Ketika Penyelenggaraan Haji Tersandera Kebijakan dan Kepentingan Bisnis



Oleh: Azrina Fauziah

(Akivis Dakwah)


Sebanyak belasan jamaah haji Indonesia terancam mengalami pembatalan keberangkatan haji lantaran memiliki masalah administrasi. Diketahui Pemerintah Arab Saudi telah memberikan tiga syarat perjalanan haji pada tahun 2022 ini yaitu syarat vaksin lengkap, PCR 72 jam sebelum keberangkatan dan syarat maksimal umur di bawah 65 tahun. 


Dikutip dari wartaekonomi.co.id, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy mengatakan kemungkinan terdapat sekitar 17 ribu calon haji yang mengalami masalah registrasi. Ia juga mengungkapkan bahwa persoalan administrasi tersebut ialah berkaitan dengan ketentuan vaksin Covid-19. Sementara itu, Kementerian Kesehatan mencatat baru sekitar 76 persen calon jamaah haji yang telah melakukan vaksin Covid-19 dengan dosis lengkap. Sehingga calon haji yang belum divaksin dosis lengkap terancam tidak diberangkatkan pada tahun ini. Selain persyaratan vaksin, calon jamaah haji yang usianya melebihi 65 tahun juga terancam gagal diberangkatkan. 


Kebijakan tiga syarat Pemerintah Arab Saudi ini tidak terlepas oleh adanya wabah Covid-19. Namun sangat disayangkan kebijakan tersebut belum dapat diantisipasi oleh Pemerintah Indonesia sejak awal. Pemerintah cenderung abai, padahal Pemerintah Indonesia seharusnya dapat mengantisipasi kondisi tersebut dari sejak pandemi berlangsung dengan memberikan informasi dan edukasi vaksin melalui media dan instansi kesehatan. Kemudian juga melakukan negosiasi atas kebijakan batasan umur yang ditetapkan Pemerintah Arab Saudi. Akan tetapi upaya tersebut belum dilakukan. 


Inilah watak kepemimpinan dalam kapitalisme, dimana penguasanya tidak berperan sebagai pelayan umat. Penguasa dalam sistem kapitalisme lahir dengan visi kapitalistik. Sehingga segala kebijakan yang lahir berdasarkan oleh kepentingan bisnis. 


Dalam pandangan Islam, haji merupakan kewajiban bagi muslim yang telah mampu. Sebagaimana firman Allah Swt, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS. Ali Imran:97).  Maka negara wajib memberikan dukungan dalam pelaksanaan haji melalui pendanaan maupun kebijakan. 


Pendanaan haji bisa didapat melalui sokongan baitul mal dimana negara akan memberikan sokongan tersebut melalui fasilitas infranstruktur keberangkatan haji dengan mudah dan aman. Kalau pun negara menetapkan ongkos naik haji maka besar dan kecilnya akan ditentukan sesuai dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah suci.


Hal tersebut pernah dicontohkan oleh Sultan Abdul Hamid II, khalifah pada saat itu membangun sarana transportasi seperti kereta api Hijaz di Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Infranstruktur tersebut meringkas perjalanan haji yang biasa ditempuh 40 hari menjadi 5 hari. 


Kemudian kebijakaan yang dikeluarkan merupakan kebijakan yang akan memudahkan para jamaah haji. Sebagaimana kita tau bila seorang muslim yang balig dan mampu secara fisik maupun finansial melaksanakan haji maka dia telah wajib untuk dapat berhaji tanpa kemudian diberikan batasan usia. Disinilah Negara memiliki paradigma ri’ayatu syu’unil ummah (mengurusi urusan umat). Bukan paradigma untung rugi seperti layaknya bisnis. Waallahu’alam

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم