Balada Mendidik Generasi Z




By Ruby Alamanda


Melihat truk atret membawa naskah soal, membuat penulis berkata dalam hati, MasyaAllah ternyata sudah hampir kenaikan kelas. Apakah sudah saatnya anak-anak melepas kelas lamanya, perasaan baru sebentar penulis mengajar di kelas, dan penuh drama masalah yang di buat oleh siswa yang hampir sama di tahun ini, sepanjang 365 hari.


Belum lupa diri ini memanggil siswa yang hampir sama dengan segala masalahnya, besok pun masih memanggil siswa agar merubah dirinya menjadi lebih baik dan pantas naik kelas. 


Sebagai seorang pendidik, tentu saja bertugas mendidik, tidak sekedar transfer ilmu seperti dulu. Akan tetapi kenyataan yang dihadapi oleh penulis adalah susahnya memberikan atau mengajar siswa untuk lebih menghargai guru ketika menjelaskan materi di depan kelas. Mereka berbicara seenak hatinya, tidak memperdulikan guru yang menjelaskan di depan kelas. 


Saat menyapa pun sebagian siswa masih menggunakan bahasa gaul khas mereka, "Hai bu", " _bu nek jeding_ " (ketika mereka ijin ke kamar mandi). " _Bu aku luwe_ " ketika rasa lapar mereka tiba.


Terkadang penulis ingin menjelaskan esensi sopan santun kepada mereka, akan tetapi sudah kalah duluan suaranya dengan mereka. Akhir pandemi mulut mereka 17, sekarang mulutnya 34. Dan mereka 2 tahun tidak lamanya tidak menerima pelajaran secara tatap muka. MasyaAllah, _ngelus dada_ menghadapi mereka. 


Ini masih tentang adab, sopan santun. Mengenai nilai akademik, jangan ditanya lagi, nilai mereka juga tidak begitu tinggi, semangat belajar nya kurang. Bisanya siswa putri lebih telaten untuk belajar, meski tidak sesemangat anak jaman old. 


PR tidak dikerjakan, tugas di kelas tidak mau mengerjakan pula. Entah apa yang ada dibenak mereka. Penulis menanyakan kepada salah satu dari mereka saat terbangun dari tidurnya, "tadi niatnya ke sekolah ngapain?" Eh ketawa dia. MasyaAllah. 



Ada pula yang mulai resah, jika siang tiba dan pelajaran Matematika dimulai, dia bawa tasnya keluar kelas, dan tas tersebut mau dilempar ke luar pagar. Saat ditanya, dia hanya menjawab malas. Subhanallah. 


Penulis menyadari sepenuhnya bahwa ketiadaan sistem Islam membuat dunia pendidikan tidak menjadi baik-baik saja. Bukan hanya pendidikan saja yang mengalami kerusakan akibat ketiadaan sistem Islam. Sudah saatnya umat ini berjuang kembali menegakkan Islam, agar tatanan kehidupan terutama pendidikan bisa kembali normal dan beradab. Agar umat memiliki generasi penerus yang hebat, tangguh, dan beradab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم