal lowongan pekerjaan yang tersedia ternyata tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan di kampus.


Jika semua itu tidak tercapai, bagi sebagian orang sangat mungkin langsung timbul depresi. Standar duniawi yang tidak disertai rasa syukur dan keyakinan akan rezeki dari Allah Ta’ala, tentu sangat mudah memutus harapan akan kehidupan itu sendiri. Akibatnya, muncul perasaan menjadi orang yang tidak berguna. Tidak heran, bunuh diri pun dianggap solusi. 


Jelas sekali, ini semua sungguh sangat jauh dari tujuan pendidikan sahih berbasis akidah Islam, yang hendak mewujudkan peserta didik yang berkepribadian Islam. Dengan kata lain adalah sosok yang beriman dan berilmu pengetahuan. Allah Ta’ala berfirman, “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11)


Sungguh, pendidikan adalah hak individu. Namun menuntut ilmu (thalabul ilmi) adalah wajib atas setiap muslim. Rasulullah saw bersabda: “Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (HR Ibnu Majah) 


Oleh karena itu, negara -sebagai bentuk pengurusan urusan warganya- harus memfasilitasi pelaksanaan kewajiban warganya itu dengan sebaik-baiknya. Rasulullah saw pun mengingatkan para penguasa dalam sabda beliau: “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)


Sayang sekali, saat ini sistem pendidikan tidak dijalankan secara tulus sebagai wujud penjagaan generasi. Padahal, semua sekolah dan lembaga pendidikan hendaknya menjadi tempat yang senantiasa mensuasanakan keimanan bagi peserta didik sehingga mereka menjadi orang-orang yang makin banyak dan berkah ilmunya sekaligus makin kuat keimanannya. 

Wallahualam bissawab. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم